Mohon tunggu...
Sudhana Kalama
Sudhana Kalama Mohon Tunggu... -

Seorang pemuda yang sedang berjuang untuk kehidupan spiritual yang lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Memaknai Tuhan & Hukum Alam dengan Lebih Bijaksana

17 Januari 2014   12:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:45 1575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sudah lama saya tidak menulis di Kompasiana. Saat mampir di Kompasiana, terutama di rubik filsafat yg ku sukai, lagi-lagi tuhan masih diperdebatkan sana-sini. Dan saya yakin sampai kiamat pun tuhan tetap akan slalu diperdebatkan (sudah sejak dari awalnya tuhan slalu diperdebatkan).

Terdapat sebuah paradoks antara kehidupan Stephen Hawking dan Albert Einstein. Dimana Stephen Hawking yang atheis menderita kelumpuhan toubb8tal, oleh mereka-mereka yang theis (beragama) kelumpuhan tersebut sering dikatakan sebagai kutukan bagi Stephen H. Ironisnya meski dalam keadaan lumpuh ia lebih hebat dan lebih berprestasi di bandingkan kita yang badan jasmaninya lebih sehat dan yang mengaku theis. Sumbangsih pemikirannya telah turut andil dalam memajukan peradaban manusia.

Penilaian para agamawan terhadap Stephen H. sangat bertolak belakang terhadap diri Albert Einstein, hal ini dikarenakan pernyataan dari Albert Einstein, “sains tanpa agama lumpuh, dan agama tanpa sains buta”. Lihatlah, sampai-sampai banyak para agamawan yg mengklaim dan merebutkan agamanya Albert Einstein. Orang muslim banyak menyatakan Einstein adalah seorang Muslim yang hidupnya diberkati Allah. Orang Kristen menyatakan Einstein adalah seorang Kristen yang hidupnya diberkati Yesus.

Padahal jika ditelahan lebih dalam dari keseluruhan tulisan Einstein tentang Allah dan Agama, mau tidak mau kesimpulan yang muncul bahwa Einstein adalah seorang Ateis, Agnostik, Deis, atau mungkin Panteis (yang pasti bukanlah seorang Teis yang taat agama), tidak percaya pada Allah yang diberitakan agama-agama monoteistik, termasuk Allah bangsa Yahudi, bangsanya sendiri.

Einstein selalu memberi makna metaforis terhadap kata Allah yang digunakan dalam tulisan-tulisannya. Karena seperti itulah seorang saintis Ateis dalam mengunakan kata Allah, selalu bermakna metaforis, bukan bermakna literal. Sangat jelas sekali kalau Einstein dengan tegas menolak untuk percaya pada suatu Allah Personal yang diberitakan tiga agama monoteistik (Yahudi, Kristen, Islam).

Definis agama yang diberikan oleh Einstein pun menjadi hal yang tak terduga oleh pikiran kaum theis, bagi Einstein visi agama ke depan adalah, Agama masa depan adalah suatuagama semesta, yaitu agama yang melampui konsep/doktrin tentang Tuhan sebagai pribadi, serta menghindari dogma dan teologi. Agama haruslah berdasarkan pengertian keagamaan yang muncul dari pengalaman akan segala hal, baik yang bersifat alami atau batiniah, yang merupakan satu kesatuan yang sangat berarti.Buddhismemenjawab gambaran tersebut… Seandainya ada agama yang dapat memenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan modern, maka hal itu adalah agama Buddha”.

Alasan terbesar penolakan terhadap Tuhan agama monoteistik (agama langit – katanya), karena Tuhan terlalu digambarkan sebagai pribadi, adanya sosok adikuasa yang menciptakan, mengatur dan menentukan kehidupan di alam semesta ini.

Sikap bijaksana Buddha dalam menjelaskan Tuhan menjadi keunikan tersendiri bagi ajarannya. (baca: Ketuhanan dalam Ajaran Buddha).

Lantas sering muncul pertanyaan seperti ini, Siapa yang menciptakan alam semesta beserta isinya?

