Selanjutnya pada alur Demonstrasi Kontekstual, peserta diminta menuliskan 5 tema yang disukai dan dikuasai. Tujuannya selain mengetahui pemahaman peserta terkait unsur pembangun cerita fiksi, sekaligus sebagai bekal dasar menulis cerita fiksi. Peserta pun menuliskannya di blog pribadi masing-masing.
Pada alur Elaborasi Pemahaman, kelas berubah menjadi lebih hidup. Pada alur ini peserta diberikan kesempatan menuliskan pertanyaan-pertanyaan terkait hal-hal yang ingin diperdalam lagi kaitannya dengan materi. Beragam pertanyaan pun muncul. Mengingat keterbatasan waktu, baru beberapa pertanyaan yang bisa dijawab. Guna menuntaskan yang tertinggal, tetapi enggan ditinggalkan, narasumber pun memutuskan menjawab pertanyaan melalui konten di Kompasiana.
Berikut beberapa pertanyaan tertinggal yang enggan ditinggalkan.
(1)Â
Anisa:Â "Apakah pada cerita fiksi perlu daftar pustaka? Karena sepemikiran saya dalam cerita fiksi berisi cerita khayalan."
Mazmo: "Tidak perlu, Bu Anisa."
(2)
Rahman:Â "Menulis fiksi yang bagus alur cerita harus maju mundur apa cukup alur maju saja. Terkadang, ide kisah nyata dituangkan dalam cerita fiksi mengalami kesulitan. Terutama saya susah memerankan tokoh yang sesungguhnya dalam cerita. Juga ending cerita terkadang kurang memuaskan. Mohon pencerahan. Terima kasih."
Mazmo:Â "Bebaskan saja, Pak Rahman. Sesuaikan pemilihan alur dengan yang disukai dan kuasai agar mudah dituliskan. Belajar memfiksikan kisah nyata bisa diawali dengan menulis saja apa yang ingin ditulis. Ganti nama tokoh, sesuaikan setting tempat, dan tambahi bumbu penyedap berupa konflik dan tantangan."
(3)Â
Candra: "Untuk cerita fiksi tentunya melihat dari para pembacanya bukan? Mana yang lebih banyak antara fiksi cerita anak (misal, fabel) atau fiksi bertema remaja atau kekinian dan di mana tingkat kesulitan yang lebih besar?"