Mohon tunggu...
Bahy Chemy Ayatuddin Assri
Bahy Chemy Ayatuddin Assri Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik Di Salah Satu Kampus

Menulis merupakan refleksi diri dan pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kemiskinan dan Kebudayaan Kemiskinan

28 Maret 2024   11:38 Diperbarui: 28 Maret 2024   11:40 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemiskinan merupakan masalah yang sering dihadapi oleh negara-negara berkembang. Masalah ini akibat dari proses urbanisasi yang tidak diselaraskan dengan fasilitas sosial, khususnya rumah dan lapangan pekerjaan sehingga menciptakan pengangguran yang kemudian dapat menimbulkan masalah sosial-ekonomi. Menurut Francis Fukuyama melalui bukunya The Great Disruption, sebuah kemiskinan akan menimbulkan sebuah kejahatan yang mengancam masyarakat dan akhirnya antar masyarakat tidak ada lagi ketersaling percayaan yang menimbulkan keretakan hubungan. Inilah yang Fukuyama sebut sebagai Great Disruption. Komunitas miskin ini selanjutnya dipandang sebagai sampah yang mengotori hiruk-pikuk perkotaan. Seharusnya bukan seperti itu cara pandangnya. Kemiskinan ini harus dipandang sebagai sebuah indikasi dari kegagalan pembangunan nasional. Pembangunan nasional tidak mencakup seluruh masyarakat tapi hanya segelintir saja.

Pada tahap selanjutnya, kemiskinan berevolusi menjadi kebudayaan yang melekat di sekitaran kemiskinan. Menurut Oscar Lewis, kebudayaan kemiskinan ini merupakan sebuah adaptasi sekaligus respon kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang berstrata tinggi dan individualistik. Kebudayaan ini mencerminkan suatu upaya mengatasi rasa putus asa atas segala usaha yang telah dilakukan dan memunculkan kesadaran diri bahwa tidak mungkin sukses di tengah masyarakat kapitalis ini. Kebudayaan ini muncul akibat upah rendah dan pengangguran masyarakat di suatu pemukiman. Dengan ini, masyarakat terselimuti oleh sikap apatis yang tidak akan membawa pada perubahan individu dan lingkungannya.

Elite memandang bahwa kemiskinan membawa kesan buruk bagi bangsa karena kemiskinan ini hasil dari pemerataan pembangunan. Akhirnya, para elite memutuskan untuk mengeleminasi kantong-kantong kemiskinan. Ada dua cara: (1) penggusuran pemukiman komunitas orang miskin dengan bantuan kekuatan represif. Jika diulas ulang, kebijakan ini malah melahirkan pemukiman-pemukiman komunitas miskin yang lainnya karena masalah ini tidak menyentuh kepada intinya, tapi hanya menyentuh permukaannya saja. Toh, namanya juga pemukiman miskin, bangunan-bangunannya pun gampang roboh dan kebanyakan sudah reot. Mudah bagi mereka untuk membangunnya lagi di daerah lain. Pemberantasan fisik tidak mungkin mengakhiri kemiskinan itu sendiri. Solusi kemiskinan bukan ada di dalam tapi justru ada di luar kemiskinan. (2) pemeliharan pemukiman komunitas miskin. Hal ini pun jauh dari masuk akal. Jika komunitas miskin dipelihara, itu akan memanjakan mereka, padahal mereka juga memiliki budaya kemiskinan yang telah mengakar. Akhirnya, keenakan menjadi orang miskin dan tidak mau memperjuangkan nasib hidupnya. Biaya pemeliharaan ini pasti menggunakan uang negara dan pasti juga menghabiskan banyak dana untuk sebuah komunitas yang tidak mau berjuang untuk berubah. Suatu usaha yang sia-sia. Di samping itu juga, pemeliharaan ini artinya pelebaran tanah bagi orang miskin. Akhirnya, kebijakan ini dimanfaatkan oleh masyarakat menengah untuk menghargai tinggi tanah yang ditunjuk oleh pemerintah. Artinya, dana negara digunakan untuk usaha yang lebih dari sia-sia. Tidak ada untungnya memelihara komunitas miskin.

Kemiskinan merupakan produk dari kapitalisme. Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, mengikuti model kapitalis dalam pembangunan nasional akan mengaitkan setiap kebijakan dengan struktur internasional yang menjadi sumber modalnya. Dengan kata lain, sistem kapitalisme dalam negeri harus menjalin hubungan dengan pusat kapitalisme dunia guna mempertahankan eksistensinya. Jika kebijakan pemerintah masih saja mengikuti struktur kapitalisme dunia, maka kemiskinan ini semakin merajalela dan sukar untuk memutuskannya. Hal fundamental yang bisa merubah kemiskinan adalah dengan mengadakan perubahan dalam kebijakan ekonomi-politik di suatu negara. Pada akhirnya, berkat sistem kapitalisme, masyarakat terbagi kepada masyarakat pusat dan pinggiran.

Zaman sekarang, masyarakat pusat sangat menghindari masyarakat pinggiran. Bisa dilihat di Jakarta, jika melihat melalui drone, betapa jauh perbedaan pemukiman antara masyarakat pusat dan pinggiran. Disana seperti ada pembatasan antara masyarakat pusat dan pinggiran. Hal ini pun terlihat dari wacana pemindahan ibukota Jakarta ke IKN. Proyek IKN adalah untuk menjauhkan masyarakat pinggiran dan hanya diisi oleh masyarakat pusat. Pada sisi lain, sistem kapitalisme tetap lestari.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun