Mohon tunggu...
Sididq Abdi Silalahi
Sididq Abdi Silalahi Mohon Tunggu... Jurnalis - apalagi yang kau minta setelah semua Hal itu aku turuti , mau apa lagi yang kau kehendaki semua akan kutunjukkan Bahwa tak pernah terjadi apa apa dengan aku namun kau memaksakan diri kalau aku mengetahu Kelakuakn apa yang kau lakukan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Aquarius

Selanjutnya

Tutup

Money

Menimbang Pemecahan Masalah Krisis Gula di Indonesia

29 September 2021   17:25 Diperbarui: 29 September 2021   17:34 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BrantasNewsMedia.ID_ Pati_  Pada abad ke-20, pergulaan di Indonesia  mengalami beberapa pergantian pengelolaan, dari Belanda, Jepang,  Belanda dan Indonesia. Berdasarkan catatan sejarah, Indonesia mulai  mengelola Pabrik Gula (PG)  pada tahun 1950 dengan mengaktifkan 30 PG dengan lahan 27.783 ha dan produktivitas 9,4 ton/ha .  estimasi Ketersediaan Gula daerah  bruto ,  (2000).

Dalam perkembangannya, pemerintah mengalami kesulitan masalah lahan.  Sehingga dikeluarkanlah INPRES No. 9 pada tanggal 22 April 1975  mengenai Intensifikasi Tebu Rakyat, atau sering disebut dengan Program  TRI, dengan tujuan agar  petani mengusahakan tanaman tebu sendiri di  lahannya untuk menjamin pemantapan dan peningkatan produksi gula  nasional, dengan harapan petani menjadi mandiri. Beberapa fasilitas iberikan untuk menunjang program TRI ini, antara lain; pemberian  kredit usaha, bimbingan teknis dan rehabilitasi tanaman (Anonim, 1981)   

Menurut Anonim (2000), Program TRI berhasil meningkatkan lahan tebu  itu dari 104.777 ha (1975) menjadi 188.772 ha (1980) dan produksi gula naik dari 1.035.052 ton (1975) menjadi 1.249.946 ton (1980). Namun besarnya kenaikan produksi tidak sebanding dengan kenaikan lahan, atau dengan kata lain produktivitasnya justru menurun, yaitu dari 9,88 ton gula/ha (1975) menjadi 6,62 ton gula/ha(1980).

Selanjutnya Hal ini terjadi karena  perluasan areal dilakukan pada lahan yang kurang produktif dan masih   rendahnya pengetahuan petani baru dalam mengelola tanaman tebu.

Dalam rangka swasembada gula, pada tahun 1980 dilaksanakan Program Peningkatan Produksi Gula yang dipercepat. Pemerintah melakukanrehabilitasi dan  perluasan kapasitas PG di Jawa dan pembangunan PG di  luar Jawa, serta perluasan areal di lahan sawah dan lahan kering. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 941/1980 ,dikeluarkan untuk mengembangkan tebu lahan kering. Pada tahun 1985 lahan meningkat menjadi 277.615 ha dengan produksi   1.725.196 ton. Program ini  berhasil mengurangi impor bahkan pada 1985 dan 1986 nilai impor  mencapai nilai nol. Tetapi lagi-lagi program ini telah menurunkan  produktivitas dari 6,62 ton/ha menjadi 6,21 ton gula/ha.

 Penyebabnya   adalah peningkatan lahan kering yang tidak produktif walaupun dari   segi budidaya, petani justru dapat menyaingi PG. Pada tahun 1987 impor  kembali dilakukan, sementara rendahnya produktivitas tetap menjadi masalah yang belum terpecahkan.

Shoilihul Hadi ": Pengamat ekonomi  Bisnis dan pertanian , Tinggal di Pati 

Sarjana Filsafat Humaniora  IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 1991

Menacri pekerjaan namun belum Pernah mendapat pekerjaan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun