Mohon tunggu...
Bahy Chemy Ayatuddin Assri
Bahy Chemy Ayatuddin Assri Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik Di Salah Satu Kampus

Menulis merupakan refleksi diri dan pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perempuan dan Seksualitas

2 April 2024   11:55 Diperbarui: 2 April 2024   12:02 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seksualitas ialah bagaimana manusia mendapatkan pengalaman erotis dan mengekspresikan dirinya sebagai makhluk seksual. Hal ini sebagai akibat dari perbedaan jenis kelamin, seperti perbedaan tingkah laku perbedaan atribut dan peran. Artinya, seksualitas ini berhubungan dengan ranah yang sangat pribadi dan privat. Tumbuhnya rasa seksualitas ini menjadi tanggung jawab dari masing-masing individu. Gambaran seksualitas ini juga dapat memicu hubungan biologis guna mempertahankan spesies. Semua ini ada di ranah pribadi dan tidak dalam ranah publik, serta menuntut hormat dari negara yang menaunginya. Negara tidak berhak untuk mengurusi hal-hal perihal pribadi. Namun, lewat UU pornografi, negara justru mengurusi hal-hal pribadi dan yang menjadi korbannya adalah tubuh perempuan. Individu yang melanggar UU ini akan dihukum, dikriminalisasikan, dan dipenjarakan dalam penjara moral. Kriminalisasi ini adalah tindakan yang paling absurd. Wilayah privat telah dicampuri oleh urusan publik negara.

Perempuan sering digambarkan sebagai objek seksual dalam pornografi, mengurangi martabat dan harkat mereka menjadi sekadar benda yang bisa dinikmati. Banyak kasus di mana perempuan terlibat dalam industri pornografi karena tekanan ekonomi atau penipuan, tanpa memperoleh perlindungan atau hak yang layak. Tujuan dari UU pornografi adalah untuk melindungi dan membela perempuan. Namun, di balik kedok pembelaan, ada ideologi yang menjadi sponsor utamanya, yaitu misoginisme religius, yaitu kebencian terhadap tubuh perempuan atas dasar politik moral agama. Inilah contoh praktik patriarki yang memanfaatkan negara untuk mencapai dominasi politik dan totalitarianisme nilai. Kebencian terhadap tubuh perempuan adalah paranoid kebudayaan yang berasal dari pemerintahan patriarkis dan akan senantiasa lestari lewat agama dan hukum.

Tubuh adalah wilayah otonomi individu. Pengelolaan dan pengendalian tubuh pun ada di pihak individu bukan di pihak individu atau kelompok lain. Menjadi dewasa pun menjadi tanggung jawab pribadi bukan tanggung jawab negara yang menaunginya. Namun, berbeda dengan UU pornografi yang memandang tubuh sebagai wilayah politik negara dan lokasi operasi moralitas agama. Kolaborasi antara kepentingan politik dan moral tradisional yang menghasilkan aturan ini. Sehingga menjadikan tubuh perempuan menjadi objek kriminal negara. Bagaimana ceritanya, hal-hal pribadi menjadi komoditas publik dan negara? Bukankah ini menyalahi hak asasi manusia dan menciderai sendi-sendi demokrasi?. Para pembuat UU ini sebenarnya sedang menerapkan demokrasi, yaitu kebebasan berpendapat tetapi kebebasan ini dipadukan dengan agama yang sifat kebenarannya final, dapat dipastikan tidak sedang menjalani kebebasan berpendapat. Demokrasi dengan kebebasan berpendapat nya menghendaki adanya argumentasi yang ketat dan pengujian di publik, sehingga terbuka dari segala kritik dan masukan (baca: kesementaraan kebenaran). Kebenaran demokrasi tidak cocok dengan kebenaran agama yang bersifat final. Jadi, akan menjadi fatal, jika keputusan kebenaran jatuh pada yang bersifat final dan tidak terbuka untuk kemungkinan-kemungkinan lainnya. Dalam bentuk finalnya, akan terwujud pemerintahan teokratis.

Dari UU ini kita pahami bersama bahwa sebenarnya seluruh masalah yang ditimbulkan oleh laki-laki justru mengalihkan penyelesaian masalah ke pihak perempuan; menjadikan perempuan sebagai kambing hitam dari kebejatan laki-laki. Bagaimana tidak, masalah pornografi dan yang berbau seksualitas ini kerap ditimbulkan oleh pihak laki-laki dan berhubung laki-laki memiliki kuasa lewat praktik patriarki, maka tidak heran gagasan seperti ini timbul ke permukaan. Praktik patriarki ini mendapatkan sokongan dari pembenaran agama yang bersifat final, maka akan senantiasa tumbuh lestari praktik-praktik ini dan akan juga keluar kebijakan-kebijakan yang melanggar hak asasi manusia. Negara tidak lagi hormat kepada hal-hal pribadi tapi justru dipergunakan sebagai komoditas publik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun