SALAH satu ciri diterimanaya ibadah puasa Ramadan kita adalah istikamah dalam beribadah. Orang yang baik di sisi Allah adalah orang yang kontinyu beribadah, berakhlak mulia, dan tetap berbuat kebaikan baik selama bulan Ramadan maupun di luar bulan Ramadan.
Imam Al-Bisyri seperti dikutip Ibnu Rajab dalam Lathaif al Ma'arif (hal.397) mengatakan, "orang-orang yang paling jelek adalah orang yang beriman kepada Allah dan rajin beribadah kepada-Nya hanya pada bulan Ramadan. Di luar bulan tersebut, mereka melalaikan perintah dan larangan-Nya. Kalian, janganlah seperti mereka! Jadilah orang-orang saleh, yakni orang-orang yang beribadah kepada Allah sepanjang masa."
Muhammad Husain Ya'kub dalam Asrarul Muhibbin (hal. 381) menyebutkan beberapa kriteria orang yang ibadah puasanya diterima Allah swt, yakni sejak berakhirnya bulan Ramadan ia sudah bertekad untuk istikamah dalam beribadah; dirinya semakin merasa dekat dan merasa diawasi Allah swt; semakin rajin beribadah baik salat, zikir, tadarus Alqur'an, maupun ibadah-ibadah lainnya; dan melanjutkan kebiasaan beramal baik selama bulan Ramadan.
Salah satu wujud istikamah beribadah selepas Ramadan adalah kerinduan melaksanakan ibadah puasa. Karenanya, orang-orang yang berharap ibadahnya selama bulan  Ramadan diterima,  ia akan berupaya keras dapat melaksanakan ibadah puasa sunat Syawal seperti yang dianjurkan Rasulullah saw.
Dari Abu Ayyub Al-Anshari, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa melaksanakan puasa di bulan Ramadan, kemudian diikuti dengan melaksanakan ibadah puasa enam hari pada bulan Syawal, maka pahala ibadah puasanya laksana melaksanakan ibadah puasa sepanjang tahun" Â (H. R. Muslim, Shahih Muslim, Kitab Al-Shiyam, hadits nomor 2758, 2759, dan 2760).
Terdapat beberapa pendapat dalam pelaksanakan ibadah puasa sunat Syawal, dan kita diperbolehkan memilih salah satunya. Pertama, Â puasa Syawal boleh dikerjakan enam hari secara berturut-turut sejak tanggal 2 -- 7 Syawal; bisa pula dikerjakan secara bertahap yang terpenting jumlah puasanya enam hari, Â dan dilaksanakan selama bulan Syawal (Abu Malik Kamal, Shahih Fiqih Sunnah Juz II :134; Wahbah Juhaily, Al-Fiqhul Islam wa Adilatuhu Juz II : 589; Sayyid Sabiq, Fiqhu Sunnah Juz I :316). Kedua, yang paling utama puasa sunat Syawal dilaksanakan enam hari berturut-turut, Â tidak boleh dilaksanakan secara bertahap atau diselang-selang (Abdurrahman Al-Jazairy, Al-Fiqhu 'ala Madzahib Al-'Arba'ah Juz I:506).
Lalu, bagaimana bagi orang yang memiliki hutang puasa Ramadan, apakah boleh melaksanakan puasa Syawal sebelum melaksanakan qada puasa Ramadan? Pelaksanaan yang paling utama adalah melaksanakan terlebih dahulu qada puasa Ramadan.
Namun demikian jika dilihat dari segi waktu, pelaksanaan qada puasa Ramadan jauh lebih luas waktunya daripada pelaksaan puasa sunat Syawal. Pelaksanaan qada puasa Ramadan bisa dilaksanakan kapan saja, sementara pelaksanaan puasa sunat Syawal hanya bisa dilaksanakan pada bulan Syawal. Sehingga sebagian ulam fiqih membolehkan melaksanakan puasa Syawal terlebih dahulu dan mengakhirkan qada puasa Ramadan.
Dari Siti Aisyah r.a, "Aku memiliki beberapa hari hutang puasa Ramadan, dan aku baru bisa menunaikan qada puasa Ramadan pada bulan Syakban, karena aku sibuk melayani atau membantu Rasulullah saw" (Nazar bin Abdul Karim, Fiqh Al-Imam Bukhari, min Jaami'i Shahih "ash-shiyam", hal. 138).
Terlepas dari berbagai perbedaan pendapat tentang puasa Syawal, selayaknya kita dapat melaksanakannya sebagai pengejawantahan dari pelatihan ibadah kita selama bulan Ramadan. Ibadah, bonus pahala, Â dan ampunan dari Allah bukan hanya ada pada bulan Ramadan, tapi ada sepanjang masa. Sudah selayaknya bagi kita untuk selalu mencari dan menjemputnya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H