Mohon tunggu...
Asril Novian Alifi
Asril Novian Alifi Mohon Tunggu... Penulis - Writer | Learning Designer | Education Consultant

Writer | Learning Designer | Education Consultant https://linktr.ee/asrilnoa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menyimak Dongeng Dahulu, Membaca Buku Kemudian

29 Januari 2019   14:43 Diperbarui: 29 Januari 2019   14:59 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.littleredhen.in

Kemanapun saya bepergian, sebisa mungkin saya selalu membawa buku di tas saya. Bisa hanya satu buku atau lebih. Saya akan membaca buku tersebut untuk membunuh waktu luang yang sering saya jumpai saat perjalanan. Salah seorang teman pernah bertanya, "Asril, kenapa sih kamu suka sekali baca buku ?"

Ya, kawan saya itu memang sering melihat saya membaca buku ketika di waktu senggang. Ia juga sering menyaksikan saya membeli banyak buku di tiap bulannya. Ah, padahal, kalau dibandingkan dengan penggila buku yang lain, saya masih belum ada apa-apanya. Baik dari jumlah koleksi buku, maupun dari ketekunan membacanya.

"Kalau aku sih, baca buku tebal-tebal yang gak ada gambarnya gitu ya pasti bosan." Lanjut teman saya itu.

"Hmmm.... Ya gak tahu ya. Suka aja." Jawab saya menanggapi pertanyaan kawan saya itu. 

Sebenarnya saya ingin sekali menjawab dengan jawaban seperti tulisan-tulisan yang ada di buku berjudul Bukuku Kakiku (GPU, 2004) atau buku Proses Kreatif (Gramedia, 1982), yang disunting oleh Pamusuk Eneste.

Bukuku Kakiku memuat banyak tulisan tentang pengalaman bersinggungan dengan buku dari para pesohor, mulai dari ilmuwan, budayawan, sastrawan, seniman, tokoh politik, dan sebagainya. Sedangkan buku Proses Kreatif, seperti judulnya, memuat banyak tulisan sastrawan-sastrawan besar Indonesia yang bercerita tentang proses kreatif mereka dalam menghasilkan karya sastra.

Saya menemukan banyak persamaan dari dua buku tersebut. Para pesohor yang ada di Bukuku Kakiku mengaku mengawali kecintaan mereka terhadap buku lantaran orang-orang terdekat mereka, yang juga menggilai buku, sudah mengenalkan pada buku sejak mereka kecil. Begitu pula dalam Proses Kreatif, sebagian besar sastrawan yang ada di buku itu mengatakan bahwa proses kreatifnya diawali dari kecintaan membaca buku sejak kecil. Ada yang dikenalkan buku oleh orang tuanya, kakeknya, tetangga, dan lain sebagainya. Bahkan banyak juga yang di rumahnya sudah ada perpustakaan pribadi di rumah milik orang tua mereka, karena kebetulan orang tua mereka adalah para cendekiawan atau orang-orang yang sangat gandrung terhadap buku.

Sungguh sangat seru menyimak perjumpaan tokoh-tokoh besar dengan buku yang ada pada pada Bukuku Kakiku dan Proses Kreatif. Beberapa ceritanya masih melekat dalam ingatan saya sampai sekarang. Itulah mengapa saya tergoda untuk meniru jawaban tokoh-tokoh tersebut ketika kawan saya bertanya alasan mengapa saya suka membaca buku. Saya selalu ingin menjawab, "Itu karena aku sudah dibiasakan membaca sejak kecil."

Ya, saya memang sudah suka membaca sejak kecil. Tapi, apakah itu karena saya dibiasakan oleh orang tua untuk membaca  --seperti cerita-cerita para pesohor yang ada di dua buku di atas-- sepertinya saya terlalu cepat mengambil kesimpulan.

Di rumah saya tidak ada perpustakaan pribadi. Keluarga saya juga bukanlah kalangan yang sempat mengenyam pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Mentok Cuma lulusan SMP dan SMA. Tidak ada buku di rumah selain buku pelajaran sekolah. Jadi, agak berlebihan kalau saya mengatakan bahwa saya sudah dibiasakan membaca sejak kecil. Ah, saya pun jadi penasaran sendiri, kenapa dari kecil saya sudah suka membaca. Saya pun tergoda untuk menguliknya.

Beberapa waktu lalu saya tuntas membaca buku buku Agar Anak Anda Tertular Virus Membaca, karangan Paul Jennings (Penerbit MLC, 2006). Dalam buku tersebut disampaikan bahwa salah satu yang bisa menstimulus anak-anak kita agar gila membaca adalah dengan sesering mungkin membacakan buku cerita atau mendongeng untuk anak.

Paul menjelaskan bahwa ragam bahasa lisan dan bahasa buku amatlah berbeda. Jika anak-anak sudah dibiasakan dengan ragam bahasa buku dengan cara dibacakan buku cerita atau mendongeng sejak dini, maka ketika kelak sudah bisa mengenal bahasa tulis, mereka tidak akan terkaget-kaget berhadapan dengan bahasa buku. Anak akan jauh lebih mudah beradaptasi dengan bahasa buku dan kemudian mencintai aktivitas membaca. Dalam buku bertebal 272 halaman tersebut, Paul menuliskaan demikian :

"Anak-anak mempelajari tata bahasa percakapan karena mereka diajak bercakap-cakap. Mereka mempelajari bahasa buku karena mereka dibacakan buku. Tetapi, keduanya merupakan sistem yang berbeda dan anak-anak perlu mengakrabi keduanya.

.............. Anak-anak tidak akan mencerap bahasa buku jika tidak diperkenalkan oleh pembaca dewasa. Kalimat-kalimat dalam buku tak ubahnya seperti cas-cis-cus bagi anak-anak yang tak pernah dibacakan buku."

Saya jadi ingat, masa kecil saya dulu tinggal disebuah rumah yang di dalamnya berisi keluarga besar. Orang tua saya belum mampu tinggal di rumah sendiri, sehingga masih harus menumpang di rumah kakek dan nenek saya dari keluarga ibu. Ibu saya adalah anak sulung dari delapan bersaudara. Sewaktu saya kecil, adik-adik ibu (Oom dan tante) saya masih pada belum menikah. Jadi, semuanya masih satu rumah dengan kakek dan nenek saya.

Saat waktu tidur malam hari tiba, saya sering ditemani para Oom dan tante saya tersebut. Saya banyak mendapatkan dongeng sebelum tidur dari mereka. Tak terkecuali dari kakek dan nenek ketika menemani saya tidur di malam-malam yang lainnya. Sebenarnya, dongeng sebelum tidur itu tak lebih dari kisah Bawang Merah -- Bawang Putih, Ande-ande Lumut, Malin Kundang, dan Kancil Mencuri Timun. Tapi, entah kenapa, meskipun diulang-ulang terus di tiap malamnya, cerita-cerita tersebut masih tetap terasa seru bagi saya.

Di malam-malam lainnya, pengantar tidur saya adalah radio merek National milik ibu, yang hanya memiliki dua tombol, yakni tombol volume dan tuning. Acara favorit ibu saya waktu itu adalah sandiwara radio Saur Sepuh dan Dendam Nyi Pelet. Karena radio tersebut diletakkan tepat di atas tempat tidur kami, mau tidak mau saya pun larut juga mendengarkan sandiwara radio tersebut.

Saya juga jadi hafal nama-nama pengisi suaranya seperti Fery Fadli, Elly Ermawati, sampai sang narator, yang suaranya sering terdengar memanggil penonton untuk segera masuk ke studio di gedung bioskop, Maria Oentoe.

Seperti yang dikatakan Paul Jennings di atas, dongeng-dongeng dan sandiwara radio tersebut adalah bekal saya untuk tidak kagok ketika bertemu dengan buku-buku cerita. Ya, buku cerita lah yang menyebabkan saya begitu menggandrungi aktivitas membaca buku di luar buku pelajaran di masa-masa selanjutnya. Lantaran sudah sering mendengarkan cerita secara lisan, saya jadi tak memiliki halangan yang berarti ketika harus beradaptasi dengan buku-buku cerita.

Karena hidup di desa yang minim akses terhadap buku, maka saya hanya bisa mendapatkan bahan-bahan bacaan dari pasar loak yang dijual secara kiloan. Buku-buku yang saya beli waktu itu tak jauh-jauh dari komik terbitan CV. Pustaka Agung Harapan, yang banyak menerbitkan komik-komik kisah nabi, serta yang paling fenomenal saat itu adalah komik Siksa Neraka, yang berhasil membuat saya susah tidur berhari-hari.

Selain komik-komik dari CV Pustaka Agung Harapan, masa kecil saya juga ditemani majalah anak-anak yang seru semacam Bobo, Aku Anak Saleh, dan Mentari Putera Harapan. Yang terakhir adalah majalah yang paling saya favoritkan. Dan mungkin juga favorit semua anak-anak di zaman itu. Cerita-cerita dalam Mentari Putera Harapan semacam Hamindalid Si Penyihir Jenaka, Super Bejo, Gino CS, dan Abu Nawas adalah yang paling saya tunggu-tunggu.

Selain cerita-cerita, ada banyak juga artikel-artikel yang sarat edukasi dalam Mentari Putera Harapan. Selain bermanfaat untuk menambah wawasan, artikel-artikel tersebut juga membantu menambah perbendaharaan kosa kata di kepala, sehingga saya sudah bisa membaca jenis-jenis bacaan lain, seperti berita dan artikel-artikel di koran dan juga buku-buku umum.

Saya jadi semakin menyadari bahwa, sama halnya dengan cinta-cinta yang lainnya, kecintaan terhadap aktivitas membaca tidak lah terjadi serta merta. Tapi dibangun secara bertahap dan terus berkesinambungan. Jika mendongeng adalah benih untuk menumbuhkan kecintaan kepada aktivitas membaca, maka  akses terhadap bacaan-bacaan yang tepat dan menarik adalah pupuk yang semakin menyuburkan kecintaan tersebut.

Duh, saya jadi merindukan komik dan majalah-majalah di masa kecil saya dulu. Jikalau ada hari dimana harus mengucapkan terimakasih kepada benda-benda paling berjasa di masa kecil dulu, komik-komik dan majalah di masa kanak-kanak saya dulu akan menempati deretan teratas dalam daftarnya. Di deretan berikutnya ditempati oleh radio National dengan dua tombol, tentu saja.  

BACA JUGA

5 Buku yang Akan Membuat Anda Berpikir Ulang Untuk Melanjutkan Sekolah

Mengoleksi Buku Tak Pernah Ada Ruginya

Melihat Kualitas Sekolah Dari Perpustakaannya

Jika Sudah Ada Internet, Mengapa Masih Harus Membaca Buku ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun