Mohon tunggu...
M. Sufi
M. Sufi Mohon Tunggu... Teacher of Kuranic Reading -

Cuman guru ngaji alif...bak...tak... http//laposufi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Islam Bukan Ajaran Primitif Respons Pembakaran Gereja di Aceh Singkil Bag. I

17 Oktober 2015   01:51 Diperbarui: 17 Oktober 2015   08:53 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Dibakar"]Baru berselang dari Iedul Fitri ke Iedul Adha kita dikagetkan dengan satu kejadian lagi yakni pembakaran Gereja Mandumpang di Aceh Singkil (13/10/2015).  Ironinya hal ini terjadi sehari hari sebelum ummat muslim melepas akhir tahun ke tahun baru Islam. Sangat disayangkan, seharusnya bisa meninggalkan catatan baik di akhir tahun dan mengawali hal yang baik di tahun baru Hijriah.  Tragedi kemanusiaan berupa isu sara ini masih mewarnai perjalanan bangsa Indonesia menuju Negara yang masih terus berbenah. Kejadian ini yang membuat saya harus membuka laptop berjuang menyuarakan kesamaan, kesetaraan dan keadilan.  Mungkin sebatas ini yang baru bisa saya lakukan dan mudah-mudahan ada manfaatnya.

Sebenarnya apa yang terjadi pada diri manusia dalam kesehariannya dia menjalanai hidup menjadi makhluk ciptaan Tuhan? Jika kita menilik lebih jauh dalam diri seorang manusia, manusia memiliki tiga tahapan keadaan diri, yang masing-masing memiliki deskripsi makna  yang berbeda-beda. 

Pertama keadaan Nafs Ammarah sifat tabi’i/bawaan yang dalam Al Qur’an di sebut Innan nafsa laammaaratun bissuui – sesungguhnya nafsu selalu membawa manusia untuk selalu berjalan pada arah keburukan. 12:54.  Nafs ammarah instingtive adalah suatu stage dimana kondisi manusia ada dalam keadaan alamiahnya, yaitu kondisi alami yang dibawa sejak lahir atau tabi’i. Hal-hal alami yang menguasai diri manusia kemudian akan menggelincirkannya kepada dosa dan keburukan.  Dalam keadaan seperti itu manusia tidak ada perbedaan dengan  binatang, yaitu tatkala manusia ingin makan, minum, tidur, bangun, menunjukkan emosi naik darah dan berhubungan intim ini semua dorongan nafs Ammarahnya/tabi’inya yang tanpa melalui proses timbang terima dengan akal pikirannya dia melakukan itu. Cara merespon hidup seperti ini biasa dilakukan oleh manusia-manusia primitif yang selalu mengikuti dorongan nafsu alaminya.

Yang kedua nafs lawwamah regretful atau sifat yang menyesali dosa dan menolak keburukan.  Nafs lawwamah ternyata merupakan sumber dari karakter akhlaki manusia sebagaimana di tempat lain Al Quran menyebutkan; wa laa uqsimu binnafsil lawwaamah – aku bersumpah dengan nafs (jiwa) yang menyesali dirinya sendiri atas perbuatan buruk dan setiap pelanggarannya.  75:3. 

Ada pun definisi maknawiahnya dari nafs lawwamah adalah seseorang yang membenci atas perlakuan buruk orang lain yang sewenang-wenang yang akan menciderai kebaikan atau tatakrama dari sebuah peraturan masyarakat tertentu.  Akan tetapi seseorang yang mencapai derajat nafs lawwamah di karenakan masih labil terkadang dia dikalahkan oleh dorongan tabi’inya walau dia sangat tidak menyukai dan selalu menolak setiap kali ada dorongan tabi’inya/nafs ammarahnya.  Dia sesekali kembali lagi pada derajat pertama yakni nafs ammarah, seperti halnya seorang anak yang sedang belajar berjalan terkadang dia berjalan dan terkadang terjatuh.  Namun dalam tahapan ini Tuhan telah menempatkannya pada keadaan akhlaki.  Karena setiap tindakan dia telah melibatkan akal pikirannya. 

