Mohon tunggu...
Suer@nywhere
Suer@nywhere Mohon Tunggu... Konsultan - Mencoba membaca, memahami, dan menikmati ciptaanNya di muka bumi. Action to move forward because word is not enough. Twitter/Instagram: @suerdirantau

Mencoba membaca, memahami, dan menikmati ciptaanNya di muka bumi. Action to move forward because word is not enough. Twitter/Instagram: @suerdirantau

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Cagar Alam Tangkoko yang Hilang dari Radar Kehutanan

7 Februari 2017   13:59 Diperbarui: 4 April 2017   16:54 2507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seiring dengan pengembangan Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Keputusan No. SK.748/ Menlhk/Setjen/PLA.0/9/2016 tentang Penetapan Wilayah KPHK Tangkoko seluas 8.545 hektar. Keputusan itu merujuk pada SK Menteri Kehutanan No. SK.734/ Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan Provinsi Sulawesi Utara[iii].

Setidaknya terdapat dua hal yang mengganggu logika hukum saat mencermati keputusan-keputusan menteri tersebut. Pertama. Penyusun SK.748 tahun 2016 secara sengaja atau tidak sengaja mencantumkan nama CA Tangkoko di dalam Diktum KESATU huruf (a), yang memberi kesan masih adanya CA Tangkoko. 

Apakah penyusun SK.748 tidak mengetahui bahwa SK.1826 tahun 2014 telah sengaja meniadakan nama CA Tangkoko Batuangus?  Apakah penyusun SK.748 telah dengan tidak sengaja melahirkan kembali CA Tangkoko? Tidak mungkin, karena peta KPHK Tangkoko di dalam lampiran SK.748 tersebut hanya menyebutkan CA Dua Saudara. Tidak jelas apa maksud dari penyusunnya kecuali keteledoran yang menimbulkan kerancuan hukum yang tidak perlu. 

Kedua. Terdapat inkonsistensi dalam penamaan kawasan konservasi. Keputusan Menteri Pertanian No. 700 tahun 1978 menggunakan nama CA Dua Sudara, Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.1826 tahun 2014 menggunakan nama CA Duasudara, Keputusan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup No. SK.748 tahun 2016 menggunakan nama CA Dua Saudara. Tiga keputusan menteri menyebutkan kawasan yang sama dengan tiga cara penulisan nama yang berbeda. Kenapa penyusunnya tidak merujuk pada sejarah kawasan dan peraturan sebelumnya? Dalam produk hukum, jangan coba-coba mengataan "apalah arti sebuah nama". Itu akan membuka kotak keributan dan keribetan yang menghabiskan energi.

Mari kita lihat bagaimana sebuah taman nasional yang semula bernama Dumoga-Bone menjadi Bogani-Nani Wartabone. Berawal dari Pernyataan Menteri Pertanian Nomor 736/Mentan/X/1982 saat Kongres Taman Nasional Sedunia ke III di Bali, yang mengumumkan sebelas calon taman nasional, termasuk Dumoga-Bone. 

Nama itu diambil dari Suaka Margasatwa (SM) Dumoga dan SM Bone, yang diubah fungsinya menjadi TN Dumoga-Bone berdasarkan SK Menhut No.731/Kpts-II/91 tertanggal 15 Oktober 1991. Untuk mengakomodir usulan masyarakat Gorontalo, terbitlah SK Menhut No. 1068/Kpts-II/1992 tanggal 18 November 1992 yang mengubah TN Dumoga Bone menjadi TN Nani Wartabone, nama pahlawan nasional dari Gorontalo.

Mengingat saat itu taman nasional terletak di Kabupaten Gorontalo dan Bolaang Mongondow, maka masyarakat Bolaang Mongondow juga ingin nama pahlawannya, Bogani, diabadikan. Akibatnya, sebulan kemudian terbit lagi SK Menhut No. 1127/Kpts-II/1992 untuk mengubah namanya menjadi TN Bogani-Nani Wartabone. 

Nama itu terus dipertahankan hingga keluar Kepmenhut No. 724/Kpts-II/1993 tertanggal 8 Nopember 1993 mengenai penetapannya. Seandainya para penyusun keputusan menteri itu memperhatikan aspek sejarah dan sosial masyarakat, tentu tidak perlu membuat keputusan berulang-ulang untuk satu kawasan yang sama.

Ketidaktelitian dalam penyusunan peraturan/keputusan atau meremehkan suatu aspek seringkali menjadi akar masalah dalam pengelolaan kawasan hutan. Janganlah mengatakan “apalah arti sebuah nama” karena salah menyebut nama (error in persona) atau objek (error in objecto) memiliki dampak dalam dunia hukum. Semoga para penyusun keputusan-keputusan menteri di atas tidak memiliki mentalitas “yang penting ada dulu, revisi belakangan”. Hmm, apakah revisi peraturan itu bebas biaya?

Apabila Kementerian LHK mau menghitung kembali jasa-jasa lingkungan, sosial, dan ekonomi yang telah disumbangkan CA Tangkoko, mempertimbangkan fakta sejarah Tangkoko sebagai salah satu cagar alam pertama di Indonesia, mencermati ratusan karya ilmiah yang bersumber dari endemisitas dan keanekaragaman hayatinya, maka nama CA Tangkoko tidak perlu hilang dari radar dan daftar kawasan konservasi. 

Pembentukan KPHK Tangkoko menjadi hambar karena di dalamnya tidak terdapat CA Tangkoko. Setidak-tidaknya, Menteri Kehutanan dapat merevisi nama kawasan itu menjadi CA Tangkoko-Dua Sudara, sekaligus menyelamatkan cagar alam yang dua tahun lagi tepat berusia SATU ABAD!!! Ya, seratus tahun Tangkoko.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun