Nah, setelah menikah, teman saya ini mengontrak rumah bersama istrinya di desa. Ia tidak memilih di kota. Katanya,"ngontrak di kota itu mahal bro. Murah di desa, toh yang punya rumah itu Pak Wandi (nama samaran). Ya meskipun jauh dari tempat kerjaku."
Pak Wandi ini sudah kenal akrab dengan kami berdua. Ia sering mentraktir kami saat kantong kosong kala masih menjadi mahasiswa. Pak Wandi awalnya membangun rumah itu untuk ditempati bersama keluarga kecilnya.Â
Namun ketika sudah berdiri tegak, istrinya memilih hidup di kota sembari menjaga kontrakan milik juragannya Pak Wandi. Rumah itu kosong dan dikontrakkan ke teman saya tadi.
Beberapa waktu lalu saya dan Pak Wandi bertemu usai menunaikan shalat di masjid. Ketika saya tanya kabar soal teman saya, ia menggeleng-gelengkan kepala.Â
Katanya, "anak itu memang aneh. Sudah kerja berangkat pagi pulang malam. Tidak pernah ikut rapat desa, tidak pernah ikut kerja bakti." Wajah Pak Wandi terlihat memerah.
Belum selesai, ia melanjutkan, "Yang parah itu, lampu rumah setiap malam mati. Kecuali kamarnya saja. Padahal dulu sudah tak wanti-wanti, kalau hidup di sana (desa), minimal lampu teras dinyalakan. Biar tetangga tahu ada orang di dalam rumah. Lha gimana, masak sebulan itu pulsa listrik hanya habis sepuluh ribu." Kali ia terlihat semakin jengkel.
Bahkan kata Pak Wandi saat pompa air mati, teman saya tidak lantas membenahinya. Justru ia mandi menggunakan air galon isi ulang seharga empat ribuan itu.Â
Mendengarnya saya hanya termangu dan menggumam lirih, "ternyata apa yang baik di kota, belum tentu baik diterapkan di desa. Ya salah satunya kelewat Hemat Listrik. Hemat ya hemat, tapi egak gitu juga kali."
Hufttt....