[caption id="attachment_331393" align="aligncenter" width="700" caption="Orang sengaja membuang sampah ditempat yang dilarang (foto dokumen sendiri)"][/caption]
Suatu pagi di hari minggu, penulis dengan istri biasa melakukan rutinitas lari pagi keliling komplek, sambil tentunya "nyabu" (baca: nyarapan bubur). Tiba-tiba serombongan anak-anak bermain dan berlari sambil mengunyah makanan jajanannya.., dan uffss.. tanpa merasa bersalah, mereka membuang plastiknya di jalan yang langsung mengotori jalan. Penulis sudah biasa melihat pemandangan ini.., tidak hanya di jalan, di stasiun, bandara, bahkan di rumah sakit…, tetapi entah kenapa hal itu membuat penulis tertegun sejenak. Mereka berpikir tidak ada yang salah dengan itu, karena memang itu kebiasaan mereka. Bahkan (barangkali) orang-orang dewasa di sekitarnya juga tidak ada yang berpikir salah dengan itu. Padahal (insya Allah tanpa bermaksud menyombongkan diri) si sulung setiap habis jajan es krim atau jajanan lainnya selalu bertanya “ayah.. ini sampahnya dibuang ke mana?’. Sungguh kontras ya?.
Membuang sampah, memang suatu kegiatan yang lumrah sehari-hari dilakukan ibu rumah tangga, orang kantoran, anak sekolah, pedagang kaki lima, tukang becak, pokoknya siapapun. Suka atau tidak, sampah diproduksi tiap hari. Bahkan menurut catatan si Google, di DKI saja sekitar 20.000 m3 sampah diproduksi tiap hari. Sayangnya manajemen sampah di kita memang belum secanggih negara maju.
Untuk mengatasi problem sampah ini, mungkin kita bisa saja membeli teknologi pengelolaan sampah tersebut, semahal apapun!!. Bahkan seandainya tidak punya uang pun, negara kita masih bisa meminjam dari sumber-sumber donor/pemberi pinjaman (seperti yang biasa dilakukan selama ini, hehehe). Tapi apakah teknologi itu solusinya? Atau satu-satunya solusi?.
Penulis yakin bahwa teknologi bukanlah solusi satu-satunya untuk mengelola sampah tadi. Unsur teknologi memang penting untuk mengoptimalkan pengelolaan sampah, dari yang tadinya tidak bernilai ekonomis, menjadi bernilai ekonomis, atau dari yang tadinya berpotensi mengancam lingkungan, sampai menjadi ramah lingkungan. Tetapi perilaku dan peran serta warga tetap memegang peranan terpenting dalam mengelola sampah ini.
Pengalaman penulis selama 2 tahun tinggal di kota Fuchu (pinggiran barat Tokyo) menyaksikan bagaimana pengelolaan sampah merupakan manajemen bersama yang terintegrasi antara pemanfaatan teknologi canggih, kepentingan lingkungan, tanggung jawab pemerintah setempat, partisipasi warga, dan yang paling penting adalah adanya unsur edukasi sejak dini bagi generasi mudanya.
Alur pembuangan sampah di kota ini, sejak diproduksi di rumah harus melalui tahap pemilahan. Warga yang hendak mambuang sampah harus memisahkan sampah tersebut sesuai kriterianya, bahkan termasuk jadwalnya setiap minggu. Kalau berani melanggar, siap-siap deh dengan denda yang tidak sedikit. Barangkali manajemen sampah seperti ini mungkin sudah familiar di telinga kita. Tidak ada yang terlalu istimewa dengan itu.
Sebagai share saja, suatu saat ketika hendak pulang ke Indonesia, penulis mengalami kesulitan ketika hendak membuang beberapa barang termasuk sebuah tempat tidur (itu karena apartemennya memang harus dikosongkan kembali seperti semula). Kita tidak bisa membuangnya begitu saja di pinggir jalan. Penulis (dengan terpaksa) harus membeli stiker pembuangan sampah di city hall, baru kemudian menempelkan stiker tersebut di tempat tidur tersebut, dan baru berani untuk membuangnya. Itu contoh membuang sampah yang legal !! (bayangkan kalau di kita seperti itu, bisa jadi kaya tuh Pemda nya).
Di Birmingham Inggris, sampah dikelola oleh City Council. Setiap KK diberikan dua tong sampah gratis, satu untuk sampah daur ulang, seperti botol. plastik, dan kertas, satu lagi untuk sampah dapur. Sampah daur ulang diangkut dua minggu sekali, sementara sampah dapur seminggu sekali. Semua biaya ditanggung oleh pemerintah kota, tanpa iuran sampah per RT/RW, karena sumber pendanaan untuk seluruh layanan publik sudah di satu pintukan, yaitu pajak, atau Council tax.
[caption id="attachment_331400" align="alignnone" width="640" caption="Petugas dari City Council mengangkut sampah di pagi hari setiap minggunya di halaman rumah (foto dokumen sendiri)"]
Fungsi pemilahan sampah, jadwal pembuangan, serta stiker ijin membuang sampah adalah sebuah catatan penting mengenai peran pemerintah setempat dalam mengedukasi warga dalam membuang sampah. Demikian pula dengan anak-anak sekolah yang juga diajarkan bagaimana membuang sampah seharusnya, sehingga ketika mereka beranjak dewasa, perilaku membuang sampah mereka juga menjadi teratur. Tidak mengherankan kalau kota se-crowded Tokyo, masih tetap bersih. (bandingkan dengan Jakarta kita yang tercinta, yang katanya kembali mendapat Adipura untuk kesekian kalinya, sedih ya?).
Ternyata kuncinya adalah pada faktor perilaku membuang sampah. Anak-anak kita harus diajarkan untuk mencintai lingkungan. Mulailah dari diri sendiri, di lingkungan keluarga. Ajarkan anak-anak kita untuk bertanggung jawab terhadap lingkungannya. Paling tidak dengan tertanamnya pemahaman dan kecintaan ada kebersihan lingkungan sejak dini, ketika mereka beranjak dewasa, mereka menjadi generasi yang paham pentingnya membuang sampah yang baik dan mencintai lingkungannya.
Dalam bahasa agamanya, kebersihan adalah sebagian dari iman. Mungkin itulah yang harus diresapi, dimaknai, dan selanjutnya diterjemahkan dalam perilaku sehari-hari,... sehingga tidak hanya dihapalkan di luar kepala,.. nanti benar-benar hanya menjadi hapalan tanpa makna.
#tulisan lama, repost dari blog penulis, dipost ulang (dengan sedikit edit dan tambahan), karena SANGAT prihatin dengan kelakuan sebagian (besar) bangsa ini yang tidak peduli dengan lingkungan, perilaku ignorance dan tidak bertanggung jawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H