Perlahan suara-suara itu menghilang. Satu per satu meninggalkanku sendirian. Kali ini aku berkarib dengan suara kipas angin. Selain itu, deru pelan suara komputer menemani. Layar komputer terlihat terang. Di depannya, aku terpaku menatap sederet kata yang telah kurangkai. Pandanganku kosong. Jemariku masih terdiam di atas papan ketik. Deretan huruf tidak mampu menggoda anganku untuk kembali menarikan jemari. Aku memilih menjadi patung.Â
Sayup terdengar langkah kaki mendekat. Setelah itu suara pintu menggesek lantai terdengar didorong. Tak lama kemudian seraut wajah terlihat jelas di pandangan. Dia adalah Bu Ayu, rekan sejawat di sekolahku. Raut wajahnya terlihat berbeda dari biasanya. Kali ini wajahnya terlihat kusam.Â
"Aku malas belajar menulis fiksi!"
Kalimat itu membuatku sedikit mengangkat bahu. Aku tahu selama ini dia memang kurang suka menulis. Namun, tidak pernah seperti ini sebelumnya. Aku pun sedikit menggeser duduk saat dia duduk di depan mejaku. Kali ini aku bisa melihat wajahnya dengan jelas.Â
"Bu Ayu kenapa? Kok tiba-tiba ngomong kayak gitu?" tanyaku sambil sedikit menggeser posisi layar komputer.Â
Perempuan paruh baya itu hanya menggelengkan kepala. Sesaat setelahnya dia menunduk. Aku melihatnya dia memainkan pulpen yang dipegangnya. Cukup lama tidak ada suara tercipta. Masing-masing sibuk menjaring pikirannya. Hingga akhirnya, pecahlah suaranya.Â
"Gimana, sih, caranya nulis fiksi, Pak Mo?" dia bertanya sambil mengangkat wajahnya.Â
Kedua ujung bibirku tertarik ke dua arah berbeda demi mendengar keinginannya. Aku sedikit mencondongkan badan ke arahnya. Sambil menangkupkan dua tanganku dan menahan dagu, aku mulai merangkai kata.Â
"He he he… tadi katanya malas belajar nulis fiksi. Kok sekarang pengin belajar nulis? He he he… ." kataku sambil menarik sedikit badanku ke belakang.Â
Perempuan berambut ikal sebahu itu akhirnya memperlihatkan deretan giginya yang rapi. Sesaat kemudian dia mulai membuka mulutnya.Â