Mohon tunggu...
Suer@nywhere
Suer@nywhere Mohon Tunggu... Konsultan - Mencoba membaca, memahami, dan menikmati ciptaanNya di muka bumi. Action to move forward because word is not enough. Twitter/Instagram: @suerdirantau

Mencoba membaca, memahami, dan menikmati ciptaanNya di muka bumi. Action to move forward because word is not enough. Twitter/Instagram: @suerdirantau

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pesan Konservasi dari Sebutir Gigi

11 Mei 2016   13:42 Diperbarui: 11 Mei 2016   21:50 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: swanson-media.com

“Kalau itu tupoksi kami, so what? Apa kami dapat membersihkan karang gigi sendiri? Menambal lubang gigi sendiri?”

“Kalian bertanya atau menggugat sih?”

“Eeh, masih nanya? Coba bayangkan, jika gigi itu sama dengan hutan yang tidak kalian jaga, lalu kalian robohkan pohon-pohonnya, kalian bunuh hewannya. Siapa yang kelak menderita?”

Jlebb..! Pikiran saya melintir ke gugusan hutan pegunungan Cagar Alam Cyclops di Jayapura. Selama ini hutan Cyclops telah menjalankan TUPOKSI-nya sebagai sumber air dan udara bersih. Masyarakat Jayapura, Abepura, Sentani, dan puluhan desa di sekeliling Cyclops sangat tergantung pada kesehatan Hutan Cyclops.  Apa jadinya jika Hutan Cyclops makin bolong dan berlubang? Silakan cek berita di internet, adakah berita kekurangan air, banjir, erosi, longsor, dan pendangkalan Danau Sentani?

Alamak. Lebih banyak jenis deritanya daripada sakit gigi. Lebih banyak pula orang yang terkena dampaknya. Tak ada makanan yang lezat ketika sakit gigi, dan tak ada makan enak di tenda pengungsian banjir. Lalu siapa yang harus peduli dan merawat 'gigi-gigi' di Hutan Cyclops?

Saatnya menghadap Drg. Tjut. Orangnya menyenangkan. Banyak senyum, banyak cerita. Ruang praktiknya jauh lebih bersih dan nyaman. Dengan bantuan asistennya, ritual pemeriksaan dilakukan. Dia katakan ada yang retak, tapi coba ditambal dulu. Adonan putih rasa cengkeh pun tertanam di lubang gigi. Saya harus kembali dua minggu lagi untuk tambal permanen. Syaraf-syaraf gigi tenteram.

Seperti filem-filem holiwud, dua episode tidak cukup bagi gigi membalas dendam. Usia tambalan permanen hanya sebulan. Terpaksa dibongkar lagi, lagi, dan lagi. Biaya setiap kunjungannya EMPAT kali lipat daripada di Jayapura. Hadeuh.... Seandainya saya mendengarkan saran dokter gigi setengah baya di Jayapura.

Ibarat kasus hukum, sudah vonis di pengadilan negeri, masih ada banding di pengadilan tinggi, kasasi di mahkamah agung, lalu Peninjauan Kembali, Peninjauan Kembali lagi, lalu capek, lalu bosan, lalu bokek.

Setelah lima kali bolak-balik, Yang Mulia Drg. Tjut mengeluarkan vonis. Gigi sialan itu terbukti secara sah dan meyakinkan sebagai penyebab sakit gigi berkelanjutan. Oleh karenanya, Gigi itu harus dicabut keberadaannya dari  rongga mulut, dan pemilik gigi menanggung seluruh biaya dokter gigi!!!

Gigi mengingatkan saya untuk memperhatikan saran dan pendapat Senior Berpengalaman di lapangan sebelum bertindak. Pangkat, jabatan, golongan, gelar akademis tak sebanding dengan pengalaman mereka melindungi hutan dengan hati dan simpati.

Mungkin permasalahan di hutan-hutan konservasi sama dengan gigi saya. Kurang terpelihara. Asyik dengan diri sendiri, mengobati gejala secukupnya, dan tidak segera mencabut akar masalahnya. Akibatnya kita butuh lebih banyak biaya, waktu, dan tenaga plus bonus derita berkelanjutan. Jika ada yang berprinsip banyak masalah itu banyak rezeki, cobalah merasakan sakit gigi..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun