Mohon tunggu...
Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa merangkap marbot masjid di pinggiran Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masjid dan Justifikasi I

7 Agustus 2018   15:44 Diperbarui: 7 Agustus 2018   15:53 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pak Sugi, begitu panggilan akrabnya di masyarakat. Perawakannya tidak terlalu tinggi sekaligus tidak terlalu gemuk. Kulitnya bersih dan selalu berpenampilan menarik. Usia Pak Sugi sudah kepala lima. Meskipun begitu, Pak Sugi terlihat seperti baru berusia tiga puluh tahunan. Mungkin karena kebiasaannya yang selalu tampil menarik dan punya kulit bersih, membuat Pak Sugi terlihat lebih muda dari orang-orang seusiannya.

Pak Sugi merupakan orang pendatang di Yogyakarta. Berbekal niat awal ingin melanjutkan studinya, Pak Sugi meninggalkan kampung halamannya di Cirebon untuk menuju ke Kota Pelajar, Kota Yogyakarta. Alih-alih kembali ke kampung halaman setelah selesei studi, Pak Sugi justru betah dan menetap di Kota Yogyakarta, sembari mengembangkan hasil studi yang telah diperolehnya.

Pak Sugi berprofesi sebagai tukang salon. Profesi tersebut merupakan hasil studi yang telah diraihnya selama melanjutkan studinya di Yogyakarta. Pada mulanya Pak Sugi ikut majikannya, karena memang pada masa itu Pak Sugi belum mampu untuk membeli lahan sebagai tempat usahanya sendiri. Setelah bertahan sekitar dua puluh tahun, dengan berganti-ganti majikan, Pak Sugi akhirnya mampu menyewa barang sepetak lahan untuk mendirikan dan menjalankan usahanya sendiri.

Di awal-awal bulan usahanya, Pak Sugi mengalami berbagai macam kendala. Mulai dari pelanggan salon yang belum ada sampai cibiran masyarakat tempat Pak Sugi mengais rejeki. Hampir semua orang yang bertemu dengan Pak Sugi merendahkannya.

"Laki-laki kerjanya kok di salon. Apa tidak ada pekerjaan lainnya," begitu salah satu ucapan yang merendahkan Pak Sugi.

Iya...Pak Sugi memang seorang waria. Entah dari awal kelahirannya atau karena pengaruh lingkungannya belum diketahui secara pasti, dan masyarakat pun enggan untuk menanyakan atau mencari tahu lebih lanjut. Bisa juga disebabkan karena profesinya sebagai tukang salon, yang membuat kedalaman jiwa Pak Sugi berubah layaknya seorang ibu.

Perlakuan dan cibiran yang merendahkannya tidak berhenti disitu. Pernah suatu masa, Pak Sugi direndahkan di masjid. Peristiwa itu terjadi ketika Pak Sugi selesei melaksanakan sholat dhuhur berjamaah.

Usai berdoa, Pak Sugi bergegas keluar masjid, karena ada pelanggan yang sudah menunggu di salonnya. Tepat kaki kanannya memakai sandal, dari masjid ada suara laki-laki yang membentaknya dari belakang, "Kamu dilaknat. Kamu tidak pantas berada disini. Kamu pasti masuk neraka".

Ternyata orang tersebut diketahui sebagai takmir masjid. Perawakannya agak kurus dengan kulit putih bersih. Wajahnya menandakan orang tersebut masih berstatus sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Kota Yogyakarta. Wajahnya masih terpasang garang dengan mata melotot menghadap ke arah Pak Sugi.

Pak Sugi pun kaget. Alih-alih ketakutan, Pak Sugi justru marah. Mukanya merah padam dengan tangannya menuding ke arah takmir tersebut.

"Kamu itu siapa? Kok sudah berani-beraninya mengatakan saya dilaknat. Apakah banci itu pasti masuk neraka? Apakah banci tidak boleh sholat di masjid? Apakah masjid ini punyamu sendiri? Hhheee... Apa kamu sudah merasa suci jadi takmir? Kok seenaknya sendiri kalau ngomong. Banci-banci begini saya juga punya Tuhan, saya juga punya perasaan. Apa kamu kira banci itu kayak hewan?". Orang tersebut tidak bisa menjawab serentetan pertanyaan yang keluar dari mulut Pak Sugi.

Kondisi masjid menjadi riuh karena peristiwa makian tersebut. Orang yang awalnya khusyuk berdo'a, terganggu dengan kegaduhan yang ada di luar masjid. Berbondong-bondong orang di dalam masjid bergegas melihat keluar untuk turut menjadi saksi atas tindakan takmir yang telah meremehkan Pak Sugi.

Namun si takmir hanya diam saja, belum mampu memberi jawabannya. Namun kali ini wajah si takmir sudah berubah mulai kebingungan. Entah kebingungan mencari jawaban, atau kebingungan karena banyak jamaah yang berhamburan menyaksikan dosa yang baru saja diperbuatnya.

Pak Sugi dengan tensi marah yang belum turun cepat-cepat meninggalkan masjid itu tanpa memperhatikan telah banyak orang yang berhamburan keluar. Dengan perasaan yang dongkol, Pak Sugi terus berjalan menuju ke arah salonnya.

Namun disisi lain, Pak Sugi cukup puas. Karena mampu memberi pelajaran kepada takmir yang telah meremehkannya. "Awas kalau besok masih merendahkanku", begitu ucap dalam hatinya.

***                                                                          

Padahal masjid menurut kepercayaan umat Islam sebagai rumah Allah. Logika sederhananya, semua makhluk yang diciptakan oleh Allah mempunyai hak berada di dalam masjid. Entah itu hanya untuk melepas penat, atau beribadah mendekatkan diri kepada-Nya. Pun begitu, belum pernah penulis temui sebuah literatur yang mengharamkan keberadaan seorang waria atau banci di masjid.

Selain itu, si takmir juga mempunyai sifat sombong dalam dirinya. Ucapan dan penilaian yang meremehkan waria atau banci sudah cukup dijadikan bukti.

Padahal perkara surga dan neraka, dilaknat atau tidak dilaknat adalah prioritas-Nya. Dan prioritas-Nya berdasarkan penilaian Allah atas makhluknya, bukan berdasarkan penilaian makhluk kepada sesamanya.

Demikian, masjid bukanlah tempat justifikasi kebaikan dan keburukan, pantas dan tidak pantas, neraka dan surga. Masjid hanya sebagai perantara, alat, atau media manusia untuk menyembah Tuhannya.

Sama halnya dengan sajadah dan sarung. Belum tentu dan belum pasti, orang yang menghabiskan dua puluh empat jam hidupnya di masjid akan masuk surga.

Begitu pun orang yang tidak berada di masjid, belum tentu orang yang beribadah di luar masjid (misal sholat sendirian di rumah), akan masuk neraka. Masjid bukan tempat justifikasi keshalehan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun