"Program panas bumi ini sedang kita upayakan untuk memendekkan proses perizinan. Jadi proses perizinan sedang diupayakan kalau yang tadinya tidak salah 18 bulan, kita kemarin sudah berupaya untuk menjadi lima hari"Â
Indonesia memiliki potensi energi baru terbarukan yang sangat besar, mencapai 3.687 gigawatt (GW), dengan sekitar 23 GW berasal dari energi panas bumi. Namun, potensi besar ini sering kali terhambat oleh kendala birokrasi dan proses perizinan yang panjang. Menyadari hambatan tersebut, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengambil langkah strategis dengan memangkas durasi perizinan energi panas bumi dari sebelumnya 18 bulan menjadi hanya lima hari.
Langkah inovatif ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi, dalam acara ESG Symposium 2024 di Jakarta, Selasa (19/11/2024). Menurutnya, penyederhanaan ini merupakan hasil dari transformasi proses bisnis yang bertujuan menghilangkan hambatan birokrasi tanpa mengorbankan kepatuhan terhadap regulasi.
Pemangkasan durasi perizinan tidak hanya menjadi solusi untuk mempercepat pengembangan energi panas bumi, tetapi juga menunjukkan bagaimana reformasi proses bisnis dan pemanfaatan teknologi informasi dapat mendorong efisiensi, meningkatkan daya tarik investasi, serta mendukung transisi menuju energi yang lebih berkelanjutan.Pentingnya Proses Bisnis Re-engineering dalam Sektor Panas Bumi
Proses bisnis re-engineering (business process re-engineering atau BPR) adalah pendekatan radikal untuk merancang ulang proses bisnis yang ada dengan tujuan mencapai peningkatan dramatis dalam hal efisiensi, kualitas, dan kecepatan. Dalam konteks sektor energi panas bumi, pendekatan ini sangat relevan karena sektor ini menghadapi tantangan signifikan, seperti proses perizinan yang panjang, tumpang tindih regulasi, dan birokrasi yang rumit.
Dengan BPR, Kementerian ESDM telah mengidentifikasi bahwa proses perizinan KKPR dan AMDAL dapat disederhanakan tanpa mengurangi aspek kepatuhan terhadap regulasi lingkungan dan tata ruang. Langkah ini memungkinkan pengembang untuk memulai proyek lebih cepat, sementara izin detail dapat diselesaikan setelah lokasi pengeboran yang optimal ditemukan. Pendekatan ini mencerminkan filosofi inti dari BPR, yaitu fokus pada hasil akhir dengan memanfaatkan teknologi untuk menyederhanakan proses.
OSS sebagai Pilar Teknologi dalam Transformasi Proses
Online Single Submission (OSS) menjadi komponen utama dalam transformasi digital sektor perizinan panas bumi. Sistem ini dirancang untuk mengintegrasikan berbagai proses administratif dalam satu platform digital, mengurangi redundansi data, dan memungkinkan kolaborasi lintas lembaga.
Dengan OSS, proses perizinan dapat dilacak secara transparan, mengurangi peluang penyalahgunaan wewenang dan mempercepat penyelesaian dokumen. Selain itu, OSS mendukung data-driven decision making, di mana data spasial dan lingkungan dapat diintegrasikan untuk membantu pengembang menentukan lokasi pengeboran yang paling efisien.
Pemanfaatan OSS juga sejalan dengan prinsip-prinsip smart government, di mana teknologi digunakan untuk meningkatkan efisiensi pelayanan publik. Transformasi ini tidak hanya meningkatkan daya saing sektor energi panas bumi, tetapi juga menjadi model bagaimana teknologi informasi dapat mendukung pelaksanaan regulasi berbasis risiko, seperti yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2021.