Pekerjaan Rumah (PR) adalah momok. Begitu yang dirasakan seorang generasi X. PR bagi generasi X adalah menu utama sehari-hari. Terlebih kehadiran PR ini selalu beriringan dengan hukuman. Bayangkan saja! Seorang generasi X usia Sekolah Dasar (SD) harus mulai belajar mandiri menyelesaikan PR. Ya bagaimana, orang tua saja masih banyak yang tidak sekolah. Apalagi yang tinggal di desa. Banyak orang tua yang bahkan tidak peduli dengan pendidikan anaknya. Apalagi sekadar PR. Namun, kondisi itu justru membuat anak SD generasi X terlihat berusaha mandiri mengerjakan PR hanya bermodal referensi buku paket.Â
Saat ini, PR tengah menjadi perbincangan hangat. Pro dan kontra menjadi bumbu dalam diskusi tentangnya. Masing-masing memiliki argumen yang benar menurut versinya. Tidak terkecuali saya. Ada dua sisi dalam diri saya yang berlawanan. Dari sisi seorang guru, saya tidak ingin membebani siswa dengan PR atau tugas rumah setiap selesai satu pertemuan. Saya memberikan tugas atau PR hanya dalam situasi tertentu. Setelah selesai satu materi, misalnya.Â
Bagaimana agar siswa tidak terbebani? Saya membiasakan diri melakukan diferensiasi konten, proses, dan produk. Diferensiasi konten saya lakukan menyesuaikan dengan tingkat pemahaman siswa. Dalam hal ini saya memberikan tugas atau PR dengan mengelompokkan soal menjadi 3, mudah, sedang, dan sulit. Tujuannya adalah menyesuaikan dengan tingkat kemampuan murid. Murid dengan tingkat pemahaman rendah mengerjakan soal dengan tingkat kesulitan mudah. Demikian dengan murid yang memiliki tingkat penguasaan materi sedang dan tinggi.Â
Aspek proses, saya tekankan pada pilihan mengerjakan secara berkelompok atau individu. Hal ini agar siswa tidak terbebani dengan PR atau tugas yang saya berikan. Mereka bisa mengembangkan pilihan sesuai tingkat kemampuannya. Sedangkan, aspek produk titik beratnya pada bentuk sajian tugas atau PR sesuai minat murid. Dengan memberikan pilihan ini, murid tidak lagi akan menjadikan PR sebagai beban. Terlebih adanya kesepakatan jangka waktu penyelesaian PR atau tugas. Hal ini penting untuk menjamin semua murid mengerjakan tugas atau PR.Â
Boleh juga siswa dibebaskan PR. Namun, jika sesuai kesepakatan, maka siswa akan bertanggung jawab untuk sungguh-sungguh belajar di sekolah. Selain itu, ada kesepakatan siswa siap belajar mandiri di rumah. Tujuannya agar proses pembelajaran juga terjadi di rumah meskipun tanpa PR.Â
Repot? Pastinya. Banyak hal yang harus dipahami dan disiapkan guru. Memenuhi kebutuhan belajar siswa memang membutuhkan persiapan yang kompleks. Guru tidak lagi bisa semena-mena memberikan PR atau tugas yang sama kepada muridnya. Guru harus benar-benar memperhatikan kebutuhan belajar murid. Melalui penugasan berdiferensiasi akan membuat kompetensi murid berkembang sesuai kodratnya.Â
Sementara di sisi orang tua, saya aktif berdiskusi dengan guru anak saya. Sebagai orang tua yang memiliki anak usia PAUD, saya kadang kewalahan untuk membuat anak saya mau belajar. Di usianya yang belum 6 tahun, dia lebih memilih bermain dengan teman sebaya dibanding belajar di rumah. Beberapa strategi pun saya terapkan. Salah satunya adalah meminta gurunya memberikan PR untuk anak saya. Dilematis memang. Di satu sisi saya bersyukur karena akhirnya dia mau belajar. Sementara di sisi lain saya merasa memberikan beban padanya.Â
Namun, solusi selalu ada. PR yang diberikan gurunya tidak bersifat memaksa. Dalam artian, kapan anak saya mau mengerjakan dan mengumpulkan, dipersilakan. Peran PR di sini hanya sebagai pemicu anak saya mau belajar. Sekaligus membiasakannya belajar di rumah. Kenapa saya menulis seperti ini? Iya. Betul. Anak saya seringkali berkata, tidak ada PR, saat disuruh belajar. Adanya PR terbukti efektif meningkatkan motivasi belajarnya di rumah.Â
Baca Juga: Ada Apa dalam Ruang Kolaborasi?Â
Apa pun kondisinya, semoga PR tidak menjadi beban. Namun, justru menjadi pemicu bagi anak belajar di rumah sesuai kebutuhan belajarnya.