Mohon tunggu...
Bahy Chemy Ayatuddin Assri
Bahy Chemy Ayatuddin Assri Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik Di Salah Satu Kampus

Menulis merupakan refleksi diri dan pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Transmigrasi Menjadi Kebijakan Unggulan Suharto

21 Maret 2024   11:36 Diperbarui: 21 Maret 2024   11:48 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://id.wikipedia.org/wiki/TransmigrasiInput sumber gambar

Suharto adalah adalah presiden kedua Indonesia yang menjabat dari tahun 1967 hingga 1998. Secara luas beliau dianggap sebagai diktator militer oleh pengamat internasional. Soeharto memimpin Indonesia sebagai rezim otoriter sejak kejatuhan pendahulunya Soekarno pada tahun 1967 hingga pengunduran dirinya pada tahun 1998 menyusul kerusuhan nasional dan krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Kediktatorannya selama 32 tahun dianggap sebagai salah satu kediktatoran paling brutal dan korup di abad ke-20. Soeharto wafat pada 27 Januari 2008 dalam usia 87 tahun.

Keotoriteran Suharto didukung oleh pemerintahan yang sentralistik yang semua pengambilan kebijakannya berada di pusat pemerintahan. Dengan ini, Suharto mengajukan penyeragaman masyarakat Indonesia, alih-alih mengikuti semboyan pendahulunya Sukarno, Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tapi tetap satu tujuan). Suharto tidak suka dengan semboyan ini karena tidak mencerminkan sebuah bangsa yang kokoh dan kuat. Penyeragaman ini meliputi cara berpakaian, gaya rambut, dan bahasa. Seperti, perempuan harus bergaya pakaian dengan mengenakan kebaya, rambut tersanggul, dan tidak mengenakan hijab. Cara berpakaian seperti mencerminkan cara berpakaian orang Jawa. Memang, penyeragaman ini ditunjukkan untuk masyarakat agar menjadi satu manusia, manusia Jawa. Dengan sendirinya, Jawa itu sudah menjadi representasi dari Indonesia. Dengan penyeragaman ini membuat budaya daerah lain tertutupi oleh budaya Jawa. Bahasa yang digunakan adalah bahasa nasional, bahasa Indonesia, bukan bahasa masing-masing daerah. Bahasa daerah yang diperbolehkan adalah bahasa Jawa. Jawa sentris terlihat dari sini, semua yang berbeda dipaksa dijadikan satu yaitu Jawa.

Penyeragaman ini memiliki arti lain, yaitu menekan kebebasan berbicara dan hak-hak masyarakat Indonesia. Penyeragaman cara berpakaian perempuan seperti pakaian Jawa, misalnya, untuk menekan gerakan feminisme yang menghendaki kebebasan dari perempuan. Hal ini diperparah dengan adanya Darma Wanita bagi istri-istri PNS, misalnya, yang awalnya untuk menunjang kenaikan kualitas kehidupan  anggota PNS, sekarang berubah makna menjadi alat untuk menekan habis gerakan perempuan. Suharto memiliki cara untuk membendung gerakan-gerakan yang berbeda haluan dengan dirinya. 

Demi memaksimalkan penyeragaman ini, Suharto mengeluarkan kebijakan transmigrasi. Transmigrasi zaman Suharto bertujuan untuk meningkatkan produksi nasional dengan menjadikan penduduknya sebagai agen pembangun di daerah baru, khususnya daerah pelosok. Tujuan ini sangatlah bagus, jika berhasil akan menghasilkan kenaikan produksi di setiap daerah baru yang berguna untuk menunjang kenaikan produksi nasional. Di samping itu, transmigrasi ini bertujuan untuk mengangkat taraf kehidupan  orang-orang lokal disana. Namun, ada wacana terselubung dari kebijakan ini, yaitu ingin menjadikan seluruh daerah di Indonesia diisi oleh orang-orang dari Jawa dan tersingkirlah orang-orang lokal. Orang-orang lokal hanya sebagai peran pembantu, sedangkan orang-orang Jawa menjadi aktor utamanya. Mayoritas penduduk yang mengalami arus transmigrasi adalah penduduk Jawa. Penyeragaman ini membuat penduduk Indonesia mudah diatur.

Walaupun menuai pro-kontra, kebijakan-kebijakan yang diusung oleh Suharto agaknya berhasil untuk menyeragamkan penduduk Indonesia dan menekan gerakan-gerakan garis keras. Buktinya, setelah Suharto turun tahta dan digantikan dengan wakilnya B.J Habibie, pemerintahan tidak lagi sentralistik tapi desentralistik. Desentralistik ini muncul akan kegagalan Indonesia dalam mempertahakan Timor Timur. Alih-alih wajah baru pemerintahan, desentralistik justru menimbulkan banyak sekali konflik, seperti konflik Aceh merdeka. Memang konflik ini telah berjalan sejak 1976 tapi dengan sistem pemerintahan yang desentralistik dan merdekanya Timor Timur, maka konflik ini semakin membara. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun