Mohon tunggu...
M. Sufi
M. Sufi Mohon Tunggu... Teacher of Kuranic Reading -

Cuman guru ngaji alif...bak...tak... http//laposufi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Khilafah Rohaniah Rasulullah Saw.

28 Juni 2013   12:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:18 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berikut tulisan tanggapan balik saya terhadapa tulisan Tomy Khan yang berjudul:

24 Karat Kekhilafahan Islamiyah (Tanggapan artikel M Sufi “Khilafah HTI….) di sini

Jika di perhatikan kembali tulisan saya yang ada di sini.

Dengan jelas penulis sudah menyinggung bagaimana kekhilafahan yang telah dijalankan oleh empat khalifah tersebut tetap berpegang kepada apa yang menjadi keinginan Rasulullah yaitu kekhilafatan yang bercorak keruhaniaan.  Namun ketika nafsu-nafsu keduniawian yang dibalut dengan penegakan syariat dan kekhilafahan ini hanya kamuflase dari keirihatian terhadap kepemimpinan Khalifah yang syah.  Pembunuhan terhadap kedua khalifah tidak bisa dimemaklumi begitu saja.  Inilah yang kemudian saya anggap titik awal kemunduran keruhanian.  Bagi ruang keruhanian keduniawian menjadi sesuatu yang hampa dan membius dari perhatian hamba Tuhan kepada Khaliqnya. Apa lagi kemajuan yang dicapai dengan pertumpahan darah dan di bawah ancaman pedang, untuk menaklukkan negeri-negeri non muslim saya sama  sekali lagi tidak sepakat.

Yang saya pahami dari niat dan perjuangan Rasulullah SAW adalah menebarkan kasih dan perdamaian untuk semua atas dasar kerelaan hati.  Jika tidak menerima maka tidak ada ancaman terhadap yang menolak kenabian beliau.  Lantas apa yang di banggakan dari penaklukan  yang di gambarkan dalam data  saudara Tomy Khan jika dikedalaman hati mereka tidak dapat menerima, maka pembalasan terhadap penjajahan itu akan berbalik sepertihalnya spanyol yang telah hilang.

Khilafah Jamaah Muslimin Wali Alfattah

Pada dekade tahun 50-an, di Indonesia ada kelompok Islam yang konsens dengan penegakan kembali Khilafah, bernama Jamaah Muslimin Hizbullah. Kelompok yang dipimpin Wali Alfattah ini, tak hanya konsens dengan penegakan kembali Khilafah, bahkan mengklaim telah menegakan kembali Khilafah, dengan membai’at Wali Alfattah sebagai Khilafah pada musyawarah Ahlul Halli Wal Aqdi ke dua, (6-8 Pebuari 1959), di Mesjid Taqwa, Petojo Sabangan, Jakarta. Langkah kelompok ini lebih maju dibanding dengan kelompok Islam yang lain. Ia menjadikan Surah Ali Imran ayat 102- 103, dan Hadits Nabi yang diriwayatkan Hudzaifah bin Al-Yaman, sebagai pijakan argumentasi ke-Khilafahannya. Tetapi, Khilafah Jamaah Muslimin Hizbullah Wali Alfattah ini, tampaknya hanya Khilafah biasa saja, seperti dalam jamaah-jamaah yang lain. Dilihat dari latarbelakang, fungsi dan esensi, tidak memiliki kriteria dan tidak memiliki syarat sebagai Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah seperti yang dinubuwatkan Nabi. Gerakan Khilafah Wali Alfattah ini juga tidak global, hanya di Indonesia saja, itu pun hanya terkonsentrasi di Jawa, khususnya Jawa bagian barat dan tengah.***

Faktor Penyebab Kegagalan Muslimin Mendirikan Khilafah

Kenapa usaha-usaha yang dilakukan berbagai kelompok Islam untuk mendirikan kembali Khilafah Islamiyah selalu menemui jalan buntu dan tak kunjung menjadi kenyataan? Bukankah Khilafah Islamiyah merupakan cita-cita dan harapan umat Islam? Dan, bukankah di dibawah panji Khilafah Islamiyah itulah terletak kejayaan Islam dan umat Islam? Inilah pertanyaan-pertanyaan penting yang harus dicarikan jawabannya, dan sangat baik juga dijadikan bahan renungan umat Islam, aktivis pejuang berdirinya kembali ke-Khilafahan, setelah hampir satu abad (1924-2006=82 tahun), berjuang. Dalam visi saya, ada dua faktor yang menyebabkan Muslimin, selalu gagal dalam perjuangannya menegakan kembali lembaga Khilafah:

Pertama, terjadinya pemahaman dan penafsiran yang berbeda atas kedudukan Khilafah Rasulullah SAW., dan atas nash Al-Quran Surah An-Nisa ayat 59. Sebagian ada yang memahami Khilafah atau Ulil Amri itu, kedudukan politik, dan sebagian lagi memahami Khalifah atau Ulil Amri itu kedudukan Dien. Disini terjadi tarik menarik. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila rencana mewujudkan Khilafah selalu menemui kegagalan, meskipun konferensi berulang-ulang dilakukan. Khilafah dalam Muslimin pun terkatung-katung dan, tanpa terasa, sudah 89 tahun menggantung. Padahal, Khilafah/Imamah wajib adanya bagi Muslimin, dan wajib terus ada selama Muslimin dan Mu’minin masih ada, selama-lamanya hingga Hari Qiyamat kelak.

Jalan keluar dari kesulitan ini, sesungguhnya mudah, sederhana sekali. Jika Khilafah Rasullah SAW., dan nash Al-Quran Surah An-Nisa ayat 59, difahami secara Dien, yang berarti kedudukan Khilafah atau Ulil Amri itu, coraknya agamis, bukan politis, maka Rasulullah SAW., dan Khulafaur-Rasyiddin-lah contohnya. Tetapi, jika kedudukan Khilafah atau Ulil Amri itu coraknya politis, bukan agamis, maka Mulkan-Mulkan itulah contohnya, seperti Dinasti ‘Umayyah, ‘Abbasiyyah dan ‘Utsmaniyah. Para aktivis pejuang penegakan kembali Khilafah tinggal memilih, model ke-Khilafahan mana yang mau dipakai. Model ke-Khilafahan Rasulullah SAW., dan Khulafaur- Rasyiddin Al-Mahdiyyin Abu Bakar, ‘Umar, ‘Usman, dan ‘Ali, r.a., ataukah model Mulkan-Mulkan ‘Umayyah, ‘Abbasiyah dan ‘Utsmaniyah.

Kalau model ke-Khilafahan Rasulullah SAW., dan Khulafaur-Rasyiddin Al-Mahdiyyin yang dipilih, berarti tidak harus punya wilayah kekuasaan (toritorial), karena agama menyangkut hati nurani manusia, dan Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrat manusia manapun (Ar-Rum, 30:30), berlaku untuk seluruh alam (Al-Anbiya, 21:107) dan seluruh umat manusia (Saba’, 34:28). Untuk mewujudkan harapan, cita-cita, dan perjuangan menegakan Khilafah model ini, metodenya adalah da’wah sesuai dengan petunjuk Al-Quran (Ali Imran, 3:104; An-Nahl, 16:125, Fushshilat, 41:33-34), dan contoh Rasulullah SAW,(At-Taubah, 9:128-129; Ali Imran, 3:159; Asy-Syu’araa, 26:214-217; Al-‘An’am, 6:50-52, dll).

Kalau model Mulkan-Mulkan sepertihalnya ‘Umayyah, ‘Abbasiyyah dan ‘Utsmaniyah, yang dipilih, berarti harus punya wilayah kekuasaan, punya toritorial, punya negara. Karena, tidak mungkin ada Penguasa (Raja, Khalifah, Emir, atau apa pun namanya), tanpa wilayah kekuasan.  Memilih model kedua, ada kendala cukup berat, karena Muslimin dimana pun saat ini, harus mencari pulau lain di planet bumi ini untuk mendirikan negara baru sebagai wilayah kekuasaan Mulkan, atau mengambil kekuasan dengan suka rela atau terpaksa, dari tangan salah satu penguasa di suatu negara dimana saja di planet bumi ini, lalu berkuasa dan menjalankan roda kekuasan dengan corak Mulkan, seperti yang pernah dilakukan ‘Umayyah, ‘Abbasiyah, dan ‘Utsmaniyah. Insya Allah, jika konsep ini digunakan, para aktivis pejuang penegakan kembali lembaga ke-Khilafahan yang bercorak Mulkan, akan menjadi kenyataan. Tetapi, jika model kedua ini yang dipilih dan berhasil, Islam sebagai rahmatan-lil’alamiin, pengaruhnya terbatas diwilayah Mulkan itu saja, tidak global lil ‘alam dan lin-naasi. Bisa mengglobal, jika Mulkan itu menjadi Imperium dunia. Dan itu, adalah sangat mustahil.

Kedua, Para aktivis pejuang penegakan kembali lembaga Khilafah, agaknya telalu melihat lembaga Khilafah itu – Al-Rasyidah atapun Al-Mulkan, sebagai lembaga yang bercorak politis, ketimbang bercorak agamis. Kentalnya visi mereka bahwa lembaga Khilafah adalah lembaga bercorak politis, menyebabkan mereka lupa, dan melampaui kewenangan Allah, bahkan mengambil hak prerogatif Allah.

Dari uraian diatas kita mengetahui, setelah era Mulkan ‘Adhan dan Mulkan Jabariyyatan berakhir, akan berdiri Khilafah yang berpola dan mengikuti jejak kenabian Muhammad SAW,. Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah, sebagaimana pernah terjadi dan berlangsung dimasa ke-Khalifahan Abu Bakar, ‘Umar, ‘Usman, dan ‘Ali, r.a., selama 30 tahun sejak wafatnya Rasulullah SAW,. Ini berarti, Khilafah pasca Mulkan-Mulkan itu, coraknya agamis, bukan bercorak politis. Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah, Al-Khulafaur-Rasyidin Al-Mahdiyyin – Abu Bakar Ashshiddiq, ‘Umar bin Khaththab, ‘Usman bin ‘Affan, dan ‘Ali bin Abi Thalib, r.a., secara lahir dipilih oleh manusia – orang-orang beriman, tetapi pada hakikatnya mereka dipilih oleh Allah, karena dibelakang mereka bekerja Tangan Allah. Hal demikian sesuai dengan janji Allah SWT., Sendiri (An-Nur, 24:55), dan cara kerjanya, sama dengan ketika Nabi SAW., melempar musuh di medan pertempuran Badar (Al-Anfal, 8:17). Ini artinya, mengangkat Khilafah yang bercorak agamis – ‘Ala Minhajin Nubuwwah, adalah kewenangan Allah, dan hak prorogatif Allah Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah I, Al-Khulafaur-Rasyidin Al-Mahdiyyin, berdiri setelah sebelumnya diawali dengan kebangkitan seorang Reformer Agung, Rasulullah Muhammad SAW,. Setelah Sang Reformer wafat, orang-orang beriman berkumpul, lalu mengadakan pemilihinan Pemimpin Pengganti Khilafah, dimana dibelakangnya bekerja Tangan Allah, dan saat itu, Mu’minin sepakat memilih dan membai’at Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., sebagai Khilafah Manhaj an-Nubuuwah I. Cara yang sama dilakukan saat memilih ‘Umar bin Khaththab r.a., sebagai Khilafah Manhaj an- Nubuwwah II, ‘Usman bin ‘Affan r.a., sebagai Khilafah Manhaj an-Nubuuwah III, dan ‘Ali bin Abi Thalib r.a., sebagai Khilafah Manhaj an-Nubuuwah IV. Sebelum wafat, Khalifah Abu Bakar r.a., memang sempat menulis wasiat untuk memilih ‘Umar bin Khaththab r.a., sebagai Khalifah. Saat Khalifah ‘Umar r.a., masih hidup, Khalifah ‘Umar r.a., membentuk sebuah majlis untuk memilih Khalifah bilamana beliau meninggal, terdiri dari enam orang sahabat senior, yaitu: ‘Usman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqash, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah. Tetapi, dalam pelaksaan pemilihan Khilafah, esensinya sama: Syuura. Kebangkitan Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah II, pasti tidak akan lepas dari metode dan mekanisme tersebut. Diawali dengan kebangkitan seorangang Reformer, lalu setelah Sang Reformer itu wafat, Mu’minin berkumpul mengadakan pemilihan Pemimpin Pengganti Khalifah, yang dibelakang mereka bekerja Tangan Allah. Hal demikian, selain selaras dengan petunjuk Al-Quran (Ali Imran, 3:159; Asy-Syuura, 42:38), juga sangat logis. Sebab, bagaimana bisa ada Pemimpin Pengganti -- Khilafah, jika tidak ada yang diganti.

Sementara sampai di sini dulu penjelasan saya.

Wassalamu’alaikum wa rahmatullah.

Salam Damai untuk kita semua.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun