Selain tingkat pusat, apresiasi terhadap guru sebenarnya bisa dilakukan di tingkat daerah dan sekolah. Bentuk apresiasi pastinya menyesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing. Bukan saja tentang masa pengabdian, melainkan juga prakarsa perubahan yang telah dilakukan. Jika rutin dilakukan bukan tidak mungkin guru akan berbuat lebih baik lagi. Terbayang, kan? Tidak ada apresiasi saja terus tergerak, bergerak, dan menggerakkan, apalagi ada. Iya, kan?Â
Penghargaan terhadap guru saat Hardiknas tidak saja melalui pelibatan sebagai peserta upacara bendera. Namun, lebih dari itu. Bisa saja pihak pemerintah membuka ruang diskusi dengan guru setelah upacara. Pemerintah daerah bisa juga mengagendakan pertemuan dengan perwakilan guru dari organisasi profesi atau komunitas guru.Â
Hal ini akan menjadi apresiasi tersendiri bagi guru. Setidaknya merasakan bahwa keberadaannya dianggap oleh pemerintah daerah. Selain itu, ada perasaan dihargai perjuangannya sebagai garda terdepan perubahan pendidikan.Â
Namun, sayangnya hal itu hampir mustahil. Mayoritas daerah melaksanakan upacara bendera peringatan Hardiknas hanya sekadar seremonial. Sama sekali tidak meninggalkan kesan mendalam bagi guru. Padahal jika boleh dikatakan, Hardiknas adalah harinya para pendidik.Â
Memang seistimewa apa, sih, seorang guru itu sampai-sampai ingin diistimewakan oleh pemerintah daerah? Memang apa kontribusi guru kepada daerah? Kalau secara langsung mungkin kontribusi guru terhadap kemajuan daerah tidak terlihat. Bagaimanapun juga guru, kan, bukan profesi politis. Jadi, kalau ditanya kontribusi yang menguntungkan pemerintah daerah secara finansial, ya, jawabannya mungkin tidak ada.Â
Namun, kontribusi besar akan terlihat ketika berbicara tentang rapor pendidikan. Jika rapor pendidikan sekolah kurang bagus, gurulah yang dianggap kurang optimal dalam mendidik murid untuk cakap literasi dan numerasi. Namun, jika rapor pendidikan sekolah bagus, ya, tentu yang pertama kali mendapat nama adalah sekolah dan pemerintah daerah. Bukan guru. Sekali lagi, bukan guru.Â
Sama halnya kalau murid berprestasi atau bermasalah. Murid berprestasi ditanya siapa orang tuanya. Namun, jika murid bermasalah, guru menjadi kambing hitam. Guru dianggap tidak mampu mengajar dan mendidik dengan baik.Â
Momentum Hardiknas seharusnya bisa menempatkan guru sebagai sosok yang layak dibanggakan dan dimuliakan. Adanya sedikit saja apresiasi tentu akan menjadi obat penyembuh kelelahan beraktivitas. Selain itu akan menjadi peneduh setelah 'dijemur' selama mengikuti upacara bendera. Terlebih mereka telah rela 'mengorbankan' hak anak untuk memperoleh pendidikan karena sekolah diliburkan.
Jika ini dilakukan oleh daerah tentu tema Hardiknas 2023, bergerak bersama semarakkan merdeka belajar tidak sekadar slogan. Namun, akan menjadi bukti kolaborasi yang kuat semua aktor pendidikan. Guru menyemarakkan melalui pembelajaran yang memerdekakan. Pemerintah daerah menyemarakkan melalui wujud penghargaan nyata terhadap kinerja guru dalam mewujudkan merdeka belajar di sekolah.Â
Sekali lagi, guru tidak haus penghargaan. Dihargai atau tidak, guru tetap saja akan melaksanakan tugasnya dengan sebaik mungkin. Namun, dalam hal ini SKPD dan pemerintah daerah harusnya peka terhadap kontribusi guru selama ini untuk kemajuan pendidikan daerah. Semoga ke depannya akan ada titik temu antara keinginan guru dengan kepekaan daerah terkait apresiasi ini.Â