Mohon tunggu...
Sudiarto Abram Simamora
Sudiarto Abram Simamora Mohon Tunggu... Administrasi - Penganut Kristen Garis Lurus dan Juga Penikmat Nasi Goreng, gitoe saja!

| Sekalipun engkau todongkan pistolmu, aku akan tetap goreskan penaku. Aku tidak takut! | Keturunan Mix, Batak-Arab-Jawa | I'm not a great writer, just a loyal reader | Masih sama seperti dulu, suka pura-pura, tapi bisa diajak serius |

Selanjutnya

Tutup

Politik

Belajar dari SBY & 2014 [Catatan untuk Mantan Pangkostrad)

4 Februari 2017   08:56 Diperbarui: 4 Februari 2017   09:28 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Artikel ini adalah lanjutan dari tulisan saya sebelumnya yang berjudul Prabowo & Kesalahan Terbesarnya. Sepak terjang Prabowo dan Gerindra dipastikan belum terlihat tanda-tanda gencatan senjata terhadap lawan politik yang menghianatinya. Dalam waktu singkat ini mereka sedang berjuang habis habisan memperebutkan Jakarta 1 dari partai yang paling dimusuhinya saat ini. Apabila mereka berhasil memuncaki Jakarta 1, maka peluang untuk RI-1 semakin besar untuk Prabowo dan Gerindra. 

Melihat iklim pilkada DKI sekarang, terlihat Gerindra semakin kompak dengan PKS. Ini sepertinya tanda-tanda bahwa Pemilu 2019 Gerindra dan PKS akan tetap bersama dalam mengusung capres-cawapresnya. Bagi Gerindra dan Prabowo, Pilpres kali ini akan menjadi pertarungan terakhir bagi  sang mantan Pangkostrad. Apabila Gerindra dan Prabowo gagal lagi, peluangnya untuk maju di pilpres 5 tahun kemudian akan semakin kecil. Untuk itu Gerindra harus mengevaluasi kembali arah politik, idealisme dan tentu diharapkan tetap dijalurnya sebagai partai nasionalis. Singkat saja, untuk mencapai sukses pilpres 2019 ada beberapa hal-hal yang harus dilakukan oleh Gerindra menjelang pilpres 2019.

Pertama, belajar dari SBY di pilpres 2004 dan 2009. Demokrat dan Gerindra berdasarkan idealisme partai yang dianut adalah sama-sama nasionalis. Namun Demokrat lebih berhasil dibandingkan Gerindra. Sosok SBY tidak jauh lebih berkarisma dengan Prabowo. Artinya SBY dan Prabowo hampir seimbang dari segi popularitas. Sama-sama memiliki latar belakang militer. SBY dan Demokrat didukung oleh hampir semua partai partai sayap kanan termasuk PKS. Persis dengan Prabowo yang diusung hampir semua partai-partai sayap kanan. Apa yang membuat Prabowo tidak sesukses SBY?,. Alasannya tidak lain adalah manuver politik yang dimainkan Gerindra. 

Gerindra mengalami kepanikan yang dahsyat menjelang pilpres 2014 setelah PDIP mengumumkan calon presidennya yaitu Joko Widodo. Tanpa berpikir panjang, Gerindra dengan terpaksa harus berkoalisi dengan partai-partai sayap kanan agar dapat memajukan capresnya. Gerinda ibarat kerbau yang ditusuk hidungnya oleh penggembalanya. Tidak berdaya dan harus tunduk pada kepentingan-kepentingan partai-partai pengusung. Berbeda dengan Demokrat di pemilu 2009. Suara Demokrat saat itu tidak membutuhkan banyak dukungan partai lain. Sehingga SBY dan Demokrat sangat leluasa mengatur partai pendukungnya. Tentu partai pengusung selain Demokrat tidak mampu memainkan perannya berlebihan.

Mengapa Gerindra dan Prabowo harus belajar dari SBY?, Kenyataannya adalah meskipun mayoritas penduduk Indonesia adalah penganut agama Islam. Namun mayoritas Islam tersebut adalah juga penganut paham nasionalis. Kita bisa melihat bagaimana reaksi Islam ketika ada pihak-pihak lain yang ingin mengubah Pancasila sebagai dasar negara kita. Tidak sedikit kita menemukan tokoh-tokoh Islam yang turut serta memberikan ceramah-ceramah yang menjunjung tinggi nilai nilai kebangsaan, toleransi dan keberagaman. 

Sekali lagi, Gerindra harus banyak belajar dari permainan politik SBY. Kedua, Gerindra harus menjadikan pilpres 2014 sebagai pengalaman pahit untuk mencapai kesuksesan. Seperti yang saya tuliskan sebelumnya, Gerindra yang dikenal sebagai partai sayap kiri dan berhaluan nasionalis merangkul kelompok lain dari haluan sayap kanan. Alih-alih menyatukan semua kalangan masyarakat dari idealisme partai yang berbeda-beda, justru jadi batu sandungan buat Prabowo. Salah satu partai yang dirangkul Prabowo adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). 

Bagi saya dan kelompok nasionalisme yang lain, PKS adalah Partai yang sangat anti Pancasila, mendukung kelompok-kelompok intoleransi. Partai sok gamis namun banyak kadernya terjerat kasus korupsi. Bergabungnya PKS dengan Prabowo tentu mempengaruhi sedikit banyak idealismenya Prabowo. Sikapnya yang awalnya Nasionalis bergeser ke sedikit Islamis. PKS tentu sangat diuntungkan karena mendapat amunisi baru untuk memasukkan ide-ide kepentingannya apabila Prabowo berhasil menjadi RI-1. 

Bahkan PKS dengan semangatnya yang tinggi menjadikan Prabowo menjadi Presiden tidak sungkan-sungkan mengeluarkan jurus fitnah calon presiden lain saingan Prabowo untuk menjatuhkan pamor lawan. Berhasilkah Prabowo dan kelompoknya??.... Tentu kita lihat sendiri, berbagai usaha dilakukan pendukung-pendukungnya termasuk melobi lembaga-lembaga survey namun hasilnya Jokowi dan kelompok nasionalislah yang menjadi juaranya. Peristiwa 2014 itu menjadi yang kedua kalinya bagi Prabowo mengalami kekalahan di Pilpres. 

Prabowo mengubah haluan politiknya namun tetap tidak berhasil. Apabila Gerindra dan Prabowo berani kembali ke idealisme terdahulu dengan menolak dukungan penuh partai-partai sayap kanan semunafik PKS niscaya Prabowo akan sukses di 2019. Prabowo lebih berkharisma tanpa PKS!..... Tanpa PKS, Ingat…. Tanpa PKS!!, Karena sejujurnya Indonesia lebih indah tanpa PKS, Prabowo bisa sukses. 100% bisa!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun