Akhir-akhir ini mencuat wacana libur puasa sebulan penuh selama Ramadhan. Pendapat Masyarakat terbelah, ada yang pro dan kontra. Mendikdasmen di salah satu media masa online beberapa hari yang lalu menyampaikan bahwa ada 3 opsi yang sekarang sedang digodog untuk ditetapkan, yaitu libur penuh, libur di awal dan akhir, dan masuk seperti biasa. Namun, hari ini Pak Menteri berubah pernyataan. Beliau mengatakan bahwa pemerintah tidak menggunakan istilah libur, namun pembelajaran di bulan Ramadhan.
Tentang hal ini menarik untuk disimak ulasan dari Rektor Universitas Sragen (UNISSRA), Prof. Dr. Suharno, ST., MT. tentang libur puasa atau pembelajaran di bulan Ramadhan atau apapun namanya. Rektor UNISSRA berpendapat bahwa terminology apapun yang akan digunakan oleh pemerintah, kemungkinan besar mengarah pada satu diantara 3 opsi yang beberapa waktu telah disampaikan oleh Pak Menteri. Menurut Rektor UNISSRA yang terpenting sebenarnya bukan masalah opsinya, tetapi edukasi terhadap opsi itu. Menurut Suharno, masing-masing opsi ada sisi positif dan negatifnya. Oleh karena itu, yang terpenting sebenarnya pemerintah perlu memberikan pemahaman kepada masyarakat dari opsi yang dipilih. Hal ini penting untuk diketahui masyarakat, mengapa? Agar Masyarakat dapat melakukan adaptasi terhadap apapun yang diputuskan oleh pemerintah.
Apapun terminologi yang akan dipakai, rektor UNISSRA setuju dan mendukung dengan 3 opsi yang telah digodog oleh pemerintah. Manapun yang akan dipilih, semuanya bagus. Â Misalnya pak Menteri menggunakan terminologi pembelajaran di bulan Ramadhan, kita coba formulasikan menjadi pembelajaran penuh di rumah, blended, dan penuh di sekolah. Menurut Prof Suharno, 3 opsi ini memiliki plus dan minus, wajar jika pak Menteri terlihat sangat hati-hati untuk menentukan salah satunya. Saking hati-hatinya, terminilogi yang dipakai juga belum diputuskan.
Di artikel ini Rektor UNISSRA menyampaikan pendapat/pemikiran, dengan harapan dapat menjadi bahan pertimbangan Mendikdasmen (Prof. Mu'ti) dalam mengambil Keputusan. Gagasan ini disampaikan berdasarkan riset dan pengalamannya berinteraksi dengan para siswa dan guru di sekolah.
Opsi Pertama, Pembelajaran penuh di rumah. Secara teknis, ini tampaknya sederhana, dan mengumumkannya enak, belajar di rumah. Tetapi dampak ikutan sangat banyak. Jika penuh belajar di rumah, jika hanya dengan membekali anak instrument (semacam log book), selama ini sudah terbukti tidak efektif. Tidak efektifnya terletak pada instrumen (log book) yang kurang representatif dalam mendukung capaian pembelajaran. Monitoring dan evaluasi aktivitas di masyarakat juga tidak dikonversi ke dalam hasil belajar yang representative. Tidak memiliki indikator terhadap capaian pembelajaran. Selain itu, orang tua belum memahami bahwa anak-anak di rumah itu juga harus belajar. Kebanyakan orang tua masih menganggap bahwa anaknya tidak sekolah itu berarti libur. Perlu diketahui bahwa ketika anak berlama-lama di rumah tanpa belajar, maka sering terjadi kekerasan rumah tangga, khususnya antara anak dengan orang tua. Jika opsi ini dipilih dengan instrumen konvensional yang selama ini ada, maka opsi ini justru hanya akan menggeser beban guru menjadi beban orang tua.
Tetapi jika sekolah dan guru mampu mengembangkan instrumen yang lebih baik untuk membekali anak belajar di rumah, nah mungkin Solusi ini efektif dipilih. Tidak ada salahnya sekolah mulai mengenalkan model home schooling. Model home schooling tidak ada salahnya dicoba. Kedepan, model home schooling ini akan semakin banyak diminati Masyarakat. Dan di era milenial dan zilenial banyak diantara anak-anak yang lebih nyaman jika belajar di rumah. Namun, sekali lagi opsi belajar penuh di rumah ini harus dipersiapkan matang jika akan dipilih. Kuncinya adalah kesiapan instrumennya baik guru, masyarakat, maupun perangkat pembelajarannya. Jika opsi ini dipilih tanpa instrumen yang handal, maka beban pendidikan hanya tertumpu kepada orang tua. Nah ini harus dipikirkan dengan seksama.
Opsi kedua, blended. Ini pilihan yang moderat, misalnya di awal 1 atau 2 hari, di akhir 3 hari. Di awal berguna untuk adaptasi dan di akhir untuk persiapan hari raya. Namun, jika jam masuk tidak dimodifikasi maka tetap saja proses belajar mengajar tidak efektif. Modifikasi yang mungkin bisa diambil adalah pengurangan jam belajar dan peningkatan kualitas guru dalam mengajar. Guru perlu mempersiapkan diri untuk mengajar dengan banyak variasi mengajar yang menarik dan menyenangkan.
Opsi ketiga, Pembelajaran penuh di sekolah. Secara teknis opsi ini mudah dan praktis, tinggal mengumumkan masuk seperti biasa. Mudah bukan? Tetapi, dampak ikutan dari opsi ini banyak, dan ujungnya bisa jadi tidak terjadi transfer of knowledge saat pembelajaran. Mengajar dalam situasi puasa khususnya di bulan Ramadhan, memilki tantangan tersendiri. Berikut gambaran belajar mengajar ketika puasa.Â
Dari sisi Guru, mengajar dalam keadaan puasa, harus diakui bahwa itu memang sangat berat, apalagi kelas yang tidak memiliki AC. Mengajar itu tidak hanya fisik tapi juga psikis (berpikir) dan ini membutuhkan energi ekstra. Ini betul-betul menjadi tantangan tersendiri bagi para guru. Bahkan di kalangan guru mengatakan bahwa mengajar saat puasa dengan ruangan tidak ber-AC itu seperti melakukan tantangan uji Nyali, siapa yang kuat. Berbeda keadaannya apabila orang bekerja di ruang ber-AC yang fisiknya tidak banyak, maka mereka bisa mengatakan bahwa puasa tidak mempengaruhi aktivitas. Tentu ini tidak obyektif jika diterapkan untuk guru. Dari sisi siswa, anak sekarang tidurnya larut malam, sementara kalau puasa mereka harus bangun dini hari untuk sahur, tentu hal ini mengakibatkan mereka tidak fit ketika mengikuti pelajaran. Jadi, gambaran sekolah saat puasa itu adalah murid belajar susah, gurunya lelah. Nggak enak bukan? Lalu bagaimana jika harus masuk terus selama Ramadhan. Opsi ketiga ini memilki peluang paling moderat dan rasional jika dimodifikasi. Modifikasi yang mungkin dilakukan adalah dengan mengurangi jam belajar dan menyiapkan perangkat pembelajaran khusus di bulan Ramadhan. Ini akan seru untuk dilakukan. Anak-anak tetap sekolah dan belajar, guru tetap bisa menyelesaiakan tuntutan cakupan materi, orang tua terkurangi bebannya. Ketika di rumah, siswa tetap diberi instrumen yang inovatif agar melakukan kegiatan keagamaan dan terukur.
Jadi, ketiga opsi yang disampaikan Mendikdasmen Prof. Mu'ti sangat rasional dan memiliki kelebihan dan kekurangan. Apapun yang dipilih oleh pemerintah, semuanya berdampak, baik untuk siswa, guru, orang tua, pemerintah, dan Masyarakat. Oleh karena itu, Rektor UNISSRA menyimpulkan bahwa opsi manapun yang dipilih, kesiapan instrumen menjadi kunci pilihan. Semoga bermanfaat.