Ada suatu peristiwa yang menunjukkan manusia telah utuh kemanusiannya, peristiwa itu terjadi pada momen ketika dua orang manusia secara insyaf saling bermaaf-maafan. Mengucapkan maaf adalah momen manusia sadar ada takdir ketidaksempurnaan bekerja pada diriya, bahwa kesalahan dan kealpaan adalah suatu hal yang begitu dekat. Pada sisi lain, memaafkan adalah momen manusia sadar bahwa ada pelajaran yang selalu bisa dipetik dari kesalahan, betul bahwa manusia memiliki ketidaksempurnaan dan kita harus belajar dari ketidaksempurnaan itu.
Saling maaf-memaafkan adalah momen eksistensial bagi manusia, dari situ manusia belajar, kesalahan bukanlah sesuatu yang harus dikutuk, tapi diperbaiki. Peristiwa maaf-memaafkan begitu sering kita temukan dalam keseharian, tapi terkadang jarang kita mendapati ucapan maaf-memaafkan yang begitu menyentuh. Sepertinya, terkadang kita lupa apa makna dari maaf, itu tidak lebih dari rutinitas yang biasa saja, kurang ada dampak signifikan dalam hidup kita. Tapi tidak jarang juga kita mendengar momen maaf-memaafkan yang begitu epik dalam cerita.
Hari-hari ini perkara maaf-memaafkan kembali ramai dibicarakan media berita, ada satu perkara yang cukup menyita perhatian publik. Perkara yang ramai mengenai perkara hadang-menghadang, tapi pada akhirnya berujung pada momen saling memaafkan. Kala itu, Djarot sebagai calon wakil gubernur petahana yang sedang melakukan kampanye dihadang oleh sekumpulan massa yang menyuarakan ketidaksukaannya dan melarang Djarot untuk berkampanye masuk ke daerah itu. Djarot tidak gentar menghadapi penghadangan itu, dia mencoba melakukan dialog dengan seseorang yang mengklaim dirinya adalah komando dari penghadangan tersebut.
Djarot tidak putus asa, dia tetap melakukan kampanye di daerah lain. Seiring berjalannya waktu, kasus penghadangan itu diusut oleh Bawaslu, sebab penghadangan itu telah melanggar undang-undang dan mengganggu ketertiban kampanye. Pengadilan Tinggi Negeri Jakarta Barat menetapkan satu tersangka Naman  sebagai tersangka. Satu momen mengharukan terjadi di persidangan, Naman yang ditetapkan sebagai tersangka meminta maaf kepada Djarot selaku yang dihadang saat sedang melakukan kampanye.
Momen maaf-memaafkan yang begitu bermakna hadir, Naman meminta maaf sebab telah menghadap kampanye Djarot dengan asalan keterpanggilan dia untuk ikut membela agama bersama massa lainnya dan Djarot memaafkan dengan alasan Naman tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai hukum yang mengatur jalannya kampanye, juga ini adalah pelajaran baik untuk kesehatan dan pendewasaan demokrasi kita. Kendati demikian, proses hukum akan tetap berjalan, agar menjadi pelajar juga untuk para penghadang lain, bahwa kebebasan menyuarakan opini harus tettap dilakukan pada koridor hokum, jika melanggar tetap akan diproses sesuai undang-undang.
Kejujuran dari momen maaf-memaafkan adalah penting, sebab banyak pelajaran hidup yang dapat dipetik dari hal itu, kita dapat belajar dari yang salah dilakukan orang lain. Manusia adalah makhluk yang selalu belajar, maaf-memaafkan adalah proses pembelajaran itu sendiri. Perbaikan demokrasi tumbuh dari pelajaran itu. The weak can never  forgive. Forgiveness is the attribute of the strong  (Mahatma Gandhi).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H