Waktu itu,
Aku dan mereka menatap malu yang tak kuasa menahan air mata
Aku dan mereka memeluk gelisah yang tak mampu merangkai suara
Aku dan mereka membisu entah sengaja atau tak berdaya
Aku dan mereka membeku meratapi hancurnya jati diri
Â
Waktu itu,
Perlawanan tak sekeras dulu
Lagu lagu tak sebising dulu
Buku buku tak semerah dulu
Dan demontrasi hanyalah panggung orasi bagi pembela kebenaran yang semu
Atau bagi pelacur pelacur intelektual yang menjajakan tubuhnya dari dan untuk kekuasaan..
Â
Waktu itu,
Aku dan mereka semakin berbeda dalam menilai dan merasa..
Aku dan mereka semakin menderita karena peluh keringat menjadi mahal harganya
Aku dan mereka semakin tersiksa demi kebodohan yang mesti kami sajikan sempurna
Aku dan mereka iba karena puisi ini semakin tak jelas arahnya..
Â
Waktu itu,
Aktivis aktivis tak sehebat dulu
Perjuangan pun tak suci bagai dahulu
Kalian semua punya kepala tapi isinya apa?!!!
Punya jiwa tapi mana bukti kau mencintai manusia..????
Â
Waktu itu,
Diskusi tak setegang dulu
Bahasa dialektika kian usang hingga dibuang tuannya
Tidak ada advokasi kebijakan publik.
Yang ada adalah bagaimana agar para aktivis itu bungkam.
Jika bersuara sumpal mulutnya di rumah padang.
Semua masalah terselesaikan. Aman.
Â
Waktu itu, Sahabat!
Aku dan mereka merindukanmu..
Aku dan mereka merindukan manusia manusia yang tercerahkan seperti dirimu..
Sufi Putra Lintang.
09 Juni 2016 @komisariatwalisongopurwokerto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H