Mohon tunggu...
Bahy Chemy Ayatuddin Assri
Bahy Chemy Ayatuddin Assri Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik Di Salah Satu Kampus

Menulis merupakan refleksi diri dan pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

Model Penawarandalam Kegiatan Ekonomi

25 Maret 2024   11:59 Diperbarui: 25 Maret 2024   12:08 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Model buy-one-get-one telah banyak diadopsi dalam industri produk  khususnya pakaian. Menurut Brent Freeman, pendiri dan CEO Roozt, sebuah pasar online untuk produk buy-one-get-one, sebagian besar perusahaan menemukan kesuksesan dalam menjual produk dengan cara ini, lebih khusus lagi aksesori dan perhiasan, karena jenis produk ini memberikan cara bagi orang-orang untuk mengekspresikan gaya dan kepribadian mereka yang unik secara terbuka sekaligus memicu perbincangan untuk berbagi cerita buy-one-get-one  dengan orang lain. 

Di samping itu, ada juga yang menerapkan cara marketing ini dalam penjualan jajanan tetapi tidak bisa sesukses apa yang dicapai oleh industri pakaian. Para konsumen tidak tertarik dengan promo makanan ini.

Meskipun model buy-one-get-one telah berhasil dengan perusahaan produk pakaian, model ini telah mendapatkan daya tarik di industri lain, yaitu dalam sektor pendidikan. Sebagai contoh, CommonBond, perusahaan pemberi pinjaman pendidikan, telah berkomitmen untuk mendanai satu tahun pendidikan bagi seorang siswa di luar negeri dengan memberikan pinjaman dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar. Contoh lain di Indonesia, ada satu universitas yang memberi potongan besar bagi alumni universitas tersebut yang melanjutkan studi pascasarjana di universitas yang sama. Hal ini dapat memicu semangat dan minat para alumni untuk lanjut studi.

Buy-one-get-one atau biasa disebut sebagai BOGO memiliki dua klasifikasi penawaran, yaitu pertama beberapa promo menambahkan produk gratis setelah pembelian sejumlah produk baik yang terkait maupun yang tidak terkait. Penawaran semacam itu bisa disebut "hadiah gratis", atau "penawaran paket", dan mengacu pada promosi seperti "beli kalung dan dapatkan anting-anting gratis". Kedua, penawaran dengan menggunakan persentase diskon dari harga asli, seperti "diskon 50%". 

Dari sudut pandang rasional, nilai pasar suatu produk seharusnya tidak terpengaruh oleh jenis penawaran. Dengan kata lain, konsumen yang rasional seharusnya tidak peduli antara penawaran BOGO dan penawaran lain yang menawarkan diskon 50% untuk pembelian dua barang. Namun, penelitian yang dilakukan oleh Kahneman & Tversky  (1979); mengemukakan bahwa penawaran BOGO dianggap sebagai keuntungan tambahan, sedangkan penawaran diskon dianggap sebagai pengurangan kerugian.

Penelitian lebih lanjut dilakukan oleh Diamond & Sanyal (1990), hasilnya adalah orang cenderung  memilih penawaran persentase daripada penawaran BOGO. Namun, preferensi ini berbalik ketika kesepakatan persentase adalah kesepakatan multi-beli juga, yaitu ketika penawaran tersebut mengharuskan pembelian sejumlah produk, misalnya "beli 2 dapat diskon 50%"). 

Dalam situasi ini, penawaran BOGO lebih disukai daripada penawaran persentase, sedangkan penawaran persentase terdapat unsur paksaan untuk beli. Selain itu, anak-anak muda lebih memilih penawaran BOGO karena harganya lebih rendah daripada penawaran persentase. Ketika diskon besar-besaran, orang lebih memilih penawaran BOGO karena akan dapat penghematan dana yang sama.

Perusahaan yang mempromosikan BOGO mendapatkan keuntungan dari publisitas gratis dari media populer. Pers tertarik pada cerita tentang perusahaan yang berbuat baik. Hal ini akan menjadikan tren positif para konsumen terhadap perusahaan yang mempromosikan BOGO sehingga mendapatkan perhatian media. Konsumen biasanya tertarik pada sebuah perusahaan atau merek karena citra yang diasosiasikan dengan perusahaan atau merek tersebut.

 Di samping itu juga, perusahaan yang terlibat dalam menawarkan kegiatan sosial yang dapat diikuti oleh konsumen, sehingga dapat menarik konsumen yang lebih luas lagi. KNO Clothing, misalnya, menarik pelanggan yang memiliki rasa kepedulian sosial. Akhirnya, konsumen menganggap dengan membeli baju di perusahaan ini, berarti ikut serta juga dalam komitmen untuk mengakhiri tunawisma.

Penelitian terdahulu menunjukkan pentingnya loyalitas pelanggan dalam penjualan produk. Pelanggan yang loyal cenderung membeli kembali produk, membayar lebih untuk produk yang mereka ketahui dan percayai, dan merekomendasikan merek tersebut kepada pelanggan lainnya. perusahaan yang mengusung BOGO memanfaatkan hasrat pribadi konsumen, mereka lebih mungkin menciptakan hubungan yang langgeng dan mendalam dengan pelanggan mereka. 

Jeff LeBlanc menegaskan bahwa hal ini telah terjadi di perusahaan yang ia dirikan, Out of Print, yang menjual kaos, aksesori, dan alat tulis. Tidak hanya misi sosial perusahaannya yang mendorong pembelian berulang-ulang kali, ia juga menceritakan beberapa contoh konsumen menanyakan bagaimana mereka dapat lebih melibatkan diri dalam suatu kegiatan sosial yang diusung oleh perusahaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun