Untukmu,Â
Kampung Halamanku
Ini adalah surat pertamaku untukmu setelah jarak enggan bersekutu dengan waktu. Hingga akhirnya tak kunjung lahir sebuah temu. Meskipun dalam ingatanku, hadirmu seolah tak mengenal kata jemu. Kedamaianmu tak lelah menggoda kalbu. Kehangatanmu tak bosan menggoyahkan hasrat rindu tak menentu.Â
Bukan kali pertama kau menjadi cerita. Kali ini menjadi tahun ketiga hadirmu hanya semu semata. Sebab kendala memaksa keelokanmu tetap berada jauh di mata. Namun, tidak demikian halnya dengan asa. Selalu ada siap merenda kembali kisah lama. Dalam pelukanmu, kampung halaman hingga waktunya kelak tiba.Â
Di sini, aku masih merasa sunyi. Meskipun ada keluarga kecil telah mengisi. Segala bujuk rayu pada rindu seolah belum mampu menuntaskan nyeri. Semakin hari mengimpit dari segala sisi. Termasuk ingatan tentangmu, kampung halamanku yang asri. Masihkah kau layak menjadi tujuan pulang nanti?Â
Aku berharap kau tak berubah. Tetap hangat menyambutku yang belum mampu menjadikanmu mewah. Selalu siap menjadi tempat persembunyian penat yang ramah. Jadi, tolong untuk tidak sempatku jangan sampai membuatmu marah. Menujumu aku pasti akan tetap melangkah.Â
Teruntuk jalanmu yang kian tertata rapi, tak lelah aku menapaki. Sejak dulu saat mulai belajar jalan hingga saat ini. Jalananmu yang setia dalam gulita saat masa kecil menjadi saksi. Saksi bagi amarah ibu karena aku terlambat pulang bermain tak sesuai janji. Waktu pulang yang kadang lewat senja telah pergi.Â
Teruntuk sungai kecilmu yang kini makin menarik hati. Menjadi teman sejati mengelabui kehausan saat puasa di siang hari. Riak kecil sungaimu adalah karib sepulang sekolah bahkan baju belum diganti. Keseruan bersama teman yang abadi dalam ingatan hingga kini.Â