Sedang yang terakhir dari keadaan manusia adalah nafs mutmainnah inner peace yakni jiwa yang aman tenteram dalam  ridha dan kasih sayang Tuhannya.  Sebagaiaman Allah swt berfirman dalam Al Quran; yaa ayyuhan nafsul muthmainnah irji’ii ilaa rabbiki raadhiyatam mardhiyyah ­– hai jiwa yang tentera dan mendapat ketenteraman dari Tuhan, kembalilah kepada Rabb-mu, kamu senang kepada-Nya dan Dia senang kepadamu. 89:27-30.  Dalam situasi seperti inilah dimana seseorang telah menemukan Tuhannya, mencapai bukan saja syariat, hakikat, makrifat tetapi telah sampai pada kedudukan tertinggi yakni liqa ilallaah perjumpaan dengan Allah.  Bagi seseorang yang mencapai kedudukan seperti ini setiap amal ibadah adalah karunia besar baginya.  Kegembiraan iman yang terus dewasa dan berkwalitas merupakan magnet besar menarik najat (keselamat) yang tiada henti-hentinya dari Allah SWT.  Keadaan ini akan memandang jijik terhadap gaya hidup primitif atau selalu mengiyakan hasrat nafs ammarahnya. 

Derajat Nafs Muthmainnah adalah satu stage yang dimana hewan tidak dapat meraihnya dan hanya manusia yang melalui perjuangan kerasnya atas karunia Tuhan mampu menarik turun hujan karunia Tuhan yang tiada hentinya.  Manusia yang mencapai derajat ini dia telah merasakan satu situasi Keruhanian kelezatan iman dan dia merasakan kelezatan surga saat di bumi ini juga. Famankaana fi haadzihi a’ma fahuwa fil aakhirati a’ma – barang siapa di dunia in ibuta maka di akhirat pun dia buta.  Artinya bagaimana seseorang dapat yakin mendapatkan reward kebahagiaan dari Tuhan sedangkan di dunia saja mereka belum pernah merasakan?

Nah, itu tiga penjelasan keadaan dasar manusia, saya mencoba mengaitkan dinamika yang ada disekitar kita.  Jika kita melihat persekusi demi persekusi yang dialami oleh Jamaah Ahmadiyah, Syiah, Muslim Tolikara, dan yang baru-baru ini yakni pembakaran Gereja di Aceh Singkil, barang kali tidak terlalu terburu-buru jika saya harus menyimpulkan bahwa sebagian manusia di Negeri ini masih menggunakan nafs amarahnya, bawaan alamiahnya untuk merespon dinamika yang ada disekeliling mereka. 

Mereka masih mengandalkan sensor tabi’i di tengah kemajuan serba modernitas sarana dan pengetahuan yang begitu maju.  Mereka buta bahwa agama datang untuk melepas ikatan alamiah/tabi’i yang menyamakan manusia dengan binatang. Tentunya hal ini akan merugikan dirinya dalam beribadah dengan Tuhan dan menjalin relasi sosial dengan manusia lainnya.  Hakikatnya mereka ada dalam kondisi paling rendah. 

Mereka begitu mengagungkan Tuhan, mereka begitu merasa beragama, mereka begitu merasa benar, tetapi tindakan mereka jauh dari apa yang mereka sangkakan.  Agama tidak menjadi faktor dan sarana untuk mereka dapat bertemu dengan Tuhan menyentuh langit-langit kebenaran hingga kasih Tuhan tidak mampu mereka refleksikan dalam laku hidup mereka.  Mereka hanya beragama dalam ilusi yang kosong.  Bukankah manusia diberikan kemampuan laten oleh Tuhan untuk mendiskusikan segala sesuatu, tetapi mereka lebih memilih cara primitif dalam menyelesaikan masalah.   

Bicara mereka yang berbau transedental sangat paradok dengan prilaku mereka.  Semoga mereka tidak lupa akan ajaran indah Nabi Muhammad SAW bahwa: “seorang muslim adalah mereka yang tetangganya terbebas dari kejahatan mulut dan tangannya.”  Seorang muslim yang baik adalah yang ketakwaannya lebih dari yang lain dan bukan diartikan seorang yang besar permusuhannya dengan keyakinan yang lain.  Tetapi bagi saya, siapa pun itu, baik dia seorang muslim atau nasrani ketika dia menyerang tempat ibadah, melakukan onar dan perusakan tempat ibadah orang lain, dia sedang tidak dalam keadaan beriman meski dia mengaku beragama. Mereka sedang menjadi manusia-manusia primitif berpakaian modern yang tak ada bedanya dengan binatang melata lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun