Mohon tunggu...
aldis
aldis Mohon Tunggu... Insinyur - Arsitektur Enterprise

Arsitektur Enterprise, Transformasi Digital, Travelling,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Psikologi Informasi di Era Viral: Antara Emosi dan Identitas Online

21 Januari 2024   06:48 Diperbarui: 23 Januari 2024   15:24 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena viral di sosial media telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari kita. Setiap harinya, kita disuguhi oleh berbagai konten yang menyebar dengan cepat dan masif di berbagai platform. Suguhan yang tidak jarang mengubek - ubek emosi dan situasi kebatinan kita. 

Konteks tersebut  saat ini menjadi penting untuk kita memahami dampak dari perspektif psikologi informasi. Psikologi informasi sendiri membahas interaksi kompleks antara individu dan informasi, dan dalam era digital ini, pengaruhnya terhadap persepsi dan perilaku online menjadi semakin signifikan.

Psikologi informasi adalah cabang psikologi yang mengkaji bagaimana individu memahami, memproses, dan berinteraksi dengan informasi. Dalam konteks digital, psikologi informasi mencakup bagaimana individu merespons informasi yang mereka temui di dunia maya. Hal ini melibatkan aspek-aspek seperti keterlibatan emosional, persepsi informasi, dan bagaimana individu mengelola informasi yang mereka peroleh.

Faktor-Faktor Psikologis yang Mendorong Viralitas

Dalam psikologi informasi, terdapat berbagai faktor yang mendorong konten menjadi viral di sosial media. Teori kepuasan dan penghargaan, misalnya, menjelaskan bahwa konten yang memicu keterlibatan emosional tinggi dan memberikan penghargaan kepada pengguna cenderung menjadi viral. Peningkatan rasa diri melalui pembagian konten juga menjadi salah satu pendorong utama.

Selain itu, teori ketidakpastian dan kebutuhan informasi menjelaskan bahwa konten yang memiliki daya tarik kontroversial dan misterius dapat lebih mudah menarik perhatian dan di-share oleh pengguna. Keingintahuan juga menjadi faktor penting, di mana konten yang memicu rasa ingin tahu pengguna cenderung mendapatkan lebih banyak interaksi.

Pengaruh viralitas konten di sosial media tidak hanya terbatas pada seberapa banyak konten tersebut disebarkan, tetapi juga memiliki dampak psikologis pada pengguna. Konsekuensi psikologis positif melibatkan peningkatan keterlibatan sosial dan penguatan identitas individu melalui interaksi online. Namun, di sisi lain, terdapat konsekuensi negatif seperti stres dan kecemasan akibat perbandingan sosial serta risiko pengalaman siberbullying.

Peran Algoritma dalam Meningkatkan Viralitas

Algoritma sosial media memainkan peran sentral yang mendefinisikan dinamika penyebaran konten di platform-platform digital. Mekanisme ini tidak hanya berfungsi sebagai pengatur konten, tetapi juga sebagai penentu utama sejauh mana suatu informasi dapat mencapai audiens yang lebih luas. Dengan menggunakan data pengguna, algoritma menyusun preferensi dan perilaku online untuk menyajikan konten yang dianggap paling relevan atau menarik bagi setiap individu.

Namun, seiring keefektifan algoritma, muncul dampak negatif yang signifikan. Filter bubble, sebagai contoh, menciptakan lingkungan di mana pengguna hanya diberikan informasi yang sejalan dengan pandangan mereka, membatasi keragaman perspektif. Selain itu, fenomena echo chamber memperkuat keyakinan yang ada, mengisolasi pengguna dari ide dan opini yang berbeda.

Tantangan etis melibatkan privasi dan manipulasi informasi. Penggunaan algoritma dalam mengumpulkan data pengguna memicu kekhawatiran terkait keamanan privasi individu. Selain itu, manipulasi informasi oleh algoritma dapat membentuk opini dan perilaku pengguna tanpa mereka sadari.

Dalam menghadapi tantangan ini, perlu diterapkan pertimbangan etis yang cermat. Pengembangan algoritma yang transparan, mempertimbangkan prinsip-prinsip privasi, dan memungkinkan pengguna untuk mengontrol sejauh mana mereka ingin terpapar pada suatu jenis informasi dapat membantu mengurangi dampak negatif. 

Pemikiran lebih lanjut tentang bagaimana merancang algoritma secara etis dan bertanggung jawab dapat memastikan keberagaman informasi yang lebih sehat dan menyeluruh, sekaligus menjaga integritas pengalaman online.

Penanganan dan Pendidikan Psikologi Informasi

Upaya untuk menangani dampak negatif psikologi informasi memerlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan seluruh spektrum masyarakat. Stategi pertama melibatkan penguatan literasi media dan informasi di kalangan masyarakat. Pengguna perlu dilatih untuk menjadi konsumen informasi yang cerdas, mampu memahami sumber, memilah fakta dari opini, dan mengenali potensi bias dalam berbagai konten.

Selain literasi media, pengembangan keterampilan kritis dalam membaca konten online menjadi hal yang mendesak. Ini mencakup kemampuan untuk menganalisis dan mengevaluasi informasi, serta memahami konteks di balik suatu narasi. Dengan keterampilan ini, pengguna dapat lebih bijak dalam menyaring dan menginterpretasikan informasi yang mereka temui di dunia maya.

Pemerintah, platform sosial media, dan lembaga pendidikan memiliki peran krusial dalam membentuk kesadaran masyarakat. Pemerintah dapat melibatkan diri dalam pembuatan kebijakan yang mendukung literasi media dan memberikan sanksi terhadap penyebaran informasi palsu. Platform sosial media, sebagai wadah utama interaksi online, bertanggung jawab untuk menyediakan sumber informasi yang dapat dipercaya dan mengimplementasikan algoritma yang mendukung keberagaman perspektif.

Lembaga pendidikan memiliki tanggung jawab untuk menyelenggarakan program literasi media dan informasi yang mencakup semua tingkatan pendidikan. Kurikulum yang memfokuskan pada pengembangan pemahaman kritis terhadap informasi online dapat membekali generasi mendatang dengan alat yang diperlukan untuk menghadapi kompleksitas dunia maya.

Dengan sinergi dari berbagai pihak, masyarakat dapat memiliki pemahaman yang lebih baik tentang dampak psikologi informasi dan lebih mampu menghadapi tantangan di era digital ini. Edukasi yang holistik dan peningkatan keterampilan individu akan membawa perubahan positif dalam cara kita berinteraksi dan memproses informasi di dunia maya.

Kesimpulan

Pentingnya pemahaman mendalam terkait psikologi informasi dalam era digital tak dapat dipandang sebelah mata. Era di mana segala informasi dapat menyebar dengan cepat dan meluas di dunia maya memerlukan pemahaman yang matang tentang bagaimana manusia berinteraksi, memproses, dan merespons informasi dalam lingkungan digital.

Fenomena viral di sosial media membawa tantangan dan peluang yang kompleks. Kita dihadapkan pada perluasan ruang digital yang memiliki potensi untuk membentuk opini publik, tetapi sekaligus membawa risiko terhadap kesalahan interpretasi dan penyebaran informasi yang tidak benar. Oleh karena itu, pendekatan yang holistik dan kolaboratif menjadi kunci untuk menghadapi dinamika ini.

Kolaborasi antara individu, pemerintah, dan platform sosial media sangat diperlukan. Individu perlu diberdayakan dengan pengetahuan literasi media yang kuat, mampu menyaring informasi dengan kritis, dan memahami dampak psikologis dari konten yang mereka konsumsi. Pemerintah memiliki peran dalam merumuskan regulasi yang menjaga etika dan privasi, serta mengedukasi masyarakat tentang pentingnya kesadaran digital.

Platform sosial media juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa algoritma yang mereka terapkan tidak hanya meningkatkan viralitas, tetapi juga meminimalkan risiko seperti filter bubble dan echo chamber. Pemahaman yang lebih baik tentang psikologi informasi harus diintegrasikan ke dalam perancangan algoritma untuk menciptakan lingkungan online yang beragam dan inklusif.

Dengan pemahaman yang lebih baik tentang psikologi informasi, kita dapat membentuk pengalaman online yang lebih sehat dan berkelanjutan bagi semua pengguna. Melalui pendekatan holistik ini, kita dapat memanfaatkan potensi positif dari dunia maya sambil menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab bersama untuk membangun lingkungan digital yang aman dan bermakna. Dengan demikian, kita dapat membentuk masa depan digital yang lebih manusiawi dan beradab.

Bacaan lebih lanjut :

  • Boyd, D., & Ellison, N. B. (2007). Social network sites: Definition, history, and scholarship. Journal of Computer-Mediated Communication, 13(1), 210-230.

  • Fuchs, C. (2017). Social media: A critical introduction. Sage.

  • Knapp, D. E., & Vandeveer, L. R. (2019). Social Media Use and Perceived Social Isolation Among Young Adults in the U.S. Social Media + Society, 5(2), 2056305119848745.

  • Livingstone, S., & Brake, D. R. (2010). On the rapid rise of social networking sites: New findings and policy implications. Children & Society, 24(1), 75-83.

  • Sundar, S. S. (2008). The MAIN Model: A Heuristic Approach to Understanding Technology Effects on Credibility. In Digital Media, Youth, and Credibility (pp. 73-100). The MIT Press.

  • Zywica, J., & Danowski, J. (2008). The faces of Facebookers: Investigating social enhancement and social compensation hypotheses; predicting Facebook and offline popularity from sociability and self-esteem, and mapping the meanings of popularity with semantic networks. Journal of ComputerMediated Communication, 14(1), 1-34.

  • Tandoc, E. C., Ferrucci, P., & Duffy, M. (2015). Facebook use, envy, and depression among college students: Is facebooking depressing?. Computers in Human Behavior, 43, 139-146.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun