Mohon tunggu...
AS Riady
AS Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa di Tulungagung

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Transformasi Bermain Anak

19 Juni 2020   17:51 Diperbarui: 19 Juni 2020   17:47 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: vaxbeforetravel.com

Ketika mentari mulai condong ke Barat dan mendekati waktu mahgrib, kadang kami masih asik bermain. Waktu tidak terasa berlalu begitu cepat. Sampai ada aba-aba dari salah seorang orang tua kami sembari mengacungkan tongkat, dan sejurus kemudian kami bubar bak pendemo yang disiram gas air mata. Padahal teriakan orang tua kami bukan "bubarkan!", tapi "ayo pulang!!!". Hanya saja tekanan nadanya agak kenceng dan keras.

Hari ini pun masih sama, dunia anak lekat dengan dunia bermain. Hanya saja, bedanya anak sekarang bermainnya dengan game yang ada di smartphone.

Anak-anak seusia Paud dan Taman Kanak-Kanak tidak mengherankan jika saat ini sudah bisa bermain smartphone. Bahkan orang tua ada yang memberi fasilitas smartphone secara cuma-cuma. Dalihnya agar tidak bemain jauh-jauh, takut diculik, dan lain sebagainya.

Jika tidak begitu, si anak diberi tempat yang nyaman di depan televisi. Orang tua lebih tenang dan mungkin senang jika si anak berada di rumah. Upin dan ipin, dan film-film kartun lainnya jadi favorit tontonan si anak. Pun saat si kecil menangis, untuk mengalihkan perhatiannya dinyalakanlah televisi sembari berucap, "itu lho si ipin ngapain?".

Memang bagi beberapa ilmuwan sosial, pergeseran dunia bermain yang dialami anak-anak menjadi problematika yang cukup serius untuk ditelaah. Sebab pengaruhnya akan terasa dan terlihat ketika si anak menginjak usia dewasa. 

Beberapa pendapat teman saya pun sepakat atas hal itu. Bahkan tidak sedikit dari teman saya yang berharap bahwa anak-anaknya kelak tidak kecandungan dengan barang-barang elektronik.

"Kalau saya punya anak, saya biarkan dia (si anak) bermain dengan temannya. Saya lebih senang jika anak saya mau bergaul dengan teman sebayanya, bukan dengan smartphone. Sebab, sejak kecil dia (si anak) harus sudah belajar berinteraksi dengan orang lain. Meski pun hanya dengan bermain. Itu lebih baik dan lebih menyelamatkan jiwa sosialnya ketimbang harus bermain dengan smartphone", pendapat salah seorang teman saya.

Untuk merespon fenomena ini, saya teringat salah satu sajak dari Kahlil Gibran tentang anak. Coba simak: 

Anakmu bukanlah milikmu / Mereka putra putri kehidupan yang rindu pada dirinya / Lewat kau mereka lahir, tapi bukan dari engkau / Meski mereka bersamamu, mereka bukan hakmu / Berikan kasih sayangmu, namun jangan paksakan kehendakmu // Sebab mereka punya alam pikiran sendiri / Berikan tempat pada raganya, tapi tidak untuk jiwanya / Sebab jiwa mereka penghuni masa depan yang tidak dapat kau kunjungi / Bahkan tidak di dalam mimpimu.

Iya, anak punya masanya masing-masing, begitupun dengan kecenderungannya bermain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun