Cerita di sekitar anggota dewan memang tidak pernah ada habisnya. Dalam satu bulan terakhir, setidaknya ada dua peristiwa yang terbilang memalukan yang melibatkan anggota dewan, dari mulai adu jotos sampai tertangkap basah menerima suap ratusan juta (kelas recehan sepertinya). Kasus-kasus yang membelit anggota dan mantan anggota pun terbilang cukup banyak. Oke lah itu oknum (-oknum). Menilik dari asal partainya, barangkali yang masih melek bisa melihat partai mana saja yang menjadi penyumbang koruptor terbanyak, dan mana yang kontribusinya korupsinya paling sedikit, karena yang bersih suci seperti malaikat ternyata memang tidak ada.
Terlepas dari persoalan hukum dan tindak kriminal yang dilakukan anggota dan mantan anggota, persoalan kinerja anggota dewan pun menjadi sorotan. Produk legislasi yang tidak mencapai target, serta hiruk pikuk anggota yang lebih banyak mengurusi persoalan internal partai, dibandingkan fungsi kedewanannya turut memperlihatkan adanya disorientasi kinerja dewan yang akut.
Dengan berbagai tunjangan dan fasilitas yang serba 'wah' yang disediakan negara, tentunya sangat miris melihat kondisi seperti ini. Yang paling menohok dan membelalakkan mata publik, ternyata anggota dewan berhak mendapatkan uang pensiun bulanan, layaknya pegawai karir yang mengabdikan dirinya sepanjang hidup di kantor. Halaah. Bayangkan, untuk mendramatisir saja, anggota dewan yang rata-rata bermodal dan berkantong tebal, itu menerima uang pensiun bulanan, sementara mayoritas rakyat yang diwakili masih hidup kembang kempis. Kondisi ini semakin miris ketika ternyata para penikmat dana pensiun ini tidak berkinerja apalagi berprestasi!.
Persoalannya uang pensiunan anggota dewan ini adalah legal!. Ini adalah produk legislasi yang tidak tersentuh perubahan jaman dan politik sejak tahun 1980. Uang pensiunan ini diatur oleh UU 12/1980 tentang hak keuangan anggota lembaga tinggi, termasuk diperkuat dengan UU terkait lainnya seperti UU 17/2014 tentang MD3. Anggota dewan nampaknya tidak banyak mempermasalahkan persoalan pensiunan bagi diri mereka sehingga dengan mudahnya meloloskan UU tersebut.
Persoalan pensiun dewan ini sebenarnya pernah menjadi polemik di awal tahun 2013, dan kembali melempem karena media mungkin tidak terlalu tertarik untuk memblow-upnya. Hanura adalah partai yang relatif oportunis, hanya mengikuti kehendak mayoritas. Sementara PDIP dan Gerindra lebih cenderung mendukung untuk mempertahankan uang pensiunan dewan ini. Beberapa LSM sebenarnya sudah menyuarakan agar hak keuangan, terutama masalah pensiun ini dicabut. Sayangnya ini adalah domain mereka. Yang buat UU mereka, yang sangat musykil rasanya mereka akan membuat produk UU yang 'merugikan' mereka sendiri.
Saya mengangkat persoalan pensiun ini, karena pemerintahan Jokowi menggulirkan ide sistem pemberian pensiunan PNS satu kali. PNS yang mengabdikan hidupnya sepanjang waktu untuk negara dianggap sektor pemborosan kalau diberikan pensiun bulanan. Sementara anggota dewan yang hanya bekerja 5 tahun atau kurang, dengan fasilitas berlipat-lipat, bisa mendapatkan hak pensiun seperti layaknya pegawai karir. Lalu di mana letak keadilannya? Saya tidak melihat adanya argumentasi yang masuk akal, selain (sekedar) bertanya, apakah masih pantas anggota dewan menerima uang pensiun?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H