Mohon tunggu...
Cerita Pemilih

Menjadi Guru Adalah Jalanku

3 Oktober 2015   23:17 Diperbarui: 4 Oktober 2015   07:26 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengutip dari Pak Harfan dalam Film Laskar Pelangi beberapa waktu yang lalu, "Hiduplah untuk memberi sebanyak - banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak - banyaknya". Saya dilahirkan dari keluarga guru, bapak saya guru dan ibu saya guru. Orang tua saya semuanya berasal dari Yogyakarta. Mengenang cerita dari bapak, setelah beliau menyelesaikan pendidikan dari SPG Van Lith Muntilan - Yogyakarta tahun 1960 an, beliau mengikuti ikatan dinas untuk mengajar di daerah terpencil di kabupaten Malang. Saya membayangkan saat itu kondisi keamanan negara yang belum begitu stabil dan di tambah lagi dengan cerita G30S/PKI, saya menanyakan kepada beliau, apakah bapak pernah ke sana sebelumnya dan apakah tidak takut disana ada apa - apa? Jawab beliau "tidak pernah dan saya percaya Tuhan akan melindungi karena niat saya baik yaitu untuk mengabdi menjadi guru disana. Beberapa tahun kemudian, sekitar tahun 1970 an beliau dipindahkan kemadura, kondisinya pun lebih parah dari sebelumnya, kondisi masyarakat yang dilanda kemiskinan dan pendidikan yang rendah menyebabkan kejahatan dan kecurigaan yang berlebihan pada pendatang dari luar madura. Akan tetapi puji Tuhan, semuanya berjalan baik sampai beliau pensiun bersama ibu sampai sekarang. Itu sedikit cerita yang menginspirasi saya untuk menjadi seorang guru.

Dahulu saya yang tidak ada keinginan untuk menjadi guru, sampai saya kuliahpun saya tidak berkeinginan untuk mengambil jurusan keguruan, akhirnya saya kuliah di Universitas Brawijaya. Akan tetapi mungkin Tuhan berkehendak lain. Dari semester dua, saya ditunjuk menjadi assisten dosen, sehingga saya melihat dosen saya mengajari mahasiswanya dan kadang - kadang saya disuruh menggantikan kalau beliau berhalangan hadir. Diluar kampus saya juga diminta untuk mengajar di Lembaga Bimbingan Belajar yang kebanyakan pesertanya adalah mahasiswa dan saya pun menyanggupinya, maklum untuk membantu orang tua paling tidak untuk membayar SPP saya sendiri. Sewaktu semester empat saya mendapat tawaran untuk mengajar di  sekolah Dasar kota Malang, saya pun menyanggupinya karena menurut saya itu merupakan sebuah tantangan untuk menghadapi anak yang usianya kurang lebih antara 6 - 12 tahun.

Dari sana saya banyak belajar karakteristik anak, dan saya mulai menyukai profesi sebagai guru. Beberapa tahun kemudian saya lulus, akan tetapi saya hurus menghadapi kenyataan bahwa saya bukan lulusan FKIP  jadi tidak mungkin menjadi guru. Saya mulai mencoba bekerja sesuai dengan jurusan saya, pada awalnya saya menikmati pekerjaan tersebut, akan tetapi kadang timbul kerinduan menjadi guru. Tidak lebih dari tiga bulan bekerja, saya mendapat tawaran untuk menjadi guru di SMP Katolik di Lawang. Saya menjelaskan kondisi saya kepada kepala sekolah dan beliau membolehkan, asal saya bersedia untuk kuliah lagi di FKIP Matematika. Saat itu saya sadar bahwa saya dituntun untuk menjadi guru.

Tak terasa telah 10 tahun saya menjadi guru di SMP Katolik Budi Mulia Lawang banyak sekali suka dan duka, tetapi duka tersebut saya ubah menjadi suka dipikiran saya. kalau saya ingat lagi baru seperti beberapa minggu yang lalu. Akan tetapi jika saya bertemu dengan siswa saya, ada yang jadi polisi, tentara dan ada juga yang membawa putra - putrinya tidak dapat dipungkiri bahwa saya telah menjadi guru kurang labih 10 tahun. Dari situ juga, saya  merasa bangga melihat anak didik saya, yang dulunya masih kecil tingkahnya yang kadang aneh - aneh dan sering membuat saya jengkel, sekarang menjadi seperti saya (ada yang menjadi guru juga, hehe).

Kadang-kadang kalau kami sedang berbincang, saya ingatkan tentang kelakuannya dulu sewaktu sekolah, ia hanya tertawa dan hal itu menjadi bahan candaan kami. Sekarang ini, banyak orang tua yang tingkat kepercayaannya berkurang, terkadang memberikan nasihat menjadi menyakiti secara phisokologi, terkadang kami harus mencubit supaya tidak terjadi kejadian yang tidak baik menjadi lebih besar, di situ kadang disalah artikan menjadi menyakiti secara fisik. Tapi percayalah kami berusaha mengantarkan putra putri bapak/ibu dengan cara yang paling baik. Saat ini  juga saya melaksanakan program Diklat Pasca UKG dari PPPPTK, supaya jalan yang kami ambil merupakan jalan yang terbaik.

Dari media massa, banyak pemberitaan bahwa TPG akan dihapus. kalau dihapus kami guru swasta bagaimana? Walaupun saya belum impasing, TPG sangat membantu perekonomian keluarga saya disaat semua barang - barang mahal. Kadang saya berpikir misalkan TPG tidak ada, saya dari jam 06.30 - 14.00 berada disekolah, apakah saya harus mencari kerja sampingan untuk mencukupi kebutuhan keluarga? Apakah saya harus mengorbankan persiapan untuk mengajar malam harinya untuk bekerja sampingan? Apakah hal ini tidak memicu kembalinya kualitas pendidikan kezaman sebelum adanya TPG, yaitu guru sibuk memenuhi kebutuhan keluarga daripada memperhatikan pendidikan peserta didik.

3 Oktober 2015 >>#EPUKG, PPPPTK

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun