"Kita bayangkan lagi, saya muslim. Saya hidup di lingkungan nonmuslim, Kemudian rumah ibadah saudara-saudara kita nonmuslim itu membunyikan toa sehari lima kali dengan kencang-kencang secara bersamaan, itu rasanya bagaimana."
"Yang paling sederhana lagi, kalau kita hidup dalam satu kompleks, misalnya kiri, kanan, depan, belakang pelihara anjing semua. Misalnya, menggonggong dalam waktu yang bersamaan, kita ini terganggu nggak? Artinya apa? Bahwa suara-suara ini, apa pun suara itu, harus kita atur supaya tidak menjadi gangguan. Speaker di musala-masjid silakan dipakai, tetapi tolong diatur agar tidak ada yang merasa terganggu."
Coba kita renungkan kalimat-kalimat Gus Menteri di atas secara cermat.Â
Menag memberikan deskripsi bahwa di masyarakat mayoritas muslim, keberadaan masjid dan musala sangat mudah ditemukan. Semua tempat ibadah tersebut pasti dilengkapi dengan pengeras suara  yang mengumandangkan azan lima kali sehari.Â
Kemudian, Menag memberikan gambaran tentang suasana di masyarakat minoritas muslim. Â
Jika rumah ibadah agama lain membunyikan pengeras suara lima kali sehari, tentu seorang  muslim akan merasa terganggu.Â
Hal ini bisa juga digambarkan secara sederhana tentang  suara anjing di lingkungan minoritas muslim yang berbunyi bersamaan, tentunya seorang muslim tidak nyaman.Â
Nah, di sinilah kecerdasan kita diuji. Apakah ada pernyataan Gus Menteri yang menyatakan bahwa suara azan sama dengan gonggongan anjing? Jika kita emosional, pasti akan muncul pikiran kita bahwa Menag membandingkan bahkan menyamakan suara masjid dengan suara anjing.Â
Namun, jika kita mampu mendudukkan pernyataan Menag pada konteksnya, maka kita akan dapat memahami bahwa Menag sama sekali tidak membandingkan atau menyamakan suara azan dengan gonggongan anjing. Kita harus mampu mengambil "illat (intisari penyebab)"nya, yakni suasana mengganggu ketentraman.Â
Menag sebagai seorang muslim tidak akan mungkin merendahkan derajat azan dengan suara anjing. Hanya, Gus Menteri memberikan ilustrasi suara yang berpeluang besar mengganggu seorang Muslim, yakni suara anjing. Bagi pecinta anjing, suara hewan piaraannya sama sekali tidak mengganggu, justru menunjukkan bahwa anjingnya sedang siaga menjaga rumahnya.Â
Begitu pula azan, bagi seorang muslim pasti ini adalah panggilan Tuhan sebagai pertanda masuk waktu salat. Namun, bagi non-Muslim, pastinya mereka tidak berkepentingan dengan azan karena mereka tidak wajib salat sehingga berpotensi mengganggu mereka. Â Di sinilah titik tekan utama Menag, yakni menjaga kerukunan dan keharmonisan bermasyarakat. Menag menginginkan adanya moderasi beragama dan menjaga toleransi antar umat beragama.Â