Dalam Dhamma Niyama Sutta, Buddha menguraikan tentang adanya DHAMMA Niyama atau hukum alam. DHAMMA Niyama bersifat Asankhata-Dhamma, DHAMMA Niyama ini tidak terikat oleh ruang dan waktu, bersifat universal, tidak diciptakan, dan bukan sesosok/makhluk tapi merupakan sebuah hukum atau keteraturan. DHAMMA Niyama inilah yang menyebabkan terbentuknya alam semesta beserta isinya dan yang mengatur kehidupan di dalamnya. Terdapat 5 kategori DHAMMA Niyama, yaitu :

1.Utu Niyama (utu = energi)

Hukum yang mengatur tentang fenomena energi, panas, dingin, cahaya, materi, cuaca/musim. Para Cendikiawan Buddhis mensejajarkan hukum ini dengan Hukum Fisika. Dalam Majjhima Nikaya 22, Buddha menjelaskan bahwa materi terbentuk dari 4 unsur utama (mahabhuta) yaitu pathavi (unsur tanah/padat/massa), apo (unsur air/cair), tejo (unsur api/panas/dingin) dan vayo (unsur udara/gerak/tarik-menarik/gravitasi).

2. Bijja Niyama (bijja = benih)

Hukum yang mengatur perkembangbiakan tumbuh-tumbuhan dan semua makhluk hidup termasuk penurunan sifat dan sebagainya (genetika/gen/DNA). Semua aspek biologis makhluk hidup di atur oleh hukum ini. Karenanya Bijja Niyama sering disepadankan dengan hukum Biologi.

3. Kamma Niyama (kamma = perbuatan) (kamma – bhs. Pali) (Karma – Bhs. Sansekerta)

Hukum perbuatan (sebab-akibat), hukum inilah yang mengatur akibat-akibat dari perbuatan semua makhluk. (baca: HUKUM KARMA adalah HUKUM PERBUATAN).

Dalam Anguttara Nikaya III: 415 Buddha mengatakan, “Aku katakan, kehendak adalah Kamma, karena didahului oleh kehendak, seseorang lalu bertindak dengan jasmani, ucapan dan pikiran”. Prinsip hukum ini adalah menanam kebajikan menuai kebajikan, menanam keburukan menuai keburukan.

4. Citta Niyama (citta = pikiran/kesadaran)

Hukum yang mengatur proses jalannya alam pikiran seperti proses kesadaran, timbul dan lenyapnya kesadaran, sifat-sifat kesadaran, kekuatan pikiran/batin (abhinna).

Dalam Samyutta-Nikaya, iii. 152 Buddha mengatakan, “Para bhikkhu, aku tidak melihat hal lain yang sangat beraneka ragam seperti pikiran (citta).” Hukum ini menjelaskan bagaimana satu saat berpikir bisa muncul, bagaimana kelahiran kembali bisa terjadi (reinkarnasi menurut pandangan Buddhis).

Menurut Buddha, kelahiran kembali bukan merupakan perpindahan kehidupan karena tidak ada sesuatu dari kehidupan ini yang berpindah kekehidupan berikutnya, tetapi kelahiran kembali adalah kelangsungan arus kehidupan dari kesadaran yang bergetar, karena adanya dorongan dari kekuatan kamma. Kelahiran kembali merupakan bagian dari kehidupan dan kehidupan adalah suatu arus kesadaran (vinnana) yang berlangsung terus berdasarkan kekuatan kamma. Jadi kematian makhluk yang kita lihat dalam kehidupan sehari hari hanya merupakan perubahan wujud atau bentuk saja, karena sesungguhnya arus kehidupan dari makhluk yang meninggal itu telah terlahir kembali di suatu alam tertentu atau di bumi kita ini sebagai dewa, manusia, setan atau makhluk dalam neraka yang ditentukan oleh kammanya sendiri.

Citta Niyama merupakan Hukum Psikologis.

5. Dhamma Niyama

Dhamma niyama merupakan hukum yang tidak dikategorikan ke dalam 4 niyama sebelumnya. Fenomena-fenomena “ajaib” yang terjadi di alam berkenaan dengan kemunculan para Buddha, tercapainya penerangan/pencerahan sempurna, meninggalnyya para Buddha (parinibbana) masuk dalam hukum ini.

