Televisi masih menjadi media tontonan favorit, terutama bagi mereka di kampung yang lahir di tahun 70-90 an. Hal ini wajar, mengingat di masa-masa itu televisi menjadi barang mewah yang tidak sembarang orang bisa memilikinya. Satu kampung, mungkin hanya satu atau dua yang memiliki televisi. Itu pun gambarnya tidak sejernih televisi hari ini. Tayangannya pun hanya itu-itu saja.
Dulu, chanel Televisi Republik Indonesia (TVRI) menjadi satu-satunya media televisi yang memegang kendali penyiaran. Tayangan apapun yang disuguhkan akan dikonsumsi oleh masyarakat, tanpa tebang pilih.
Namun di tahun 2000-an, chanel-chanel swasta sudah mulai bermunculan. Tayangannya juga beragam dan menarik penonton, bahkan sampai hari ini. Di titik inilah reputasi TVRI sebagai televisi resmi milik negara dipertaruhkan, baik itu dari sisi kualitas maupun ragam tayangannya.
Apalagi dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir ini, semua tayangan serba internet sudah tersedia. Hanya perlu mencari keywordnya apa, menunggu sebentar, sudah tinggal menikmati. Tayangan yang kemarin bisa diputar sekarang, atau mau mengulang-ngulang tayangan yang sama karena lucu, juga bisa. Asalkan memiliki kuota data yang berlimpah.
Melihat realitas ini TVRI semakin terdesak ke pinggiran. Media yang dulu pernah berjaya, kini kian semakin jarang diminati. Sebagai penikmat Liga Inggris dan beberapa film action di televisi, setidaknya ada tiga catatan saya untuk TVRI.
Pertama, TVRI kurang bisa menangkap semangat zaman para penontonnya. Penonton yang dulu menggemari TVRI kini sudah menua dan beruban. Di sisi lain, selera tayangan anak cucunya juga jauh berbeda. Memang cerita anak dengan muatan moral itu bagus, tapi kalau kemasannya melulu ada yang nakal dan baik, kemudian yang baik menang, itu sudah sangat biasa. Perlu produksi yang lebih kreatif lagi.
Memang di sisi lain, kreatifitas seperti chanel dan media mainstream konsekuensinya besar. Bukan hanya berpotensi banyak penonton atau tidak, tapi jati diri (ciri khas) dari TVRI sendiri juga dipertaruhkan. Di poin ini, nasehat Sunan Kalijaga patut menjadi pedoman, "ngeli, neng ora keli".
Kedua, program-programnya belum ada yang menggugah keingintahuan penonton lebih dalam perihal suatu kasus tertentu. Ya prototipe mudahnya bisa didapati di tayangan Mata Najwa atau Indonesia Lawyers Club (ILC). Ada kasus yang sedang hangat di negeri ini, memanggil para ahli yang berkompeten, kemudian saling silang pendapat. Hanya saja, kemasannya harus berbeda dari Mata Najwa atau ILC. Bukankah ini cukup menarik?
Ketiga, ini catatan yang agak subjektif, yakni TVRI kurang cepat dalam mengupdate informasi. Ini penting, mengingat masyarakat perlu asupan informasi yang cepat. Semakin cepat dan update, masyarakat akan lebih menaruh perhatian lebih pada TVRI sebagai televisi yang berkompeten, tercepat, dan terdepan.
Menarik jika kita mencermati komentar Suko Widodo, Akademisi Universitas Airlangga Surabaya mengenai TVRI: "jangan sampai televisi publik hanya berisikan tembang kenangan. Televisi publik (TVRI) bukan masa silam, melainkan suara masa depan." Komentar yang tajam dan menampar telak perkembangan kemajuan TVRI di tanah air.
Ia juga menambahkan bahwa TVRI perlu melakukan transformasi. Selain mengakomodasi suara publik, transformasi harus menyangkut sumber daya manusia sampai idealisme. Komentar ini kita dapati di Koran Kompas dengan tajuk "Libatkan Publik Turut Mendukung TVRI", 13 Juni 2020. Judul yang lumayan membingungkan jika dibaca oleh ahli bahasa dan sastra Indonesia.