Shalat Jumat menjadi salah satu bentuk peribadatan yang mengundang umat untuk datang ke masjid. Di hari-hari biasa, shalat Jumat bisa membuat masjid sesak. Shalat lima waktu mungkin hanya satu sampai tiga shaff, tapi untuk shalat Jumat, satu masjid biasanya kurang dan meluber sampai ke pelataran.
Akan tetapi semenjak pandemi covid 19 datang dan menyebar, shalat Jumat di masjid ditiadakan dan diganti shalat Dhuhur di rumah masing-masing.Â
Keputusan ini memang logis melalui pertimbangan kalkulasi yang matang. Mengingat setiap jamaah yang datang untuk menunaikan shalat Jumat, terlebih masjid-masjid di kota dan pinggir jalan raya tidak bisa diidentifikasi dengan jelas. Dengan siapa jamaah itu berinteraksi sebelum datang ke masjid? Dari mana saja? Dan jamaah itu bisa berpotensi tertular dan menulari. Keputusan ini juga berlaku untuk shalat lima waktu.
Melihat perkembangan terkini, Majelis Ulama Indonesia(MUI) mengeluarkan pernyataan terkait shalat Jumat. KH Hasanuddin AF, Ketua Komisi Fatwa MUI mengatakan bahwa shalat Jumat bisa dilaksanakan dengan bergelombang tergantung situasi dan kondisi. Simak pernyataannya dengan cermat, "sekarang masjid boleh digunakan, tapi tidak boleh diisi penuh. Jamaahnya bisa setengah atau sepertiganya. Sehingga, daya tampung masjid atau tempat untuk salat Jumat berkurang." Pernyataan ini didapati di Koran Republika dengan judul "MUI: Darurat, Boleh Shalat Jumat Bergelombang", 04 Juni 2020. Judul mengajak umat muslim untuk berhati-hati dalam menunaikan shalat Jumat guna menekan laju covid 19.
Pada dasarnya memang hukum Islam selalu memberi solusi atas suatu permasalahan. Bahkan barang haram bisa menjadi boleh dalam kondisi dan situasi darurat. Ia merepresentasikan shalat Jumat bergelombang sebagai solusi bagi umat Islam. Gelombang pertama shalat Jumat jam 12.00-13.00. kemudian gelombang kedua jam 13.00-14.00. "Selama masih ada waktu dhuhur, maka waktu shalat Jumat masih ada", tegasnya.
Kendati sudah dilakukan secara bergelombang, shalat Jumat juga tetap ditunaikan sesuai protokol yang telah diedarkan. Misalnya dengan khotbah Jumat dipersingkat, bacaan shalat memilih surat yang pendek-pendek, dan setelah usai segera meninggalkan tempat.
Pengurus masjid sendiri juga harus berjibaku di masa pandemi ini. Dengan tidak adanya shalat berjamaah, baik lima waktu maupun dhuhur, infaq dan sedekah yang diperoleh kemungkinan besar menurun. Imbasnya pada perawatan dan pelayanan masjid yang kurang optimal.
Sedangkan di Jawa Tengah, MUI berkolaborasi apik dengan pemerintah dan beberapa pengurus masjid soal pelaksanaan shalat Jumat. Rapat diadakan. Kita tidak perlu mengurusi apakah rapat itu daring atau bersua muka dengan physical distancing atau tidak. Kita hanya dikabari rapat tersebut untuk melihat peluang apakah ada relaksasi atau masih harus beribadah di rumah? Pertimbangan dikabarkan masih fifty-fifty.Â
Usulan dan saran mungkin saling bersliweran sama-sama kuat saat rapat tersebut. Kabar ini dimuat di Koran Kedaulatan Rakyat dengan judul "MUI Jateng Bahas Peribadatan di Masjid", 04 Juni 2020.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo memberi pernyataan bahwa tidak semua tempat diperbolehkan menyelenggarakan shalat Jumat. Tapi setidaknya perlu ada uji coba di masjid-masjid di zona hijau dengan protokol yang ketat. Untuk zona kuning dan zona merah dianjurkan untuk menunggu hasil uji coba masjid di zona hijau.
Memang di masa seperti ini, apalagi yang menyangkut soal peribadatan, ketetapan dan menunaikan ketetapan tersebut menjadi tantangan yang beresiko. Sejumlah tokoh agama mesti berpikir keras, menemukan solusi dari kondisi darurat. Salah langkah, tidak hanya dirinya dan keluarganya yang menjadi korban, namun jamaah atau pengikutnya juga terdampak.
Lantas bagaimana dengan masjid yang ada di desa-desa, terutama desa yang jamaahnya hanya itu-itu saja? Sepertinya shalat Jumat malah sudah ditunaikan jauh-jauh hari. Bukan benar begitu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H