Meski dikategorikan ke dalam 5 kategori, bukan berarti DHAMMA Niyama bekerja secara sendiri-sendiri. Ke-5 hukum tersebut merupakan satu-kesatuan yang tak terpisahkan. Misal dalam proses pembuahan sel telus oleh sperma, kapan arus kesadaran mulai masuk dan berdiam di dalam bakal janin, arus kesadaran yang masuk ini adalah lanjutan dari getaran  kesadaran sebelumnya karena adanya dorongan dari kekuatan kamma.

Proses bekerjanya DHAMMA niyama ini tidak melibatkan sosok makhluk yang disebut makhluk adikuasa. Diatas sudah saya jelaskan DHAMMA Niyama bersifat Asankhata-Dhamma. Termasuk akibat-akibat dari perbuatan-perbuatan yang kita lakukan – disini yang bekerja adalah Hukum Karma (Kamma Niyama), tidak ada peran sama sekali dari makhluk adikuasa yang katanya memberikan pahalanya jika mau mengikuti perintah-perintahnya, dan murka/ancaman neraka bagi yang tidak mau mengikuti perintahnya. Yang ada dalam hukum karma adalah konsekuensi-konsekuensi logis dari semua perbuatan yang kita lakukan. Lantas siapa yang mencatat amal baik dan perbuatan dosa manusia. Semua perbuatan makhluk tercatat dalam kesadarannya masing-masing – disini yang akan berperan adalah Citta Niyama.

Lantas, bagaimana dengan terbentuknya alam semesta beserta isinya? Terjadi begitu saja atau sekali lagi ada yang menciptakan?

Buddha mengatakan, kehidupan ini tidak diketahui awalnya dan tidak diketahui akhirnya. Selama energi kamma dari semua makhluk hidup (semua makhluk hidup di 31 alam kehidupan) [baca: artikel 31 alam kehidupa]

masih ada, alam semesta ini akan tetap terus ada. Eeiiiit bukan berarti tidak ada “kiamat”. Sabbbe Sankhara Anicca, seluruh keberadaan di alam semesta ini pun, termasuk semesta-semesta lainnya tunduk pada hukum perubahan. Alam semesta terbentuk, berkembang dan berevolusi, dan akhirnya akan hancur, setelah hancur akan mengalami fase kekosongan dan selanjutnya akan terbentuk kembali menjadi alam semesta lain dan seterunya. (siklus: terbentuk – berkembang – hancur – kekosongan – terbentuk lagi).  Periode terbentuknya semesta tidak bimsalabin...bul...cling...terbentuk, tapi mengikuti periode waktu yang sangat panjang sekai yang dijelakan oleh Buddha 1 maha kappa (perhitungan cendikiawan Buddhis kurang lebih 12 triliun tahun) yaitu 1 masa kehidupan semesta hingga hancur dan mengalami masa kekosongan sampai menjadi semesta lain lagi. Dan ternyata neraka dan surga pun akan hancur serta mengikuti siklus di atas tersebut.

Jadi apa yang menyebabkan alam semesta terbentuk, tak lain dan tak bukan seperti yang dikatakan oleh Buddha adalah energi kamma dari semua makhluk hidup. Bagaimana jika semua makhluk hidup mampu mencapai kebuddhaan pada kehidupan alam semesta ini...? (yang bisa menjawab hanya para Sammasambuddha – jadi, yuk beramai-ramai jadi Sammasambuddha, tapi syarat yang harus dipenuhi banyak sekali, tenang saja saya sudah antri entah diurutan yang keberapa?)

Demikian lah DHAMMA Niyama, hukum alam atau keteraturan yang sedemikian rupa yang mengatur seluruh kehidupan di semesta ini dan semesta-semesta lainnya.

Sungguh luar biasa dan menakjubkan sekali pengetahuan Sammasambuddha, tidak heran Einstein sampai berujar, “Jika ada agama yang mampu memenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan, maka agama itu adalah agama Buddha”. Pernyataan Einstein inilah yang menjadi salah satu pemicu gelombang besar ketertarikan para intelektual barat terhadap ajaran Buddha.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun