Setiap hamba Allah yang melaksanakan ibadah haji, sudah bisa dipastikan sangat berharap dan berusaha supaya hajinya bisa mabrur, dalam arti bukan hanya sekedar menggugurkan kewajibannya sebagai seorang muslim, tapi juga ibadah hajinya diterima oleh Allah swt atau mabrur. Sudah banyak pula para ulama dan da’i menyampaikan, bahwa mabrur atau tidaknya haji seseorang itu semata-ta haknya Allah swt, akan tetapi berdasarkan kepada keterangan yang terdapat didalam Al-Qur’an dan Hadits, ada semacam tanda-tanda dzahir yang bisa diketahui, apakah seseorang itu hajinya mabrur atau tidak ? seperti ONHnya adalah uang yang halal, ibadahnya ikhlas, banyak berbuat kebajikan, suka menolong orang lain, tidak berbuat maksiat, dan setelah haji semua sisi kehidupannya menjadi lebih baik dibandingkan dengan sebelum haji, dan hampir semua umat muslim mafhum akan hal ini. Akan tetapi ada satu pertanyaan yang sangat menggelitik dan bahkan sering terlupakan, bukan hanya oleh jama’ah haji itu sendiri, tapi juga para da’i atau ustadz didalam menyampaikan dakwahnya, yaitu; APAKAH WAKTU YANG DIPAKAI UNTUK MELAKSANAKAN IBADAH HAJINYA JUGA WAKTU YANG HALAL ? lho kok bisa ? baiklah, penjelasannya seperti berikut :
Bagi seorang muslim yang bukan pegawai atau pegawai yang sudah pensiun, maka pertanyaan diatas tentu saja tidak berlaku, jadi pertanyaan diatas hanya berlaku untuk seorang muslim dimana dia adalah seorang pegawai yang masih aktif, dan masih terikat dengan kontrak perjanjian kerja yang biasanaya dibuat antara pegawai tersebut dengan majikannya, baik dia pegawai negeri ataupun pegawai swasta, dan berdasarkan kepada perjanjian kerja tersebut juga biasanya baik instansi atau perusahaan swasta sudah ada semacam fasilitas atau izin untuk meninggalkan pekerjaannya selama menunaikan ibadah haji, dan fasilitas ini berlaku hanya satu kali selama yang bersangkutan terikat menjadi pegawai dari instansi atau perusahaan yang bersangkutan. Perlu diketahui bahwa bagi seorang muslim yang mampu, maka dia memiliki kewajiban untuk melaksanakan ibadah haji sekali saja selama hidupnya. Kalau dia mau atau ingin melakukan lebih dari satu kali maka hukumnya adalah hanya SUNAH saja.
Masalah mulai muncul manakala seorang pegawai yang masih aktif tadi ingin melaksanakan ibadah haji untuk yang kedua kalinya dan seterusnya, lebih diperparah lagi kalau yang bersangkutan umpamanya, selain sebagai pegawai suatu instansi atau pegawai swasta yang bidang tugas dan kerjanya tidak ada hubungan dan sangkut pautnya dengan ibadah haji, tapi dia punya tugas sampingan/nyambi sebagai pembimbing ibadah haji dan Umrah, dan secara rutin dia harus meninggalkan tugas utamanya sebagai pegawai selama paling tidak 45 hari herja untuk setiap tahunnya, belum lagi kalau ditambah dengan harus membimbing ibadah Umrah. Sudah barang tentu untuk melaksanakan ibadah yang bernilai SUNAH seperti ini, maka dia harus meninggalkan hal yang WAJIB, yaitu untuk menetapi amanah melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan perjanjian kerja yang telah dibuatnya terdahulu, dan tentu saja akan banyak kerugian yang akan ditimbulkannya, kalau dia pelayan masyarakat, berapa banyak masyarakat yang akan dirugikan karena tidak terlayani ?, kalau dia pengajar /dosen, akan berapa banyak murid atau mahasiswanya yang akan dirugikan dan kehilangan jam belajar atau jam kuliahnya? belum lagi kerugian yang dialami oleh instansi atau perusahaan dimana yang bersangkuta bekerja dan tetap harus digaji setiap Bulannya. Inilah yang disebut conflict of interest atau pertentangan kepentingan. Ibadah Haji yang kedua dan seterusnya serta ibadah Umrah tentu saja termasuk ibadah utama di sisi Allah, akan tetapi kalau ibadah yang hukumnya SUNAH ini dilaksanakan dengan meninggalkan yang WAJIB, maka akan jadi tidak bernilai. Hal inilah yang diingatkan Rasulullah kepada kita semua didalam Haditsnya ; Innamal muslimuuna ‘inda syuruutihim, seorang muslim itu terikat dengan perjanjian yang telah dibuatnya, kalau hal ini dilanggar, tentu saja dia telah berkhianat terhadap amanah yang dia pegang, dan melanggar syari’at agama, dan akan menjadi dosa besar, dan Allah swt juga telah mengingatkan di dalam FirmannNYA Al-Qur’an surat al-Anfal ayat 27 :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَخُونُواْ اللّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُواْ أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ {27
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.
Satu hal yang lebih penting lagi kita ingat adalah: kalau korupsi harta atau uang, masih ada kemungkinan atau harapan untuk bisa mengembalikan harta atau uang yang dikorupsi, tetapi kalau korupsi waktu bagaimana cara mengembalikan kerugiannya, tentu sangat sulit.
Mudah-mudaan ada manfa’at.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H