Mohon tunggu...
Sudomo
Sudomo Mohon Tunggu... Guru - Guru Penggerak Lombok Barat

Trainer Literasi Digital | Ketua Komunitas Guru Penggerak Lombok Barat | Duta Teknologi Kemendikbudristek 2023 | Penulis Buku

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Sepucuk Surat untuk Kampung Halaman yang Hangat

30 April 2023   00:05 Diperbarui: 30 April 2023   00:01 2125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hamparan sawah saat memasuki kampung halaman (Foto: Dokumentasi Pribadi) 

Untukmu, 

Kampung Halamanku

Ini adalah surat pertamaku untukmu setelah jarak enggan bersekutu dengan waktu. Hingga akhirnya tak kunjung lahir sebuah temu. Meskipun dalam ingatanku, hadirmu seolah tak mengenal kata jemu. Kedamaianmu tak lelah menggoda kalbu. Kehangatanmu tak bosan menggoyahkan hasrat rindu tak menentu. 

Bukan kali pertama kau menjadi cerita. Kali ini menjadi tahun ketiga hadirmu hanya semu semata. Sebab kendala memaksa keelokanmu tetap berada jauh di mata. Namun, tidak demikian halnya dengan asa. Selalu ada siap merenda kembali kisah lama. Dalam pelukanmu, kampung halaman hingga waktunya kelak tiba. 

Di sini, aku masih merasa sunyi. Meskipun ada keluarga kecil telah mengisi. Segala bujuk rayu pada rindu seolah belum mampu menuntaskan nyeri. Semakin hari mengimpit dari segala sisi. Termasuk ingatan tentangmu, kampung halamanku yang asri. Masihkah kau layak menjadi tujuan pulang nanti? 

Aku berharap kau tak berubah. Tetap hangat menyambutku yang belum mampu menjadikanmu mewah. Selalu siap menjadi tempat persembunyian penat yang ramah. Jadi, tolong untuk tidak sempatku jangan sampai membuatmu marah. Menujumu aku pasti akan tetap melangkah. 

Ilustrasi hamparan sawah saat memasuki kampung halaman (Foto: Dokumentasi Pribadi) 
Ilustrasi hamparan sawah saat memasuki kampung halaman (Foto: Dokumentasi Pribadi) 

Teruntuk jalanmu yang kian tertata rapi, tak lelah aku menapaki. Sejak dulu saat mulai belajar jalan hingga saat ini. Jalananmu yang setia dalam gulita saat masa kecil menjadi saksi. Saksi bagi amarah ibu karena aku terlambat pulang bermain tak sesuai janji. Waktu pulang yang kadang lewat senja telah pergi. 

Teruntuk sungai kecilmu yang kini makin menarik hati. Menjadi teman sejati mengelabui kehausan saat puasa di siang hari. Riak kecil sungaimu adalah karib sepulang sekolah bahkan baju belum diganti. Keseruan bersama teman yang abadi dalam ingatan hingga kini. 

Ilustrasi sungai di kampung halaman yang menyimpan kenangan masa kecil (Foto: Dokumentasi Pribadi) 
Ilustrasi sungai di kampung halaman yang menyimpan kenangan masa kecil (Foto: Dokumentasi Pribadi) 

Teruntuk sawahmu yang luas terhampar di sebelah kampung. Itulah pelajaran Biologi yang kupelajari secara langsung. Hampir seminggu sekali aku diperkenalkan cara mengelola dan merawat padi. Darinya saat ini aku juga bisa belajar tentang ilmu padi yang merunduk saat makin berisi. 

Ilustrasi sawah di kampung halaman yang indah (Foto: Dokumentasi Pribadi) 
Ilustrasi sawah di kampung halaman yang indah (Foto: Dokumentasi Pribadi) 

Teruntuk deretan rumah tetangga yang saat ini menjelma berbagai warna. Begitulah aku menemukan cinta dari semuanya. Aku juga belajar bagaimana menghormati perbedaan yang ada. Tidak lupa memahami toleransi kepada sesama. 

Ilustrasi deretan rumah di kampung halaman (Foto: Dokumentasi Pribadi) 
Ilustrasi deretan rumah di kampung halaman (Foto: Dokumentasi Pribadi) 

Untuk sementara tetaplah menjadi persinggahan terakhir ayahku yang nyaman. Tetaplah menjadi penjaga sisa hidup ibuku dalam rasa aman. Jangan lelah memeluk saudaraku penuh kehangatan. Jangan pula menyerah menjadi sumber kehidupan keluarga besarku yang berlimpah kebahagiaan. 

Tenang. Kelak tiba waktunya aku akan mengunjungi dengan senang. Untuk menemui ingatan masa lalu yang takkan lekang. Untuk menjumpai kebahagian masa kecil yang selalu terkenang. Bahkan seringkali menjadi alasan air mata tergenang. 

Sabar. Nanti aku akan pulang membawakan kabar. Tentang hal-hal baik yang layak disebar. Perihal mimpi-mimpi yang berhasil diraih dengan sabar. Tidak terkecuali cerita-cerita rantau penuh bumbu sehingga tidak hambar. Selain itu, juga kisah-kisah baru kehidupan yang tak mampu dijelmakan menjadi gambar. 

Sepucuk surat ini menjadi bukti bahwa ada kenangan yang selalu teringat. Bukan saja tentangmu dengan segala kedamaian yang hangat. Melainkan juga tentang orang tua, keluarga, dan kerabat. Terlebih tahun ini tangan tak sempat berjabat. Hanya maaf dan doa agar semua tetap sehat. 

Terima kasih telah mengenalkan arti perjuangan. Terima kasih pula telah mengajarkan makna ketabahan. Maaf untuk belum bisa turut melakukan perubahan. Maaf juga untuk keterbatasan diri dalam menjadikanmu lebih bersaing dalam kemajuan. 

Mungkin belum untuk saat ini. Namun, aku yakin kelak suatu hari aku akan bisa mewujudkan mimpi. Menjadikanmu sebagai kampung literasi. 

Tetaplah di situ. Tunggulah aku. Biarkan kesempatan baik bersekutu dengan waktu. Lalu izinkan aku kembali menjadi salah satu bagian terbaik darimu. 

Untukmu, kampung halamanku. Aku merindukanmu. Tanpa pernah kau minta sekalipun aku akan tetap melakukan itu. 

Percayalah! Tidak akan ada keelokan kota yang bisa membuat cintaku padamu berubah. Tidak akan ada pula godaan kampung lain yang melunturkan hasratku memajukanmu. 

Dariku, 

Salah satu keping puzzle keindahanmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun