Pasti bisa! Begitu kira-kira jawabannya. Jawaban penuh keyakinan yang diikuti dengan aksi nyata. Bukan saja di sekolah, melainkan juga di lingkungan masyarakat.Â
Bagaimana caranya? Guru penggerak pasti tidak akan kesulitan menemukan cara jitu. Bagaimanapun juga guru penggerak terlahir memiliki nilai sebagai guru penggerak.Â
Dalam hal ini adalah nilai inovatif. Nilai ini diyakini mampu membuat guru penggerak memiliki kemampuan memunculkan gagasan-gagasan baru yang tepat guna. Tentu menyesuaikan situasi dan kondisi serta permasalahan yang ada.Â
Kondisi Buta Aksara di Indonesia
Buta aksara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai tidak dapat membaca dan menulis. Hal ini bisa diartikan lebih luas sebagai ketidakmampuan untuk membaca dan menulis.Â
Data Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada tahun 2021 sebesar 3.96% penduduk berusia 15 tahun ke atas di Indonesia buta aksara.Â
Angka ini menunjukkan penurunan dibanding tahun sebelumnya, yaitu sebesar 4%. Hal ini menunjukkan tren penurunan selama satu dekade belakangan.Â
Angka buta aksara berdasarkan wilayah, ditempati Papua dengan sebesar 21,11% penduduk dewasa buta aksara. Selanjutnya diikuti wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) sebesar 12,61% penduduk dewasa buta aksara.Â
Hal ini tentu menjadi perhatian serius semua pihak. Salah satunya adalah guru penggerak. Bagaimana bisa? Simak uraian berikut untuk menemukan jawabannya.Â
Literasi Guru Penggerak
Sebagai agen perubahan pendidikan di sekolah, guru penggerak telah  berhasil. Beragam inovasi diciptakan demi mewujudkan pembelajaran yang memerdekakan. Berbagai ide dieksekusi dalam bentuk program berdampak pada murid.Â
Inovasi dan program tersebut terkait dengan literasi. Program literasi yang digalakkan di sekolah pun beragam. Ada yang menggaungkan literasi digital. Ada pula yang menggemakan literasi berdiferensiasi. Namun, banyak pula yang melalui pembiasan membaca sebelum mulai pembelajaran.Â
Rasanya sah-sah saja. Apa pun bentuk kegiatan literasi yang dilaksanakan semata-mata demi menumbuhkan rasa cinta literasi sejak dini. Bahkan jika memungkinkan melahirkan sosok murid sebagai pemimpin literasi.Â
Hal-hal terkait literasi memang merupakan isi seksi di dunia pendidikan. Terlebih saat melihat rapor pendidikan yang salah satunya terkait kemampuan literasi. Berbagai program pun dijalankan untuk meningkatkan indeks literasi murid di sekolah.Â
Namun, ada satu hal yang mungkin dilupakan guru penggerak sebagai agen perubahan. Guru penggerak cenderung terlalu asyik mengembangkan program unggulan di sekolah.Â
Seringkali guru penggerak lupa untuk mewujudkan kepemimpinan murid dalam sebuah program. Padahal sejatinya ini adalah ruh dari program berdampak pada murid.Â
Kepemimpinan murid dalam program literasi harus digenjot dari sekarang oleh guru penggerak. Nantinya banyak hal positif bisa diambil dari guru penggerak jika berhasil menerapkan ini. Salah satunya adalah menurunkan angka buta aksara.
Mengapa Harus Kepemimpinan Murid dalam Literasi?Â
Kepemimpinan murid adalah salah satu strategi yang bisa dilakukan oleh guru penggerak. Adanya kepemimpinan murid akan melahirkan calon pemimpin literasi.Â
Murid akan tumbuh menjadi sosok yang mencintai literasi. Bukan saja di lingkungan sekolah, melainkan juga lingkungan sekitarnya.Â
Hal ini akan memberikan dampak positif pada diri murid tersebut. Selain itu, juga bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Kepemimpinan murid dalam literasi akan membuat murid selalu tergerak mengembangkan literasi.Â
Namun, nilai ini tidak bisa tumbuh begitu saja. Peran guru penggerak adalah menumbuhkannya. Melalui keterlibatan murid dalam program literasi sekolah merupakan salah satu cara.Â
Bagaimana Strateginya?Â
Sebagai bagian dari program Merdeka Belajar, guru penggerak secara tidak langsung memiliki tanggung jawab turut mengentaskan buta aksara. Salah satunya melalui kepemimpinan murid dalam literasi sekolah.Â
Program ini paling cocok untuk siswa tingkat SMA sederajat. Namun, tidak menutup kemungkinan bisa diterapkan di jenjang yang lebih bawah. Strategi yang bisa dilakukan di antaranya adalah sebagai berikut.Â
Pertama, guru penggerak fasilitator desa
Guru penggerak menjalin koordinasi dengan pemerintah desa terkait rencana program yang akan dijalankan. Terkait juga dengan data buta aksara desa setempat.Â
Koordinasi dilanjutkan dengan kolaborasi dalam pelaksanaan program literasi. Guru penggerak membuka peluang bentuk-bentuk kolaborasi yang bisa dilakukan dengan pihak desa. Tindak lanjut ini dalam bentuk kerjasama dalam program desa terkait pemberantasan buta aksara.
Peran guru penggerak sebagai fasilitator desa adalah menjadi bagian program pemberantasan buta aksara di desa. Sebagai fasilitator, guru penggerak menggerakkan kader desa untuk terlibat aktif dalam program pemberantasan buta aksara. Termasuk di dalamnya adalah pelibatan murid setempat dalam program.Â
Kedua, pembekalan siswa di sekolah
Pembekalan dilakukan guru penggerak secara rutin di sekolah. Kegiatan dilaksanakan bagi siswa yang memiliki minat besar dalam literasi. Bentuk pembekalan yang dilakukan berupa pelatihan kepemimpinan dalam literasi.Â
Guru penggerak memberikan kesempatan kepada siswa untuk memimpin teman-temannya. Terutama temannya yang membutuhkan pendampingan dalam membaca. Misalnya, teman-teman yang memiliki minat baca rendah.Â
Pembekalan lainnya terkait strategi mengajar orang dewasa. Hal ini sebagai persiapan saat mereka terjun ke lapangan nantinya. Namun, langkah paling penting adalah menggerakkan siswa-siswa tersebut agar terbuka hatinya merancang program literasi di desa. Program ini bermanfaat sebagai pancingan bagi warga masyarakat desa.Â
Ketiga, lapak baca desa
Ini merupakan strategi lanjutan. Kegiatan dilaksanakan oleh siswa yang telah dibekali kepemimpinan literasi. Secara rutin mereka akan membuka lapak baca di desanya masing-masing.Â
Tujuannya untuk mempromosikan budaya membaca kepada teman-temannya. Selain itu, dengan pendampingan guru penggerak yang telah berkolaborasi dengan pihak desa akan mendorong orang dewasa yang buta aksara untuk mengunjungi lapak baca tersebut.Â
Lapak baca bisa dibuat semenarik mungkin sehingga memungkinkan orang dewasa terlibat di dalamnya. Secara perlahan, ini akan menjadi pintu masuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membaca.Â
Keempat, siswa merdeka mengajar
Strategi ini dilakukan jika dirasa siswa telah siap mengajar orang dewasa buta aksara. Bentuk pembelajaran yang dilakukan menyesuaikan dengan tingkat pemahaman orang dewasa yang mau belajar.Â
Adanya kedekatan hubungan emosional akan memudahkan siswa diterima oleh orang dewasa. Keberterimaan ini akan mampu membuat orang dewasa secara ikhlas belajar membaca dan menulis.Â
Keempat strategi tersebut jika dijalankan secara konsisten bukan tidak mungkin akan meningkatkan kemampuan orang dewasa dalam membaca dan menulis. Artinya sedikit banyak memberikan peran terhadap upaya pemberantasan buta aksara.Â
Semoga bermanfaat.Â
Salam Bloger Penggerak
Sudomo
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI