Siti kali ini sudah kuat menahan kesabaran. Bertahun-tahun ia hidup dengan suami namun kebahagiaannya tak kunjung tiba. Ia berusaha menyesuaikan diri dengan ritme kehidupan pasangan hidup yang awalnya ia sangat cintai. Namun, kini setelah 13 tahun menikah, ia harus rela mengajukan gugatan cerai untuk memisahkan dirinya dari  suaminya yang sebenarnya tergolong tampan dan macho itu.
Awalnya, ia memang sangat mencintai suaminya, Roni. Ia menikah dengan pria pilihannya adalah suatu kebanggaan tersendiri. Roni tergolong sempurna. Tubuhnya tinggi atletis dan wajahnya yang rupawan. Banyak wanita yang jatuh hati padanya. Oleh sebab itu, ketika ia berhasil menaklukkan hati pria ini, Siti merasa dunia adalah miliknya. Ia akan bangga membawa kemana saja suaminya dan akan membuat sekian orang iri padanya.
Namun, hidup bersama pria tampan semacam Roni ternyata tidak selalu menyenangkan. Lelaki model ini ternyata banyak menghabiskan waktu hanya untuk merawat tubuh dan ototnya. Alhasil, ia tidak terlalu suka bekerja keras dan hanya menghabiskan uang. Pada mulanya, Siti dapat menerima gaya hidup suaminya. Ia kerap ditinggal sendiri di rumah bersama dua anaknya yang masih kecil sedangkan suaminya pergi entah kemana dalam waktu yang lama. Kabarnya, suaminya bekerja di sebuah jasa pariwisata yang sering pergi ke luar kota sehingga sulit baginya untuk pulang setiap hari.
Tiap akhir pekan, Roni pulang. Ia layaknya suami yang bertanggung jawab sering memberikan nafkah kepada keluarganya. Â Namun, selama di rumah, tidak berniat dalam hatinya untuk membantu meringankan tugas isterinya yang sehari-hari waktunya habis mengurus anak dan rumah. Baginya, tugas suami adalah mencari uang di luar sedangkan tugas istri adalah mengurus rumah sampai tuntas tanpa harus dibantu suami meskipun suami sedang longgar. Sungguh tidak elok jika lelaki macho semacam dirinya turut campur urusan rumah tangga, seperti mencuci baju, mencuci piring, menyapu, menyiram bunga, atau memandikan anak. Itu adalah tugas perempuan!
Dengan alasan capek, Roni lebih senang menghabiskan waktu untuk tidur, nonton TV, atau main sama kawan-kawannya di luar rumah. Â Ia tampak jarang bermain dan bercanda dengan kedua anaknya. Jika ia kesal atau keinginannya tidak terpenuhi, Roni sering mengucap kata-kata kotor atau bahkan mengancam akan menceraikan isterinya. Tak jarang ia menyakiti fisik isteri dan anak-anaknya. Oleh karenanya, jika ia pulang, bukannya anak-anak senang, tetapi justru kehadiran Roni dianggap ancama bagi ketenangan anak-anaknya.
Sejak merasakan rumah tangga yang tidak nyaman, sebenarnya Siti sudah punya keinginan untuk bercerai. Namun ia bertahan sampai ia bisa mempunyai penghasilan sendiri. Selama ini, ia masih menggantungkan ekonominya yang pas-pasan kepada suaminya. Ia berusaha mencari pekerjaan yang layak demi menghidupi dirinya dan anak-anak. Kini tibalah saat yang tepat untuk melepas dari suaminya.
Di ruang mediasi, Siti mencurahkan seluruh gundah-gulananya selama menjadi istri Roni. Baginya, wajah tampan dan gagah milik Roni tidak menjamin kebahagiaan hidupnya. Di balik keelokan rupa, ternyata Roni adalah sosok lelaki kasar yang suka menganiaya. Cukuplah baginya penderitaan selama lebih dari 10 tahun itu. Ia sudah bisa mandiri secara ekonomi dan ia yakin dapat membesarkan kedua anaknya tanpa Roni.
Sebenarnya, kasus besar pernah terjadi di tahun awal pernikahannya. Roni sempat menjatuhkan talak pada Siti di saat Siti belum memberikan keturunan. Emosi meledak-ledak yang kerap menghinggapi pasangan muda membuat Roni tidak dapat mengontrol ucapannya.
Terlontar kata-kata talak dari Roni sehingga mereka sempat dipaksa untuk mengulang kembali prosesi akad nikah yang disebut Mbangun nikah itu. Dengan Mbangun Nikah, hubungan mereka dianggap baru dan mereka dapat melanjutkan pernikahannya. Hanya saja, situasi setelah peristiwa itu, tetap saja tidak berubah. Roni tetaplah Roni yang kurang dapat menempatkan diri sebagai suami idaman Siti. Oleh sebab itu, Siti hanya punya satu keinginan, cerai dengan Roni!
Sayangnya, di ruang mediasi itu, Roni masih tidak mau melepas Siti. Baginya, Siti adalah sosok yang amat ia cintai. Oleh sebab itu, ia ingin berubah. Ia berjanji untuk memperbaiki kelakuannya yang selama ini sudah tidak nyaman bagi Siti dan anak-anak. Ia ingin pindah kerja dan akan lebih sering membantu tugas-tugas di rumah. Ia mau berlatih lebih sabar dan sayang asalkan  Siti mau menerimanya. Ia akan lebih sering menghabiskan waktu luangnya bersama keluarga ketimbang hanya merawat ototnya atau bercengkerama dengan kawan-kawannya.
Di sisi lain, Siti tetap bersikukuh ingin bercerai. Baginya, sikap Roni sudah terlambat. Mengapa tidak dari dulu? Padahal, Siti sudah mengingatkan berkali-kali bahwa dirinya sudah tidak tahan melihat sikap Roni. Setiap Siti mengeluh, Roni hanya tersenyum sinis dan tidak peduli dengan perasaan isterinya. Siti sering menangis meratapi nasibnya yang malang. Namun, tidak ada reaksi positif dari Roni untuk memperbaiki rumah tangganya.
 Dalam dialog dengan mediator, dibuatlah beberapa alaternatif penyelesaian. Tentunya pilihan-pilihan yang dibuat dikembalikan sepenuhnya kepada Siti dan Roni untuk memilih. Solusi pertama adalah Siti dapat memaafkan Roni. Permasalahan utama terletak kepada hati Siti.
Pengajuan gugatan kepada pengadilan agama ini juga tidak lepas dari suasana hati Siti yang tidak dapat menerima keadaan. Jika Siti mau memaafkan Roni dan Roni konsisten melakukan perubahan sesuai dengan keinginan Siti maka rumah tangga akan dapat diselamatkan. Gugatan dapat dicabut dan mereka dapat meneruskan bahtera rumah tangga.
Jika Siti tetap tidak mau, maka ada solusi kedua, yakni kasus tetap diteruskan pada sidang lanjutan namun Siti memberikan kesempatan Roni untuk membuktikan bahwa perubahan itu tidak terlambat. Roni akan mencurahkan seluruh usahanya untuk memperbaiki biduk rumah tangganya yang hampir karam. Misalnya, Roni tidak lagi melakukan tindak kekerasan dan semakin rajin bekerja. Â Jika kemudian situasi sudah sesuai dengan keinginan Siti, maka Siti dapat mencabut perkaranya di tengah proses perceraiannya.
Solusi ketiga adalah perlu adanya sesepuh, tokoh agama, atau orang yang disegani oleh keduanya yang dapat memberikan gambaran tentang plus-minus bercerai. Hal ini perlu dilakukan mengingat proses mediasi di pengadilan hanya satu atau dua kali dengan waktu yang terbatas. Penengah itu bisa jadi orang tua, paman, kyai, atau tokoh masyarakat yang nasehatnya dapat diikuti.
Misalnya, mereka diminta untuk melakukan sholat taubah, membaca istighfar sebanyak-banyaknya, dan saling introspeksi kekurangan masing-masing. Pendekatan agama dirasa penting karena hanya Allah SWT Â yang dapat menolong hamba-hamba-Nya yang memilik masalah. Dialah yang dapat merubah kondisi dan situasi hati seseorang. Â Jika kemudian proses ini berhasil, maka pasangan ini dapat saling memaafkan dan meneruskan pernikahannya.
Terakhir, Jika seluruh tahap sudah ditempuh namun  mereka tetap tidak dapat menyelesaikan problem rumah tangganya, maka mereka harus segera berpikir tentang pengasuhan anak dan pembagian gono-gini.
Meskipun Roni tidak mau berpisah, tetapi hakim memandang bahwa alasan Siti mengajukan gugatan cerai dianggap kuat, maka perceraian tetaplah terjadi. Oleh sebab itu, suka atau tidak suka, Roni harus siap membicarakan soal anak dan harta. Jika tidak, mereka suatu saat harus mengajukan ke pengadilan lagi untuk menyelesaikan sengketa pengasuhan anak atau gono-gini yang tentunya membutuhkan biasa dan waktu lagi. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H