Dari ibu-ibu yang berjumpa di mana saja, aku tahu kalau dia adalah seorang guru. Dia mengajar di sekolah perempuan. Sekolah itu jauh, sehingga dia harus berangkat subuh, melintasi sawah, kadang, hutan, semakin belukar dengan embun pagi yang lembab. Dingin! Siang hari saja di kampungku dingin, apalagi subuh. Hujan tak bisa menghalanginya untuk menunaikan tugas mengajarnya.
Sesekali kudengar dia bercakap-cakap dalam bahasa Belanda, dengan seorang bidan pahlawan kesehatan di kampungku. Bidan itu beberapa kali sudah menyuntikku dengan jarum suntik besar yang lebih dulu dibakar pakai lilin lalu dilap alkohol. Sebagai anak kecil aku sering demam, panas, dia selalu membawaku ke bidan itu, dan disuntik.
Pada usianya yang belum terlalu tua dia sudah diserang sakit sesak nafas, mungkin karena sering terkena embun, udara lembab. Itu kutahu dari ibuku. Lama dia tergantung obat-obatan dan aku bertugas menyiapkan obat yang harus diminum setiap hari.Â
Sebagai seorang pensiunan guru, dia sangat tertib administrasi. Buku hariannya lengkap, catatan peristiwa penting, pemasukan dan pengeluaran ada disana. Dia membiasakanku dengan disiplin, yang sekarang masih terasa sisa kebiasaan itu. Belajar adalah pesan utama yang selalu disampaikannya kepadaku, juga berdoa. Yang lain tentang hemat dan kebersihan.
Sebagian besar masa tuanya dihabiskan untuk mengkwatirkan aku, lalu mendoakan aku. Setiap hari dia menatap dari jendela biliknya, mengarahkan pandangannya ke ujung jalan kampung, menantiku pulang sekolah. Setiap yang lewat akan ditanya kan apakah tahu aku dimana, jika sesekali aku tak tepat waktu pulangnya.
Jika kubisa melewati banyak kisah ini, kutahu itu karena pahlawanku, yang telah mendoakanku kepada Tuhannya.
Dialah opungku, pensiunan guru sekolah khusus perempuan di masanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H