Mohon tunggu...
Sudramono Manihuruk
Sudramono Manihuruk Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Menulis akan berhasil ketika ada nilai yang ditinggalkan bagi si pembaca....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Meski Langit Tak Berbintang

24 Oktober 2011   00:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:35 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="alignleft" width="320" caption="Google.com"][/caption] Gaun Merah mengkilap membalut tubuh mungil dan indahnya. Febe malam itu memang terlihat sangat cantik, rambut panjangnya terurai rapi dan hitam mengkilap. Tidak seperti biasanya kali ini dia melepaskan kacamata ber-frame Pink yang biasa menemani hari – harinya. Dia malam itu memakai kontak lensa biru menjadikan matanya begitu indah malam itu. Senyum indah menawan, seperti itulah Febe yang selalu dirindukan oleh teman – teman yang ada di sekelilingnya. Tidak sedikit pria yang akhirnya menaruh hatinya pada Febe meski sering diantara mereka akhirnya memutuskan mundur pelan – pelan karena Febe terlalu sempurna untuk mereka miliki.

Mobil hitam dan mewah kini tepat berhenti di samping Febe saat Febe sedang berdiri di teras sebuah kafe yang malam itusudah tutup karena sudah larut. Seorang pria dengan stelan santai keluar dari mobil menggandeng tangan Febe masuk ke dalam mobil. Pria berusia 30 tahun itu terpaksa keluar dari mobil dengan payung di tangannya menjemput Febe ke teras karena memang malam itu hujan cukup deras membasahi bumi.

“sudah berapa lama kamu berdiri di situ” tanya pria itu sembari dia mulai menjalankan mobil hitam itu meninggalkan kafe.

“baru aja aku keluar dari ruang ganti. Tidak butuh waktu lama kok aku menunggumu” Febe memandang manis pria itu.

Mobil mulai melaju kencang. Pria yang bernama Rizal itu sepertinya tidak sabar lagi membawa Febe ke sebuah tempat yang sudah dipersiapkannya malam itu. Malam itu menjadi spesial buat Rizal karena ini kali pertamanya membawa Febe ke sebuah tempat yang sangat romantis, sebuah taman kecil di sudut kota Jakarta yang dipenuhi dengan cahaya lampu yang indah dan di sekelilingnya terdapat bunga warna – warni yang sangat menambah keindahan. 2 minggu sejak mereka jadian baru kali ini Rizal punya waktu yang baik membawa Febe ke tempat itu. Febe memang hampir tiap malam harus bekerja di sebuah kafe di daerah Kemang. Febe adalah penyanyi yang hampir tiap malam ada untuk menghibur pengunjung kafe yang laris dengan pengunjung itu. Rizal seorang pengusaha muda yang juga sibuk dan hampir tiap harinya dia hanya punya waktu tidak kurang dari 3 jam untuk berduaan bersama Febe. Namun, itu tidak pernah menghalangi cinta mereka. Mereka selalu romantis dalam segala kondisi apapun. Komitmen sudah mengikat dua hati ini.

“hmm… sayang sekali ya malam ini hujan…” Rizal seperti baru menyadari kalau malam itu hujan cukup deras.

“tapi tidak mengubur rencana kamu kan?” Febe seakan menangkap sebuah kekecewaan di hati Rizal karena hujan malam itu. Namun, Febe berusaha untuk membuat Rizal tetap menikmati malam itu.

“tapi aku sudah janji membawa kamu ke Taman itu. Itu artinya kita akan bermandikan hujan kalau rencana aku tetap jalan”

“masalah? Hmm… bukannya itu menjadi sebuah hal menarik?” Febe seperti tidak mau membatalkan rencana yang sudah dipersiapkan Rizal malam itu.

Mobil berhenti tiba – tiba. Suasana hening sejenak, mata mereka seperti sedang beradu. Rizal begitu menatap tajam wanita cantik yang ada di depannya malam itu. Ada sekitar 2 menit mereka saling memandang tanpa ada kejadian lain yang tiba – tiba muncul. Febe seakan menikmati tatapan hangat dari Rizal. Selang beberapa waktu Febe memutuskan melepas sepatu hak tingginya dan dengan segera membuka mobil berlari keluar. Sepertinya Febe sangat menikmati malam itu, dia keluar dari mobil sambil menari – nari tanpa memikirkan tubuh dan rambutnya yang sudah begitu kuyup. Rizal masih terdiam melihat Febe. Rizal seperti tidak sanggup berbuat apa – apa, dia seperti terhipnotis tak sanggup bergerak melihat tubuh seksi Febe kuyup dibalut gaun merah dan semakin membentuk tubuh mungil yang begitu indah. Rizal seperti sedang melihat sorga di depan matanya.

“kamu mau tetap mematung disitu?” teriak Febe dari kejauhan seakan membuyarkan konsentrasi Rizal.

“hmm… ya… oh… sebentar” Rizal seperti kaget dan dengan cepat dia keluar dari mobil.

Rizal berlari ke arah taman. Taman yang menjadi tempat impiannya berduaan, bercinta dengan kekasihnya. Itu selalu dikhayalkannya setiap saat sebelum dia memiliki Febe. Dia berhenti dan kini tepat ada di depannya wanita bertubuh indah , berambut panjang yang sudah kuyup. Tubuh indah Febe terbentuk indah karena hujan yang memandikan dirinya malam itu.

“sebentar… ada yang aku lupakan” Rizal kembali ke arah mobil dan membuka pintu kiri mobil. Dia menghidupkan musik, sebuah lagu yang sangat romantis. Lagu berjudul “Menari” dari Maliq menjadi backsound malam itu. Rizal langsung menarik tangan lembut Febe, kini tubuh indah itu sudah menempel di tubuh kekar Rizal. Kedua telapak tangan mereka bersentuhan, jari jemari mereka saling mengisi ruang kosong antara jari. Sambil menari – nari mereka saling menatap. Kini tatapan itu sangat romantis , mereka berdua seperti sedang berada di negeri khayalan. Terbang tinggi dan dikelilingi lampu – lampu taman yang memancarkan cahaya warna kemilau.

“malam ini sangat indah sekali, walaupun hujan dan tak berbintang tapi ini sebuah malam terindah yang pernah aku miliki” Febe kini dalam pelukan hangat Rizal.

“sayang, malam ini memang tak berbintang karena bintangnya ada di mata kamu” Rizal masih tetap berusaha menyajikan kata – kata romantis menghiasi malam itu.

Dengan tersipu – sipu Febe semakin erat dalam pelukan hangat Rizal. Mereka berdua sangat menikmati malam itu. Mereka seperti sedang terhanyut dalam sebuah lautan asmara yang tak terbendung.

[caption id="" align="alignleft" width="283" caption="Google.com"][/caption] Lagu tiba – tiba terhenti suasana menjadi hening kembali. Mata mereka semakin tajam menatap satu sama lain. Dalam pelukan yang hangat Rizal seperti ingin menghadirkan Susana semakin romantis, dia mulai memegang wajah indah Febe dalam sebuah gapaian yang hangat. Bibir itu seperti akan menuju peraduannya. Kini tepat di depan bibir manis Febe. Tapi dengan cepat jari telunjuk Febe menyentuh bibir Rizal dan berlari seperti mengajak Rizal untuk mengejarnya. Rizalpun dengan segera mengikuti kemauan wanita cantik itu. Hujan yang deras dan lampu – lampu taman yang begitu indah menambah suasana semakin romantis. Mereka berkejar – kejaran tak perduli dengan tubuh mereka yang sudah sangat basah. Sambil berlari mengejar Febe, Rizal mulai melepas satu per satu kancing bajunya dan melepaskan kemeja putih yang ia kenakan malam itu. Ia sangat menikmati malam itu dengan tubuh kekarnya.

Tangan Rizal dengan segera menarik tangan Febe dan kini Febe seperti tidak sanggup lagi bergerak. Rizal dengan segera memeluk erat tubuh mungil itu dan seperti tidak mau melepaskannya lagi. Febe pun menyambut dengan dekapan hangat membalut tubuh kekar Rizal.

“I love you…” kalimat itu akhirnya keluar juga dari mulutnya Rizal.

“ I love you too…” Febe dengan cepat menjawab tapi dengan nafas masih terpatah – patah.

Susana semakin hangat. Tangan Rizal kini membelai lembut rambut panjang Febe. Wajah Febe kini tepat di tubuh kekarnya Rizal. Tak berselang lama wajah mereka kini saling menatap kembali. Bibir merah Rizal seakan tidak tahan lagi mendarat di bibir sexynya Febe. Kedua mata mereka terpejam. Bibir itu sekarang sudah sangat berdekatan disambut dengan pelukan hangat dan mesra.

***

“Pa… papa lagi mikirin apa?” suara lembut seorang gadis remaja terdengar sayup di telinga Pria 50 Tahun itu. Dia begitu kaget dan beranjak dari lamunannya pagi itu. Sebuah foto yang ada di tangannya bahkan terjatuh ke lantai.

“Papa pasti mikirin ibu lagikan? Papa pasti mengingat kenangan bersama ibu dulu?” Mitha seperti sudah menangkap apa yang sedang ada di pikiran Rizal, papanya saat itu.

“papa tidak sengaja menemukan foto ini tadi waktu papa buka lemari. Ini foto kami berdua di taman tempat dimana biasa kami menghabiskan malam dulu waktu masih pacaran.”

“Tapi papa tidak seharusnya seperti ini tiap hari. Papa selalu saja merenung. Apa papa belum merelakan kepergian ibu?” Mitha menatap tajam wajah papanya saat itu.

“Nggak kok… Papa sudah merelakan kepergian ibumu. Papa hanya mengenang kembali kisah cinta Papa dulu sama ibu kamu. Mungkin itu bisa membuat papa kembali bangkit.”

“Nah gitu dong… Papa harus bangkit lagi. ibu memang sudah pergi untuk selamanya tapi tulusnya cinta Papa dan Ibu akan selalu terkenang dan seharusnya menjadi sebuah semangat baru buat papa menjalani hari – hari ke depan” Mitha sangat senang dengan wajah Papanya yang sudah mulai ceria waktu itu. Ada sebuah semangat baru di wajah Rizal beberapa hari setelah kepergian Febe, wanita yang sudah menemaninya selama berpuluh – puluh tahun.

Kematian telah memisahkan mereka tapi tulusnya cinta akan selalu menghadirkan semangat baru bagi yang ditinggalkan. Menariterus meski hujan rintik turun, melayang – layang terus meski langit tanpa bintang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun