Dunia anak tidak bisa lepas dengan dunia bermain. Setiap bertemu dengan siapa pun, anak pasti ingin bermain. Terlebih saat bertemu dengan teman sebayanya. Seperti dunia dan seisinya milik mereka sendiri, kayak orang yang sedang jatuh cinta.
Saat usia masih belia, teman bermain anak adalah orang tuanya. Segala bentuk dan jenis kekonyolan dari orang tuanya selalu diperlihatkan kepada si anak.Â
Mulai dari ciluk ba sampai ngudang, orang tua mesti memberi lelucon-lelucon terbaiknya untuk si anak. Dalam buku Cahaya Rumah Kita, buah karya Marinda Risang Ayu, pada saat-saat itulah, orang tua memperankan tindakan-Nya sebagai ar-Rahman dan ar-Rahim.
Menginjak sedikit dewasa, setelah si anak akrab dengan benda-benda di sekelilingnya, teman bermainnya bukan lagi orang tuanya.Â
Melainkan barang-barang mainan yang dibelikan oleh orang tuanya, atau mainan dari sanak keluarga dan tetangga yang membelikannya sebagai wujud bahagia dengan lahirnya si anak. Jika laki-laki, mainannya berupa robot-robotan, bola, dan sejenisnya. Sedangkan boneka, alat memasak, dan semacamnya menjadi pilihan mainan untuk anak perempuan.
Lebih dewasa lagi, kira-kira memasuki sekolah setingkat Paud atau Taman Kanak-Kanak, si anak mulai mengenal orang lain dengan jangkauan yang lebih luas dan lebih beragam dari seisi rumahnya.Â
Mulai mengenal istilah teman, ibu guru, ibunya teman, ayahnya teman, penjual gorangan, dan beberapa istilah lain yang lekat dengan pendidikan anak seusia tersebut.
Si anak juga mulai melakukan bentuk-bentuk kenakalan dasar, seperti usil dengan teman sebangkunya. Kemudian dilerai, menangis semuanya, tapi tetap jua bermain seperti awal mula. Ya, hilangnya marah si anak dengan temannya sama dengan cepatnya akrab si anak dengan temannya. Ini adalah dinamika permainan anak-anak.
Memasuki usia Sekolah Dasar, si anak mulai mengenal istilah hukuman dan penghargaan dalam bermain. Hukuman akan diberikan, jika si anak bermain di waktu dan tempat yang tidak tepat. Misalnya ketika di dalam kelas si anak tetap ngobrol, atau menjahili teman sebelah bangkunya, maka si anak akan ditegur, entah dengan ucapan atau tindakan. Sedang anak yang tahu tempat kapan bermain, pun tidak mengganggu temannya saat pembelajaran berlangsung, akan diberi penghargaan oleh guru. Minimal dapat senyum ramah dan predikat anak baik dari mata gurunya.
Bahkan seusai sekolah pun, si anak akan meluangkan waktunya untuk bermain. Dulu, saya pulang Sekolah Dasar sekitar jam 12 siang juga bermain.Â
Pulang, ganti baju, makan, sholat, kemudian tidur siang. Bangun tidur sekitar jam 2, teman-teman sudah berkumpul di lapangan. Seringnya kami bermain sepak bola atau pergi ke tempat playstation. Karena memang laki-laki semua, sedang yang perempuan agak menepi, bermain semacam kejar-kejaran dan masak-masakan di pinggir lapangan.
Ketika mentari mulai condong ke Barat dan mendekati waktu mahgrib, kadang kami masih asik bermain. Waktu tidak terasa berlalu begitu cepat. Sampai ada aba-aba dari salah seorang orang tua kami sembari mengacungkan tongkat, dan sejurus kemudian kami bubar bak pendemo yang disiram gas air mata. Padahal teriakan orang tua kami bukan "bubarkan!", tapi "ayo pulang!!!". Hanya saja tekanan nadanya agak kenceng dan keras.
Hari ini pun masih sama, dunia anak lekat dengan dunia bermain. Hanya saja, bedanya anak sekarang bermainnya dengan game yang ada di smartphone.
Anak-anak seusia Paud dan Taman Kanak-Kanak tidak mengherankan jika saat ini sudah bisa bermain smartphone. Bahkan orang tua ada yang memberi fasilitas smartphone secara cuma-cuma. Dalihnya agar tidak bemain jauh-jauh, takut diculik, dan lain sebagainya.
Jika tidak begitu, si anak diberi tempat yang nyaman di depan televisi. Orang tua lebih tenang dan mungkin senang jika si anak berada di rumah. Upin dan ipin, dan film-film kartun lainnya jadi favorit tontonan si anak. Pun saat si kecil menangis, untuk mengalihkan perhatiannya dinyalakanlah televisi sembari berucap, "itu lho si ipin ngapain?".
Memang bagi beberapa ilmuwan sosial, pergeseran dunia bermain yang dialami anak-anak menjadi problematika yang cukup serius untuk ditelaah. Sebab pengaruhnya akan terasa dan terlihat ketika si anak menginjak usia dewasa.Â
Beberapa pendapat teman saya pun sepakat atas hal itu. Bahkan tidak sedikit dari teman saya yang berharap bahwa anak-anaknya kelak tidak kecandungan dengan barang-barang elektronik.
"Kalau saya punya anak, saya biarkan dia (si anak) bermain dengan temannya. Saya lebih senang jika anak saya mau bergaul dengan teman sebayanya, bukan dengan smartphone. Sebab, sejak kecil dia (si anak) harus sudah belajar berinteraksi dengan orang lain. Meski pun hanya dengan bermain. Itu lebih baik dan lebih menyelamatkan jiwa sosialnya ketimbang harus bermain dengan smartphone", pendapat salah seorang teman saya.
Untuk merespon fenomena ini, saya teringat salah satu sajak dari Kahlil Gibran tentang anak. Coba simak:Â
Anakmu bukanlah milikmu / Mereka putra putri kehidupan yang rindu pada dirinya / Lewat kau mereka lahir, tapi bukan dari engkau / Meski mereka bersamamu, mereka bukan hakmu / Berikan kasih sayangmu, namun jangan paksakan kehendakmu // Sebab mereka punya alam pikiran sendiri / Berikan tempat pada raganya, tapi tidak untuk jiwanya / Sebab jiwa mereka penghuni masa depan yang tidak dapat kau kunjungi / Bahkan tidak di dalam mimpimu.
Iya, anak punya masanya masing-masing, begitupun dengan kecenderungannya bermain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H