Mohon tunggu...
Suer@nywhere
Suer@nywhere Mohon Tunggu... Konsultan - Mencoba membaca, memahami, dan menikmati ciptaanNya di muka bumi. Action to move forward because word is not enough. Twitter/Instagram: @suerdirantau

Mencoba membaca, memahami, dan menikmati ciptaanNya di muka bumi. Action to move forward because word is not enough. Twitter/Instagram: @suerdirantau

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Pengalaman ini Jangan Ditiru: 1. Pajak Progresif

28 Desember 2015   13:49 Diperbarui: 4 April 2017   17:48 10804
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Otomotif. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Manusia itu tempatnya salah. People make mistakes. Hayoo…apalagi jargon yang biasa kita gunakan sebagai alasan pemaaf dan pembenar? Tak ada gading yang tak retak? Halah, bawa-bawa gading segala. Macam udah pernah neliti gading aja. Sepandai-pandai tupai melompat pasti akan jatuh juga? Jiahhh, emang pernah liat tupai jatuh?

Yang jelas, kita semua pernah berbuat kesalahan karena kekhilafan (tau tapi lupa) atau sengaja (tau tapi tetap berbuat sambil berdoa nggak ketahuan). Itu alasan yang biasa termuat dalam peraturan. Tapi ada juga yang melakukan sesuatu karena ketidaktahuan alias masih bego. Nah, perbuatan bego ini ada yang berdampak hukum, tapi ada juga yang dampaknya cuma malu yang bikin kita mesem-mesem sambil njedotin kepala ke bantal.

Sebego-begonya manusia adalah yang tidak belajar dari kesalahannya sendiri atau kesalahan orang lain. Nah, biar nggak ikutan bego, berikut ini hal-hal bego yang harus kita hindari terkait dengan pajak progresif kendaraan bermotor.

Pajak kendaraan bermotor (PKB) merupakan salah mata pencaharian pemerintah daerah. DKI Jakarta saja mentargetkan sekitar Rp.6 triliun pada tahun 2015. Bahkan dengan alasan mengurangi kemacetan, pemerintah DKI dan Jawa Barat telah menerapkan pajak progresif. Seseorang yang memiliki kendaraan lebih dari satu, maka kendaraan ke dua dan seterusnya akan dikenai persentase PKB yang lebih besar, yang nilainya diatur berdasarkan peraturan daerah.

Perda DKI No.2 tahun 2015 menentukan PKB untuk kendaraan pertama adalah 2% dari nilai jual kendaraan. Setiap tambahan kendaraan akan dikenai tambahan pajak 0,5% hingga kendaraan ke 17. Jadi kendaraan ke-2 kena 2,5%, ke-3 kena 3% dan seterusnya hingga kendaraan ke 17 akan terkena 10%. Kalau ada orang Jakarta yang punya mobil lebih dari 17, nah…ini belum kepikiran sama pembuat peraturan. Sedangkan Provinsi Jawa Barat, sesuai Perda No.13/2011, kendaraan pertama dikenai PKB 1,75%, ke-2 kena 2,25%, ke-3 kena 2,75%, ke 4 kena 3,25%, ke 5 dan seterusnya terkena 3,75%% dari nilai jual kendaraan. Mayan kan?

Secara naluriah, kita cenderung menghindari pajak progresif. Selama ini pengenaan pajak progresif didasari oleh nama kepemilikan. Sehingga tiga kendaraan atas nama tiga orang dengan alamat yang sama, belum dikenai pajak progresif. Namun sejak pertengahan 2015, pengenaan pajak progresif sudah memperhitungkan alamat pemilik. Jadi suami, istri, dan anak yang masing-masing punya kendaraan atas nama masing-masing, akan dikenai pajak progresif sepanjang alamatnya sama. Itu kata peraturannya. Praktiknya, ya ntar kita cari tahu deh ya…

Apa yang terjadi ketika kita menjual kendaraan lalu membeli kendaraan lagi?. Buruan lapor ke kantor Samsat (sistem administrasi satu atap) di mana kendaraan terdaftar, untuk menghapus nama kita sebagai pemilik kendaraan yang telah dijual. Istilahnya blokir kendaraan. Dengan cara itu, pembeli mobil kita harus mengurus proses balik nama kendaraan atas namanya sendiri. Maka terbebaslah kita dari pajak progresif.

