Di era digital saat ini, tidak dapat disangkal bahwa media sosial memainkan peran kunci dalam dunia politik. Fenomena terbaru yang menarik perhatian adalah keterlibatan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam platform TikTok selama kampanye Pemilu 2024. Mereka tampaknya berusaha proaktif dengan memanfaatkan fitur siaran langsung atau live TikTok untuk berkomunikasi langsung dengan warganet secara dua arah. Langkah ini dapat dianggap sebagai respons terhadap pergeseran perilaku pemilih, khususnya di kalangan anak muda yang semakin mendominasi penggunaan media sosial.Â
Dengan populernya TikTok di kalangan generasi muda, capres dan cawapres sepertinya mengenali potensi besar yang dapat mereka raih dengan hadir di platform ini. Namun, di balik inovasi politik ini, perlu untuk mengevaluasi dampaknya, tantangan etika yang mungkin muncul, dan apakah hal ini benar-benar mencerminkan transformasi positif dalam politik digital.
Pertama-tama, kita perlu mengakui bahwa TikTok telah menjadi tempat yang signifikan bagi ekspresi kreatif dan interaksi di kalangan pemuda. Dengan memanfaatkan fitur siaran langsung TikTok, Capres dan cawapres  menunjukkan keterlibatan mereka dalam merespons dinamika media sosial saat ini. Ini adalah langkah yang cerdas, mengingat anak muda adalah pemilih potensial yang dapat memiliki pengaruh besar dalam hasil pemilihan.
Dalam dunia politik yang semakin terkoneksi, mencapai pemilih melalui platform yang digunakan secara luas oleh mereka adalah keputusan strategis. TikTok, dengan format video pendek dan fitur siaran langsung, memberikan cara yang lebih personal dan langsung untuk berkomunikasi dengan pemilih. Ini bukan hanya sekadar menciptakan kesan yang positif tetapi juga memungkinkan para calon untuk menjawab pertanyaan langsung dari warganet, menciptakan interaksi yang lebih mendalam.
Namun, di tengah inovasi ini, muncul beberapa pertanyaan etis yang perlu dijawab. Pertama-tama, apakah penggunaan TikTok oleh calon presiden dan wakil presiden adalah langkah yang benar-benar inklusif atau hanya berfokus pada segmen pemilih tertentu? Meskipun anak muda sangat intens dan aktif di  TikTok, ada risiko bahwa strategi ini dapat mengabaikan pemilih dari kelompok usia yang lebih tua atau mereka yang mungkin tidak aktif di platform ini.
Selanjutnya, penting untuk menilai apakah fitur siaran langsung TikTok dapat memberikan wawasan yang substansial bagi pemilih atau hanya sebatas wacana publik yang bersifat sementara. Langkah ini memang menciptakan keintiman dalam komunikasi politik, tetapi relevansinya dengan isu-isu substansial dan rencana kebijakan perlu diperiksa. Keberhasilan kampanye bukan hanya tentang seberapa besar kehadiran di media sosial tetapi juga tentang penyampaian ide dan solusi nyata untuk masalah masyarakat.
Dalam konteks ini, perlu dicermati pula potensi terjadinya polarisasi dan filter bubble di TikTok. Platform-media sosial seringkali menjadi tempat di mana pemilih mendapatkan informasi yang mengonfirmasi pandangan mereka sendiri. Dengan berfokus pada TikTok, calon presiden dan wakil presiden mungkin secara tidak sengaja memperkuat kesenjangan pemahaman antarpendukung dan oposisi. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk memastikan bahwa pesan yang disampaikan mencakup beragam perspektif dan tidak hanya memperkuat opini yang sudah ada.
Tidak hanya itu, perlu diingat bahwa media sosial juga dapat menjadi sarana penyebaran informasi palsu atau manipulatif. Dalam upaya mendulang dukungan, capres dan cawapres harus memastikan bahwa informasi yang mereka bagikan melalui TikTok adalah akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Tidak hanya menghargai popularitas, tetapi juga mempertahankan integritas informasi merupakan tanggung jawab yang tak terhindarkan.
Seiring dengan perkembangan ini, para pengamat politik dan masyarakat umum harus senantiasa bersikap kritis terhadap pemanfaatan media sosial dalam kampanye politik. Evaluasi konstan terhadap dampak positif dan negatif dari langkah-langkah ini penting untuk memastikan bahwa inovasi politik ini berkontribusi positif pada proses demokrasi dan tidak merugikan integritas pemilu.
Penggunaan media sosial TikTok oleh calon presiden dan cawapres merupakan refleksi dari upaya adaptasi terhadap dinamika politik yang terus berubah dan pergeseran perilaku pemilih yang semakin menonjol di era digital ini. Sebagai alat komunikasi yang memungkinkan interaksi langsung dan mendalam dengan pemilih potensial, TikTok menjadi sebuah platform yang menangkap esensi dari transformasi politik yang tengah terjadi.
Langkah ini dapat dianggap sebagai langkah inovatif karena mencerminkan pemahaman yang mendalam terhadap pentingnya kehadiran di media yang dominan di kalangan generasi muda. TikTok, dengan ciri khas video pendeknya, menciptakan peluang untuk menyampaikan pesan kampanye secara kreatif dan singkat, sesuai dengan karakteristik perhatian singkat yang dimiliki pemirsa online saat ini. Dalam hal ini, mereka menunjukkan sensitivitas terhadap perkembangan teknologi dan tren perilaku sosial.