Sungkeman adalah tradisi Lebaran bagi masyarakat Jawa yang khas. Sungkem dilakukan oleh orang yang muda usia kepada yang lebih tua atau lebih dihormati. Mengurai konsep sungkeman membawa pada nilai nilai penghormatan kepada orang tua sebagai tiang utama keluarga.Â
Masyarakat Jawa identik dengan penghormatan kepada orang tua atau orang yang lebih tua. Ajaran Mikul Dhuwur Mendem Jero adalah konsep dasar tentang nilai nilai penghormatan tersebut.
Bukan Hanya Saat Lebaran
Lebaran atau Bakdo dari akar kata sama " lebar " artinya seusai atau setelah. Sama dengan Bakdo dari kata Bakda dari bahasa Arab. Bagi masyarakat Jawa, Lebaran atau lebih tepatnya Hari Raya Idul Fitri, memiliki makna sangat penting. Bulan puasa atau bulan Ramadlan, dianggap penting sebagai bulan mengekang hawa nafsu.Â
Kemudian diakhiri dengan momentum Lebaran yang menandai bahwa Puasa atau Ramadlan sebagai " sesuatu yang lebih penting ". Atau puasa sebagai proses dan Lebaran sebagai hasilnya.Â
Sungkem sebenarnya tidak hanya dilakukan saat Hari Raya Idul Fitri namun pada momen tertentu seperti saat menikah. Setahu penulis hanya pada dua momen tersebut, walau tidak tertutup kemungkinan ada momen tertentu dilakukan juga seperti mau bepergian atau melakukan tugas besar yang membutuhkan doa restu.Â
Konsep Sungkem
Sungkem sendiri adalah suatu gerakan semacam menunduk namun bukan menyembah. Ada istilah sembah sungkem untuk menunjukkan tindakan yang dimaknai sangat menghormati. Tradisi ini kemudian diteruskan ketika orang Jawa memeluk ajaran Islam.Â
Sungkem adalah salah satu bentuk  kebiasaan yang ada di lingkungan keraton. Para abdi dalem melakukan sungkem kepada para bangsawan atau raja. Dalam kisah Ki Ageng Mangir, saat sang raja yaitu Panembahan Senopati menerima sungkem dari menantunya, beliau memutuskan untuk menghukum menantunya tersebut.Â
Sang menantu yang tidak mau tunduk pada kekuasaan Mataram di bawah Panembahan Senopati, terpaksa tunduk sebagai anak menantu. Dan dicatat dalam sejarah bahwa Panembahan Senopati tidak menerima sungkem sang menantu. Terbukti kepakla sang menantu dibenturkan ke batu singgasana.Â
Kembali pada tradisi sungkem sebagai suatu nilai nilai dan tradisi yang harus dilestarikan. Tradisi ini tidak bertentangan dengan agama, apalagi sungkem tidak hanya memohon maaf melainkan meminta doa restu, mendoakan orang tua dan pengajaran dari orang tua kepada anaknya.