Nah, dalam lika-liku pajak progresif inilah dapat terjadi sedikitnya tiga jenis kekhilafan atau kebegoan akibat ketidaktahuan.

Kebegoan pertama. Seorang kawan membeli mobil bekas dari temannya tanpa mau mengurus proses balik nama. “Yang jual kan temen, pinjem KTPnya aja saat bayar pajak kendaraan”, begitu alasannya.

Belakangan dia agak keqi. Nilai PKBnya lebih besar akibat pajak progresif. Dia lupa, temannya itu punya mobil banyak hehehe…

Beberapa dari kita juga ada yang nekat “nembak KTP” (ini praktik yang salah, jangan ditiru) untuk perpanjangan STNK (istilah umum untuk bayar PKB) mobil bekas yang dibelinya. Nah, andaikata si penjual itu tidak punya mobil lagi, maka modus itu bisa menguntungkan si pembeli. Lalu jika si penjual itu membeli mobil baru tanpa memblokir mobilnya yang sudah dijual, otomatis mobil barunya ditandai sebagai mobil kedua, dan terimalah pajak progresif itu dengan duka lara. Inilah jenis kebegoan kedua.

“lha mobil yang lama kan udah dijual, jadi mobilku ya cuma satu ini. Kok dituduh sebagai mobil kedua,” keluh seorang kawan yang mengalami kebegoan jenis kedua.

Lha iya lah bos. Bisa jadi mobil yang lama belum waktunya bayar pajak, belum ganti kepemilikan, jadi mobil itu masih terdaftar sebagai milik penjual.

“terus gimana dong, mosok saya musti bayar pajak progresif terus?”

Ya makanya, buruan gih blokir mobil yang lama supaya tahun depan gak kena pajak progresif lagi. Itung-itung bantu pemerintah dapat tambahan penghasilan dari biaya balik nama.

Caranya gampang kok. Gak perlu biro jasa, modalnya cukup waktu dan energi ke kantor Samsat dimana kendaraan terdaftar. Walau caranya gampang, pastikan tidak melakukan kebegoan jenis ketiga, yaitu sok tau. Sebelum mengurus pemblokiran, coba cek dulu ke Samsat target melalui telpon atau websitenya. Tanyakan apakah kendaraan atas nama kita masih terdaftar. Siapa tahu si pembeli mobil kita (setelah baca tulisan ini…ge er banget sih) sudah memproses balik nama kendaraan. Tujuannya satu, jangan sampai kita repot-repot ke kantor Samsat, eh ternyata pembeli mobil kita sudah mengganti nama kepemilikannya.

Nah, untuk blokir ini hanya perlu 4 langkah. Pertama, siapkan fotokopi KTP sesuai nama yang tertera di STNK dan Kartu Keluarga (masing-masing dua lembar). Kedua, menuju konter/meja bagian “pajak progresif” untuk meminta formulir pernyataan (blokir). Ketiga, isi formulirnya. Formulir blokir itu tanpa judul, berupa surat pernyataan atas kendaraan yang masih dimiliki dan yang sudah dijual/hilang. Isinya berupa nama pemilik kendaraan, alamat, nomor KTP, nomor telpon, jenis kendaraan, tahun pembuatan, dan nomor polisi kendaraan.

Langkah terakhir, fotokopi formulir yang telah diisi dan ditandatangani di atas materai Rp. 6.000, lalu serahkan kembali ke petugas layanan khusus/pajak progresif. Beres dah.

Ngomong-ngomong, saya tergolong makhluk dengan kebegoan jenis ketiga ini karena nekat ke samsat tanpa pengecekan lebih dulu. Hasilnya luar biasa percuma. Saya memblokir kendaraan yang sudah tidak terdaftar lagi di Samsat. Kamprettt…

Nah itu kebegoan saya. What’s yours?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun