Mohon tunggu...
aldis
aldis Mohon Tunggu... Arsitektur Enterprise

Arsitektur Enterprise, Transformasi Digital, Travelling,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dilema Peran Milenial dalam Mendorong Inovasi di Tempat Kerja

12 Agustus 2024   08:34 Diperbarui: 12 Agustus 2024   09:16 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pagi ini saya meluangkan waktu untuk menyimak diskusi Simon Sinek dalam salah satu video podcast "Millennials in the Workplace" yang membahas tantangan yang dihadapi generasi Milenial di lingkungan kerja. Dia memulai dengan menjelaskan bahwa generasi Milenial, yang lahir sekitar tahun 1984 dan setelahnya dalam era digital yang serba cepat dan terkoneksi, menghadapi tantangan yang kian kompleks. 

Banyak pemimpin dan manajer di dunia kerja mengeluhkan bahwa generasi ini sulit untuk dikelola, sering kali dianggap sebagai generasi yang merasa berhak, narsisistik, tidak fokus, dan malas. Namun, dari semua keluhan tersebut, yang paling dominan adalah anggapan bahwa mereka merasa berhak mendapatkan segalanya. Generasi ini diakui sering membuat bingung para pemimpin dalam organisasi, yang tidak jarang bertanya kepada mereka, "Apa yang kalian inginkan sih ?"

Jawaban yang umum dari para Milenial adalah keinginan untuk bekerja di tempat yang memiliki tujuan jelas, di mana mereka bisa memberi dampak positif, dan bahkan hal-hal seperti fasilitas yang nyaman, makanan gratis, serta ruang kerja yang menyenangkan. 

Meskipun beberapa organisasi berusaha memenuhi tuntutan ini, hasilnya sering kali tidak memuaskan. Generasi ini tetap merasa tidak bahagia, yang mengindikasikan adanya faktor-faktor mendasar yang belum tersentuh.

Ada empat elemen utama yang mempengaruhi keadaan ini: pola asuh, teknologi, ketidaksabaran, dan lingkungan kerja. Pertama, banyak Milenial tumbuh dengan pola asuh yang dianggap gagal. Mereka dibesarkan dengan keyakinan bahwa mereka istimewa dan dapat memiliki apapun yang mereka inginkan, hanya karena mereka menginginkannya. 

Beberapa dari mereka bahkan mendapat nilai tinggi atau masuk kelas kehormatan bukan karena prestasi mereka, melainkan karena tekanan dari orang tua. Hal ini menciptakan generasi dengan harga diri yang lebih rendah dibandingkan generasi sebelumnya, karena ketika mereka memasuki dunia nyata, mereka mendapati bahwa kenyataan tidak sesuai dengan apa yang selama ini diajarkan kepada mereka. Mereka tidak lagi merasa istimewa, dan keberhasilan tidak bisa diraih hanya dengan keinginan.

Kemudian, masuknya teknologi, khususnya media sosial, memperparah masalah ini. Generasi Milenial tumbuh di dunia di mana kehidupan terlihat sempurna di Instagram atau Facebook, padahal realitanya tidak demikian. Media sosial mendorong mereka untuk terus-menerus mencari validasi eksternal melalui "likes" dan komentar, yang melepaskan dopamin di otak mereka---zat kimia yang sama yang dilepaskan ketika seseorang merokok, minum alkohol, atau berjudi. 

Seiring berjalannya waktu, hal ini dapat menjadi kecanduan yang merusak, terutama karena tidak ada pembatasan usia pada penggunaan media sosial dan ponsel, berbeda dengan alkohol dan rokok. Ketergantungan pada teknologi ini membuat banyak dari mereka sulit membangun hubungan yang mendalam dan bermakna, karena mereka lebih sering mengandalkan perangkat daripada orang lain untuk mengatasi stres.

Ketidaksabaran adalah elemen ketiga yang mempengaruhi generasi ini. Milenial tumbuh di era di mana hampir semua hal bisa didapatkan secara instan, dari belanja online hingga menonton film atau serial TV. Namun, kepuasan dalam pekerjaan dan kekuatan hubungan tidak bisa dicapai dengan cara instan. Hal-hal tersebut memerlukan proses yang panjang, kadang-kadang berantakan, dan penuh tantangan. 

Namun, banyak Milenial yang merasa frustrasi karena mereka tidak langsung melihat dampak atau hasil dari usaha mereka, sehingga mereka merasa tidak puas dan mempertimbangkan untuk berhenti bekerja hanya dalam beberapa bulan setelah bergabung dengan perusahaan.

Yang terakhir adalah lingkungan kerja. Banyak perusahaan lebih fokus pada keuntungan jangka pendek daripada pengembangan jangka panjang karyawan mereka. Generasi ini sering kali dimasukkan ke dalam lingkungan kerja yang tidak mendukung mereka dalam mengembangkan keterampilan sosial, tidak membantu mereka menemukan keseimbangan antara dunia digital dan nyata, serta tidak mengajarkan mereka nilai kerja keras dan kesabaran. Akibatnya, mereka merasa tidak mampu menghadapi tantangan di tempat kerja dan sering kali menyalahkan diri sendiri, padahal masalahnya terletak pada lingkungan kerja yang tidak kondusif.

Dampaknya, kita melihat peningkatan dalam tingkat depresi, kecemasan, dan bahkan bunuh diri di kalangan generasi Milenial. Ketidakmampuan untuk membangun hubungan yang dalam dan bermakna, serta ketidakmampuan untuk mengatasi stres dengan cara yang sehat, hanya memperburuk keadaan. Pada skenario terburuk, mereka mungkin tidak pernah menemukan kebahagiaan sejati atau kepuasan dalam hidup dan karier mereka, menjalani hidup dalam keadaan yang biasa-biasa saja tanpa benar-benar merasa puas.

Solusi dari masalah ini tidaklah sederhana. Perusahaan perlu mengambil tanggung jawab lebih besar untuk mendukung generasi ini, membangun kepercayaan diri mereka, dan mengajarkan keterampilan sosial yang tidak mereka dapatkan saat tumbuh dewasa. 

Lingkungan kerja perlu dirancang untuk mendorong interaksi langsung, mendukung pembelajaran yang berkesinambungan, dan memberikan kesempatan untuk meraih prestasi yang memerlukan usaha jangka panjang. 

Misalnya, larangan penggunaan ponsel di ruang rapat atau saat menunggu pertemuan dimulai bisa menjadi langkah awal untuk mendorong lebih banyak interaksi antar karyawan, yang pada akhirnya akan membentuk hubungan yang lebih kuat dan saling percaya.

Perusahaan juga perlu menyadari bahwa ketergantungan pada teknologi bisa merusak hubungan antar manusia. Dengan mengurangi ketergantungan pada perangkat digital dalam situasi sosial dan lebih menekankan pada interaksi tatap muka, generasi ini bisa belajar membangun hubungan yang lebih bermakna dan mengembangkan keterampilan sosial yang krusial untuk keberhasilan di dunia kerja.

Pada akhirnya, meski generasi Milenial mungkin tampak menantang bagi banyak pemimpin dan organisasi, dengan pendekatan yang tepat, mereka dapat menjadi kekuatan yang luar biasa dalam dunia kerja modern. Dengan memahami tantangan yang mereka hadapi dan memberikan dukungan yang mereka butuhkan, kita bisa membantu mereka mencapai potensi penuh mereka, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari organisasi yang lebih besar.

Bacaan terkait :
- Simon Sinek - "Start with Why: How Great Leaders Inspire Everyone to Take Action" (2009)

- Simon Sinek - "Leaders Eat Last: Why Some Teams Pull Together and Others Don't" (2014)
- Jean M. Twenge - "iGen: Why Today's Super-Connected Kids Are Growing Up Less Rebellious, More Tolerant, Less Happy--and Completely Unprepared for Adulthood" (2017)
- Pew Research Center - "Millennials in Adulthood: Detached from Institutions, Networked with Friends" (2014)
- J. P. Morgan - "Millennials: Decoding the Largest Generation" (2016)

- Harvard Business Review - "Managing the Millennials" (2016) 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun