dalam ruas bambu lelap engkau lekat. menarik panjang napas sekilat
ilalang aku baring tersungkur, memandang sambil aku tafakur
perjalanan panjang sudah lewat. kupikir bertandang menghampiri kita sang kiamat
sepanjang tepi jalan tiada ujung cinta kita ukur. Saling dekap kita tertidur
dalam ruas bambu, pernahkah engkau bertanya anak kita tersimpan disana
juga perhitungkan sisa uang dalam saku untuk perjalanan berikutnya
sampai dimana kita? sampai kini, nanti dan seterusnya?
sisa dan dera pertarungan kita, dalam bentuk cahaya mempesona
seribu layang-layang diterbangkan menuju angkasa
pada lapang hijau kita amati sembari mengunyah pepaya
rinduku tidak mengungkap tabir ambisi cinta pada dirimu, ucapmu merana
meski perjumpaan kita bersembunyi dengan mata buta
tetaplah begini, tidak termakan usia...
sampai hari ini, karena keadaan dan berbagai faktor,
sesuatu yang ideal tidak lagi bikin tawa
malah derai, kita kecup berdua dengan bibir biru
seperti melepaskan dua burung merpati, bisikmu
atau membakar surat-surat cinta yang dahulu kusyairkan untukmu
saat itu, aku bertanya bagaimana bisa napas kita meniup roman menjadikan abu
meretak prasangka dan mengubur janji
benar, kita buat dongeng cinta yang kini merubah diri jadi pesakitan
dan teramat...
Bulak-Pabuaran, Cibinong. April 2008
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!