Mohon tunggu...
Ade Sudaryat
Ade Sudaryat Mohon Tunggu... Penerjemah - Penulis Lepas bidang Pendidikan, Agama, dan Budaya

Ade Sudaryat seorang penikmat buku, praktisi pendidikan peminat masalah-masalah sosial, dunia filsafat dan agama

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hening Versus Bising

14 Juli 2021   09:10 Diperbarui: 14 Juli 2021   09:14 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hening vs Bising 

Oleh Ade Sudaryat

 

HENING itu sunyi atau sepi.  Tempat yang  hening biasanya memberikan efek ketenangan. Tempat yang hening merupakan tempat istirahat untuk melepaskan lelah atau sekedar menghilangkan kepenatan agar hati dan pikiran kembali segar.

Perkampungan yang dikelililingi pesawahan,  gemerciknya suara air  bening yang dihiasi ikan berenang riang, dan  merdunya suara burung  merupakan gambaran tempat yang hening. Demikian pula, bukit dengan berbagai pepohohan hijau,  dihiasi nyanyian burung merupakan tempat yang hening. Semilir angin dan udara segar menjadikan diri kita nyaman dan tenang tinggal di sekitarnya. Karenanya, orang-orang berduit senang membangun villa, tempat peristirahatan  di tempat-tempat  hening seperti itu.

Mereka membangunnya  menyesuaikan dengan alam. Tak memakai bangunan gedung berbahan batu bata, tapi terbuat dari bahan alami, baik kayu maupun bambu. Tak memakai listrik, tak ada kompor gas, dan alat elektronik lainnya, benar-benar alami. Ia sengaja membangunnya untuk mendapatkan keheningan alami yang dapat menyegarkan pikiran, menghilangkan kepenatan dari berbagai beban kehidupan.

Penduduk yang tinggal di perkampungan sudah sejak lama menikmati keheningan. Udara segar, nyanyian burung, dan indahnya gemercik air yang terdengar pada pagi dan sore hari.  Mereka hidup  rukun dan damai. Kalaupun ada perselisihan antara warga, sesepuh kampung, baik tokoh agama, Rukun Tetangga (RT), dan Rukun Warga (RW) segera turun meredamnya.

Persaudaraan, ramah kepada semua orang, gotong royong,  dan saling membantu menjadi hiasan kehidupan sehari-hari. Kesadaran mereka hidup bergotong-royong dan saling membantu diperoleh dari ajaran para sesepuh agama di masjid. Para sesepuh agama menyampaikan  petuah dengan "hening",  tanpa tuntutan duniawi. Mereka benar-benar tulus menyampaikan petuah agama  demi kebaikan akhlak dan ketaatan warga kepada sang Khaliq.

Masjid menjadi tempat pelarian orang-orang yang ingin menyepi, mengadukan segala keluh kehidupan kepada Pemilik Kehidupan. Tempat suci ini pun menjadi tempat meminta solusi kepada sesepuh agama yang bijak dan toleran dalam mendengarkan keluhan hidup yang dihadapi jamaahnya.

Masjid benar-benar menjadi tempat sakral. Tempat suci yang tak boleh dikotori, jangankan dengan sesuatu yang  najis, sekedar mengeluarkan kata-kata kasar saja sudah tak boleh. Para sesepuh masjid mengeluarkan aturan, meskipun tidak tertulis tapi sangat ditaati, misalnya di masjid tak boleh bersiul, apalagi sampai membunyikan musik.

Semua gambaran tadi merupakan gambaran situasi perkampungan dahulu kala  yang penuh keheningan dan kedamaian. Kini rasanya sulit mencari perkampungan yang benar-benar hening. Dengan kemajuan teknologi, kini keheningan di perkampungan telah tergantikan dengan berbagai kebisingan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun