Judul diatas terasa sebagai provokasi atau lebih mendekati pada jargon kampanye saja. Kenyataan dilapangan petani kayu mengalami nasib yang sulit. Sesungguhnya Budidaya kayu memiliki keunggulan dibandingkan komoditas lainya yaitu rendahnya input produksi atau modal usaha. Modal utama budidaya kayu adalah bibit yang lebih sering petani memperolehnya dengan gratis bisa diperoleh dari bantuan pemerintah atau patani mencari bibit liar di alam. Sedangkan untuk modal usaha yang lain seperti pupuk, pestisida, alat kerja dan tenaga kerja diperlukan dalam jumlah sedikit bahkan sangat sedikit.
Pertanyaanya lalu mengapa dengan rendahnya input usaha budidaya kayu tidak serta merta meningkatkan penghasilan petani kayu? Jawabanya adalah terletak pada perhitungan pendapatan petani kayu rata-rata per satuan waktu. Jawaban ini akan mudah dipahami dengan sedikit uraian perhitungan kasar usaha budidaya kayu.
Pendapatan petani kayu diperoleh pada saat panen. Pendapatan adalah jumlah volume kayu dikali dengan harga. Keuntungan adalah pendapatan dikurangi modal usaha. Bukankah diawal disebutkan bahwa modal budiaya kayu adalah kecil atau rendah berarti keuntungan petani akan menjadi tinggi? tunggu dulu. Disinilah masalahnya. Dibandingkn dengan komoditas petani lainya budidaya kayu meiliki satu kelemahan yaitu masa panen yang sangat panjang. Butuh wakyu 5-7 tahun untuk jenis kayu fast growing dan lebih dari 10 tahun untuk jenis kayu padat. Sehingga keuntungan yang tinggi tadi dibagi dengan masa panen maka pendapatan petani persatuan waku menjadi rendah. Ditambah lagi kenyataan bahwa kepemilikan lahan petani sangat rendah rata-rata tidak lebih dari 0,25 ha, menambah sulitnya komoditas kayu bersaing dengan komoditas petani lainya yang memiliki perputaran produksi yang cepat.
Dilema patani kayu dan petani hutan pada umumnya cukup dirasakan bukan hanya oleh petani sendiri. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai pemangku kebijakan kehutanan, kayu dan petani kayu cukup merekam permasalahan tersebut. Melalui kegiatan kerjasama Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Australian Center for International Agriculture Research (ACIAR) telah berusaha hadir bersama menemukan solusi.  Usaha bersama untuk menemukan jawaban apakah dengan permasalahan  ini lalu petani kayu menjadi petani kaya adalah sebagai utopia atau mimpi indah disiang hari? Yang ternyata Jawabanya adalah tidak.
Kisah Sukses
Kerjasama antar lembaga pemerintah dengan ACIAR melahairkan satu kegiatan yaitu Pelatihan Master Tree Grower (MTG) yang sesuai dengan namanya pelatihan ini secara partisipatory melatih peserta menjadi master atau ahli dalam pertumbuhan pohon. Salah satu diantara beberapa materi pelatihan adalah pengenalan alternatif selain budidaya tanaman kayu melalui sistem agroforestry. Disini kisah sukses petani-patani agoforest-lah yang akan kami hadirkan meskipun secara singkat.
Kita awali di Lampung Timur. Sukses bersama diraih oleh kelompok tani hutan Agro Mulyo Lestari desa Sidorejo Kecamatan Marga Sekampung. Komoditas unggulan agroforestnya adalah alpukat siger 1 sibatu. Alpukat istimewa baik dari produktivitas maupun kualitasnya. Dari satu pohon alpukat dapat dipanen 2 kali dalam satu tahun. Alpukat dewasa menghasilkan rata-rata produksi 1 ton dengan harga jual Rp.20.000. Berapa rupiah per pohon? Iya 20 Juta. Maka tidak mengherankan alpukat ini digadang-gadang juaranya alpukat Lampung sehingga KTH inipun laris manis berjualan bibit yang per batang dijual 25 ribu hingga 50 ribu tergantung ukuran.
Masih di Lampung Timur, Desa Karya Mukti Kecamatan Sekampung. Petani sejoli kakek dan nenek dengan umur yang sudah cukup tua, sang kakek bernama Isman umur 77 tahun dan nenek bernama Muisyah berumur 72 tahun. Agroforest campuran di pekarangan rumah beliu yang cukup luas ditanah selaus 0,5 ha harmonis menghiasi tempat tinggal beliau. Durian bawor, alpukat mentega, klengkeng kateki, nangka, petai, kelapa, sawo australi, dan duku mengisi strata atas. Dilantai kebun ditanami rempah kencur yang ditanam dalam guludan-guludan.
Secara ekonomi memang sulit menghitung pendapatan dari system agroforest petani ini. Coba kita hitung cecara kasar dari beberapa komoditas yang ada. Tahun ini durian bawor belajar berbuah. Tiga pohon menghasilkan 40 butir yang rata-rata bobot 3 kg. total 120 kg. harga perkilo 60 ribu rupiah. Pendapatan adalah 120 kg x 60 ribu = Rp. 7.200.000. bagaimana jika pohon durian bawornya yang berjumlah 23 pohon berbuah semua? Tahun inipun klengkeng kateki belajar berbuah. Dari 11 pohon berbuah 3 pohon dengan bobot total 50 kg, harga per kilo 30 ribu maka pendapatan dari klengkeng Rp. 1.500.000. bagaimana komoditas lainya? Butuh waktu yang cukup untuk menghitungnya.
Bergeser ke Kabupaten Mesuji didaerah zona merah konflik tenurial kawasan hutan register 45. Disamping kantor kami, Kakek Zaini menempati lokasi dengan luas sewolon atau 1.225 m2 sama dengan petani perambah lainya. Istimewa, tempat tinggal kakek ini berbeda dengan lainya. Agroforestlah yang membedakan. Lingkungan pondokan kakek ini asri, terkesan tanaman berjejal-jejal. Tanaman aneka manfaat. Tetapi dibelakang rumah tanaman itu ditata dengan teratur. Buah naga yang dirambatkan ditiang hidup tanaman randu kapuk. Sudah berulang kali panen buah naga. Pertiang rambat menghasilkan  rata-rata 10 kg pertahun. Dan kakek Zaini meiliki 50 tiang buah naga. Produksi pertahun 500 kg dengan harga 10 ribu rupiah. Uang masuk kekantong kakek patani hutan ini adalah Rp. 5.000.000.
Sebuah Pelajaran