Mohon tunggu...
Ranggamos
Ranggamos Mohon Tunggu... Lainnya - ****

believe me, sometimes reality is stranger—and much more frightening—than fiction

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anggi Versus Emon

24 Juli 2012   18:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:40 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kepada siapa Herman harus mencurahkan hatinya? Dalam ruang sunyi yang tengah ia selami tidak ada satupun seorang teman yang mampu mengerti. Herman membangun realitas subjektif bagi dirinya, walau realitas itu tidak mendapat institusionalisasi dari sistem sebagaimana adat dan budaya disepakati. Ini adalah dunia Herman yang begitu subjektif, individual dan introvert.

Herman memandang danau situ dengan ketenangannya, atmosfir pagi menyejukkan gundah yang selalu mendesah dan tidak jelas arahnya. Sepi, sesuai apa yang ia harapkan. Disini Herman membuat sebuah awal baru bagi jalannya, menutup buku, melupakan jejak-jejak patah hati yang masih nampak dibelakang dan ia mengenang.

“Kenangan? Bukankah manusia tidak memiliki kemampuan untuk membunuhnya?” Emon mengeluarkan pendapatnya.

“Kamu tahu apa Emon!” Anggi menjawab pertanyaan Emon, “dia harus membunuh kenangannya, ini adalah sebuah proses baginya untuk memulai langkah baru! Manusia, khususnya Herman harus melalui fase ini agar ia dapat lapang kembali. Aku gembira ia mengambil keputusan yang tegas, meninggalkan wanita penuh dusta itu.” Anggi terlihat gusar, ia merasakan pahitnya akhir cerita cinta Herman dengan Sarah.

“Naif! Lihatlah cara ia merenung, haha… jauh dalam lubuk hati ia begitu berat mengakhiri kisah ini. Cara ia menikmati kesendirian adalah simbol permohonan agar waktu dapat membenahi apa yang telah mereka hancurkan bersama!” Emon menyangkal.

“Mon, kamu tidak mengerti ya? Kamu menyaksikan sendiri bagaimana wanita itu menikam punggung Herman! Bukan hanya sekali kan? Berulang Sarah dengan wajah tak berdosanya menikam, menusuk Herman dari belakang!” Amarah Anggi memenuhi kalimatnya. “Justru Herman naïf bila terus bertahan dengan dadanya yang terisi sesak, ia sudah muak dan wajib memuntahkannya!”

“Ya… tetapi kau yang bersikeras menghasutnya, kau dengan khotbah-mu yang mengatakan bahwa cinta adalah pembunuh potensi dirinya! Herman dalam kebimbangan, namun kau begitu saja datang dan membisik… ‘hancurkan altar itu… hancurkan altar itu!’ Aku pikir Herman sekarang akan tersenyum dengan Sarah karena cinta adalah kasih yang begitu murni dan ikhlas! Bukankah Sarah–pun menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi. Aku melihat Herman berusaha memberikan kesempatan itu andai kau tidak menghasutnya!”

“’Maaf’, selalu kata itu yang keluar dari mulut Sarah! Ribuan kali Herman mendengarnya, namun untuk yang kesekian kali lagi Sarah merajahnya.” Anggi ber-empati, “Air mataku habis terkuras meratapi kehancuran hatinya, berserakan dan kecil kemungkinan dapat terbentuk kembali. Memang aku selalu memberikan ia propaganda, bahwa cinta adalah kebodohan, pembunuh potensi Herman sebagai manusia. Mengikat dirinya dengan komitmen-komitmen konyol yang akhirnya cinta sendiri yang mengguntingnya! Bermandikan peluh namun menjadi relics yang sia, berkorban banting tulang dan percuma. Itu menyedihkan Mon, terlalu ironis melihat bagaimana cara Herman mencintai Sarah.”

“Tidak, cinta adalah senyum pada wajah mereka! Aku melihat sayap-sayap yang selalu mengepak dan ingin terbang untuk saling merengkuh dan memaafkan. Cinta adalah murni berasal dari hati, suci dan enggan untuk membenci.” Emon bersikap bijak, “biarkan cinta menemukan jalannya, biarkan mereka bersama. Bukankah cinta mengajarkan keikhlasan pada Herman?”

“Bodoh! Hidup terlalu berharga untuk hal sia-sia itu Mon! Hidup harusnya luas dan membentang dengan masa depan cerah dan bahagia di penantian, namun cinta membuat sempit dan kolot atas paradigma klenik seperti itu! Membuat ia menikmati kesendirian, mencaci tanpa objek yang dimaki, tidak jelas dan ngawur! Kacau… kacau dan destruktif.” Anggi menggeleng-gelengkan kepalanya.

Anggi dan Emon memperhatikan Herman yang hampir 2 jam termangu pada gazebo di tepi danau. Hari yang cerah tidak mendukung kegalauan Herman, harusnya ia lembur kerja hari ini. Namun keinginan menolak sulit diredam, ditambah Anggi yang terus mendesaknya untuk sehari saja mengistirahatkan diri. Karena disana terlalu penat dan rutinitas bisa saja membunuhnya.

Angin mengerti, ia mengangguk memenuhi permintaan Anggi. Angin membelai rambut Herman dengan kelembutan, menyapu muram di wajahnya. Lalu angin menciptakan orkestra dengan permukaan air danau, menyibak dan menghadirkan nyanyian. Pun lembutnya menggemerisik daun-daun pada dahan mahoni yang menaungi Herman.

“Tidak… tidak… ini tidak dapat dibenarkan! Herman kembalilah dalam pelukan Sarah, bukankah disana ketenangan hakiki yang engkau dambakan? Disanalah wangi surga yang mengharumi altar pemujaanmu! Kembalilah padanya dan meleburlah dalam riuh sorak-sorai dalam ingar-bingar karnaval cinta yang penuh bahagia!” Kalimat persuasi Emon menggaung dan mengetuk gendang telinga Herman, perlahan ia bersiap bangkit untuk berlari ke-arah Sarah.

“Jangan!” Anggi menghentikan niat Herman, “duduklah disini Herman, resapi kesendirianmu dan kembalilah padaNya! Teguhkan hatimu untuk tidak meminum Anggur merah itu lagi. Nikmatilah kesunyian ini sebagaimana dirimu dulu dalam rahim! Bukankah  kesendirian saat itu yang menemani dzikir tulus jabang bayi dalam rahim wanita? Kembalilah kepada hakikatmu Herman, menjelmalah bayi yang suci dan murni. Jangan biarkan cinta membunuh potensi-mu yang berharga! Sejatinya wangi surga tidak tercium di altar itu Herman, wangi surga tercium dari jalan-jalan lurusmu menuju sisiNya. Jangan lagi singgah di pelataran penuh nafsu yang menggeliat dan terpuruk dengan selangkangan yang terbuka!” Peringatan keras Anggi menampar wajah Herman.

Kini semua kabur siapa yang harus Herman turuti? Keduanya dapat dibenarkan, pikirnya. Hatinya tak dapat memungkiri bagaimana perasaan Herman kepada Sarah, namun hati sendiri menyatakan iman dan taqwa kepadaNya, keduanya tulus.

Herman mengeluh, sesuai perkataan Anggi yang memang nyata bahwa punggungnya terlalu banyak ditikam dari belakang. Tetapi sedikitpun ia tidak membenci, Herman hanya bertanya-tanya, mengapa Sarah berulang kali mendustainya? Mengapa Sarah tidak juga menghargai segala pengorbanan yang telah ia lakukan?  Mengapa sekian lama cinta dipertahankan, semakin besar pula cinta mengarahkan mereka untuk saling mengkhianati? Melukai satu sama lain, melupakan janji… membakar puisi… merobek-robek komitment yang mereka setujui.

‘Apa yang menjadikan kami?’ Batinnya. Awal-awal pertemuan dan kebersamaan mereka terlalu indah untuk dilupakan, tidak ada kekerasan didalamnya. Perhatian dan kesetiaan mengikat erat keduanya, menjadikan benang merah yang membentang. Kejujuran selalu dielukan dan pengertian selalu diutamakan. Namun seiring berjalannya waktu, ego mewujudkan eksistensinya, menguasai diri dan penuh prasangka. Manifestasi cinta merubah haluannya, jejaknya kian menyuram, amarah memadati kepala.

“Nafsu… ia membawamu menuju kebawah… dan terus kebawah! Ia selalu lapar dan serakah, tidak pernah puas. Selalu mencari kenikmatan lain… karena itu berhentilah Herman…”

“Hey… mengapa kau tidak mengerti juga Anggi! Itu sama saja melepas diri dari kodrat bila membunuh nafsu. Herman hanyalah dirinya! Ia manusia seutuhnya, dan merupakan kodrat bila ia mencinta dan memiliki nafsu. Biarkan ia menikmatinya… biarkan!” Emon membantah ajakan Anggi kepada Herman.

Herman tertunduk, membisu… selalu membisu. Ia menelan sakit hatinya dalam-dalam, ia tak dapat memberontak, ia terlalu pasif, tipe seorang melancholic.

***

Kepada siapa Sarah harus mencurahkan hatinya? Dalam ruang penyesalan yang tengah ia selami tidak ada satupun teman yang mampu mengerti. Sarah membangunkan kesadarannya atas janji-janji yang pernah terucap, walau kesadaran itu datang terlambat seperti jadwal kereta yang selalu datang telat. Ini adalah langkah Sarah yang ia sesali, menuruti ego tanpa memikirkan perasaan Herman.

Sarah memandang gemintang yang bertaburan di langit malam, dinginnya menemani kegelisahan yang selalu menggeliat dan tidak jelas erangannya. Sendiri, seperti apa yang ia takuti. Disini Sarah mengingat kembali kisah perjalanannya, membuka lembaran lama, membayangkan jejak-jejak canda tawa yang masih nampak dibelakang dan ia mengenang.

“Kenangan? Bukankah manusia memiliki kemampuan untuk mewujudkannya kembali?” Anggi mengeluarkan pendapatnya.

“Kau tahu apa Anggi!” Emon menjawab pertanyaan Anggi, “dia harus membunuh kenangannya, ini adalah sebuah proses baginya untuk memulai langkah baru! Manusia, khususnya Sarah harus melalui fase ini agar ia dapat lapang kembali. Aku gembira ia menerima keputusan Herman, meninggalkan lelaki naïf dan ringkih itu.” Emon terlihat senang, ia merasakan manisnya akhir cerita cinta Herman dengan Sarah.

“Naif! Lihatlah cara ia merenung, jauh dalam lubuk hati ia begitu berat mengakhiri kisah ini. Cara ia menikmati kesendirian adalah simbol permohonan agar waktu dapat membenahi apa yang telah mereka hancurkan bersama!” Anggi menyangkal.

“Nggi, kamu tidak mengerti ya? Kamu menyaksikan sendiri bagaimana lelaki itu tidak tegas atas keputusannya! Bukan hanya sekali ‘kan? Berulang Herman dengan wajah tak berdosanya memohon, meminta Sarah agar menyadarkan diri dan meninggalkan gaya hidup pestanya!” Amarah Emon memenuhi kalimatnya. “Justru Sarah naïf bila terus bertahan dengan tubuhnya yang terkekang, ia sudah muak dan wajib memberontak!”

“Ya… tetapi kau yang bersikeras menghasutnya, kau dengan khotbah-mu yang mengatakan bahwa cinta adalah pemerkosaan hak! Sarah dalam kebimbangan, namun kau begitu saja datang dan membisik… ‘hancurkan arca itu… hancurkan arca itu!’ Aku pikir Sarah sekarang akan tersenyum dengan Herman karena cinta adalah kasih yang begitu murni dan ikhlas! Bukankah Herman–pun membuat kembali komitment untuk tidak mengekang Sarah. Aku melihat Sarah berusaha mengambil kesempatan itu andai kau tidak menghasutnya!”

“’Sadarlah’, selalu kata itu yang keluar dari mulut Herman! Ribuan kali Sarah mendengarnya, namun untuk yang kesekian kali lagi Herman mengekangnya.” Emon bersimpati, “amarahku habis terkuras merenungi keterikatan hatinya, berteriak dan besar kemungkinan selalu memberontak kembali. Memang aku selalu memberikan ia propaganda, bahwa cinta adalah kebodohan, pemerkosa hak Sarah sebagai manusia. Mengikat dirinya dengan komitmen-komitmen konyol yang akhirnya cinta sendiri yang mengguntingnya! Bermandikan air mata karena larangan-larangan yang diajukan Herman kepada Sarah untuk having fun. Itu menyedihkan Nggi, terlalu ironis melihat bagaimana cara Herman mencintai Sarah.”

“Tidak, cinta adalah senyum pada wajah mereka! Aku melihat sayap-sayap yang selalu mengepak dan ingin terbang untuk saling merengkuh dan memaafkan. Cinta adalah murni berasal dari hati, suci dan enggan untuk membenci.” Anggi bersikap bijak, “biarkan cinta menemukan jalannya, biarkan mereka bersama. Bukankah cinta mengajarkan kesetiaan pada Sarah?”

“Bodoh! Hidup terlalu berharga untuk hal sia-sia itu Nggi! Hidup harusnya luas dan membentang dengan hidup pesta-pora dan bahagia di penantian, namun cinta membuat sempit dan kolot atas paradigma klenik seperti itu! Membuat ia menikmati kesendirian, mencaci tanpa objek yang dimaki, tidak jelas dan ngawur! Kacau… kacau dan destruktif.” Emon menggeleng-gelengkan kepalanya.

Anggi dan Emon memperhatikan Sarah yang sudah 2 jam termangu pada jendela di kamarnya. Malam yang cerah tidak mendukung kegundahan Sarah, harusnya ia datang ke party hari ini. Namun keinginan menolak sulit diredam, ditambah Anggi yang terus mendesaknya untuk sehari saja mengistirahatkan diri. Karena disana hanya ada gelombang riuh dan minuman memabukkan bisa saja membunuhnya.

Bulan mengerti, ia mengangguk memenuhi permintaan Anggi. Bulan  menyinari wajah Sarah dengan kelembutan, menyapu muram diwajahnya. Bulan meminjam cahaya matahari dibalik belahan sana, menerangi dan menghadirkan indah pemandangan. Pun lembutnya cahaya menghadirkan warna sendiri di malam pertengahan bulan September.

“Sarah kembalilah dalam pelukan Herman, bukankah disana ketenangan hakiki yang engkau dambakan? Disanalah wangi surga yang mengharumi arca pemujaanmu! Kembalilah padanya dan meleburlah dalam sepi ketenangan dan kesejukan cinta yang penuh bahagia!” Kalimat persuasi Anggi menggaung dan mengetuk gendang telinga Sarah, perlahan ia bersiap bangkit untuk berlari menelepon Herman.

“Jangan!” Emon menghentikan niat Sarah, “duduklah disini sarah, resapi kesendirianmu dan kembalilah clubbing esok bersama teman-temanmu untuk menghilangkan gelisah! Teguhkan hatimu untuk tidak kembali tercekik rantai-rantai kekang itu lagi. Nikmatilah ingar-bingar masa mudamu ini sebagaimana dirimu dulu yang bebas kemanapun kau suka! Bukankah kebebasan saat itu yang memberikanmu kesenangan untuk melupakan segala beban yang memberat? Kembalilah kepada hakikatmu sebagai remaja Sarah, menjelmalah wanita yang menari di pantai kebebasan! Jangan biarkan cinta memperkosa hakmu yang berharga! Sejatinya wangi surga tidak tercium di arca itu Sarah, wangi surga tercium dari pantai-pantai kebebasan yang memiliki hak untuk menentukan. Jangan lagi singgah di pelataran penuh hening yang hambar dan terpuruk dengan ibadah tiada guna! Terlalu membosankan!” Peringatan keras Emon menampar wajah Sarah.

Kini semua kabur siapa yang harus Sarah turuti? Keduanya dapat dibenarkan, pikirnya. Hatinya tak dapat memungkiri bagaimana perasaan Sarah kepada Herman, namun hati sendiri menyatakan kemuakannya atas ajakan Herman untuk menikmati kesepian, ia ingin bersorak-sorai di pesta yang mampu melepas penatnya.

Sarah mengeluh, sesuai perkataan Emon yang memang nyata bahwa Lehernya tercekik pintalan rantai kekang Herman. Tetapi sedikitpun ia tidak membenci, Sarah hanya bertanya-tanya, mengapa Herman tidak juga mengerti? Mengapa Herman tidak juga memberikan segala kebebasan untuk menentukan sendiri apa yang menjadi keinginannya? Mengapa sekian lama cinta dipertahankan, semakin besar pula cinta mengarahkan mereka untuk saling mengkhianati? Melukai satu sama lain, melupakan janji… membakar puisi… merobek-robek komitment yang mereka setujui.

‘Apa yang menjadikan kami?’ Batinnya. Awal-awal pertemuan dan kebersamaan mereka terlalu indah untuk dilupakan, tidak ada kekerasan didalamnya. Perhatian dan kesetiaan mengikat erat keduanya, menjadikan benang merah yang membentang. Kejujuran selalu dielukan dan pengertian selalu diutamakan. Namun seiring berjalannya waktu, ego mewujudkan eksistensinya, menguasai diri dan penuh prasangka. Manifestasi cinta merubah haluannya, jejaknya kian menyuram, amarah memadati kepala.

“Nafsu… ia membawamu menuju kebawah… dan terus kebawah! Ia selalu lapar dan serakah, tidak pernah puas. Selalu mencari kenikmatan lain… karena itu berhentilah Sarah…”

“Hey… mengapa kau tidak mengerti juga Anggi! Itu sama saja melepas diri dari kodrat bila membunuh nafsu. Sarah hanyalah dirinya! Ia manusia seutuhnya, dan merupakan kodrat bila ia memiliki nafsu. Biarkan ia menikmati hidup penuh ingar-bingar disana… biarkan!” Emon membantah ajakan Anggi kepada Sarah.

Sarah menengadah, keluh-kesah… selalu begitu. Ia membuang sakit hatinya jauh-jauh, ia selalu memberontak, ia memang aktif, salah satu contoh wanita sanguine.

***

"Bagaimana menurutmu?”

“Apa? Mereka?”

“Ya… Aku harap mereka dapat memilih jalan terbaik, apapun hasilnya! Begitu-kan Mon!”

“Entahlah, mereka adalah tipe makhluk kompleks yang tak dapat diprediksi kemana langkahnya, rumit! Sedangkan kita adalah sistem yang telah diprogram, lurus…! Lalu kamu sendiri… bagaimana harapanmu Nggi?”

“Begitulah, aku harap mereka mendapatkan kebaikan. Bukankah untuk hal itu aku diciptakan?’

“Yap… dan aku harus memainkan peran antagonisku!”

“Antagonis…? Itukan kata mereka. Mengapa kau menyetujui legitimasi objektivitas itu?”

“Hahaha… I’m just joking anyway!”

“Itu tidak lucu Mon! Kau dikodratkan untuk menyesatkan mereka, dan kau menjalankan tugas yang merupakan perintahNya! Itu adalah bentuk sebuah taqwa!”

“Sudah…sudah, kita selalu saja ber-argumentasi! Aku ingin istirahat sejenak, ok? Aku-pun ingin merasakan cinta!”

“Hahaha… tugas kita tidak pernah selesaikan? Tidak ada istirahat! Lagipula apa itu cinta? Kita tidak mengenal istilah itu! Kita tidak memiliki akal seperti mereka yang mampu menciptakan ambiguitas atas makna cinta!” Anggi mengepakan sayapnya dan bersiap terbang.

“Hmmm… cinta itu tunggalkan?” Emon-pun mengembangkan sayapnya yang hitam legam, ia mengejar Anggi untuk mendapatkan jawaban. “Nggi, tunggu dong!”

“Apa sih…?” Anggi mengelak.

“Cinta tidak nisbi-kan? Dan ia abadi-kan?” Keingintahuan Emon merayapi batinnya. “Hei… jawab donk!”

“Entah…” Anggi tersenyum… dan selalu menghindar.

“Hei…” Emon berusaha mengejar Anggi. “Terus perasaanku ini gimana?”

Anggi tertawa mendengar celoteh Emon, “ya gimana? Rasakan saja… dan jangan diracunkan oleh pikiran!”

“Kenapa?” Emon berhenti, ia melayang dengan latar matahari senja di garis cakrawala.

“Karena untuk masalah ini hati tidak selaras dengan logika!” Anggi berteriak dari kejauhan.

“Begitukah? Tetapi sepertinya kalimat ini pernah aku dengar… dari bocah SD sepertinya!”

“Ya… tentu saja…!”

“Tunggu… aku masih belum mengerti!”

“Dasar… heh, Mon untuk urusan cinta kamu tidak tahu apa-apa!”

“Siapa bilang?”

Anggi semakin menjauh, angin berhembus menerpa wajah mereka berdua. Dan Emon berusaha mengejarnya, mengibaskan sayapnya sekuat tenaga.

Ciracas, 20 September 2006, 03.00 am

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun