Mohon tunggu...
Sudarmawan Yuwono
Sudarmawan Yuwono Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar Arsitektur

Membaca, menggambar, meneliti budaya, sejarah, arsitektur kota.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filosofi Prabu Kresna dan Semar

15 Maret 2023   08:22 Diperbarui: 15 Maret 2023   08:25 4114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

      Semar memiliki nalar dan kecerdasan yang sangat membumi. Ia akan mengkritisi para dewa yang bertindak semena mena atau pilih kasih.

      Bagaimana komitmen terhadap  kebenaran dan kekuatan sebenarnya yang dimiliki oleh Semar ini tergambar pada lakon Wisanggeni Lahir, yang menceritakan ulah sewenang wenang para dewa terhadap seorang bayi yang baru saja lahir. Bayi ini anak Arjuna dengan seorang dewi yaitu Dewi Dresanala,  namun tidak dikehendaki karena sang dewi hendak dijodohkan dengan Betara Kala anak Betara Guru. Sekalipun dewa, mereka berkomplot membunuh bayi yang tidak berdosa tersebut dengan melempar ke kawah Candradimuka. Oleh Semar ditolong sang bayi, bukan hancur lebur ditelan lumpur membara Candradimuka melainkan tumbuh besar dan sakti. Lebih sakti dari para Dewata sekalipun. Kayangan diobrak abrik Wisanggeni, hingga semua dewa tekuk lutut meminta maaf karena berlaku tidak adil. 

     Wisanggeni berani bertindak seperti itu karena didukung Semar. Tatanan dewa lebih tinggi dari manusia, dan harus selalu benar, didekonstruksi oleh Semar.  

Kearifan Lokal 

       Semar hadir dari khasanah lokal. Sebaliknya Kresna memang dari seberang, tokoh asli Mahabharata sedang Semar tokoh asli Nusantara. Bukan untuk dipertentangkan antar lokal dan interlokal, melainkan untuk disinergikan.

      Semar adalah semangat dari " kearifan lokal " yang berbicara pada tataran lokal, atau membumi. Ia bersama anak anak ya tidak tampil sempurna. Tidak bisa menyelesaikan sesuatu masalah secara instan. Ia terkadang menasehati Pandawa sebagai majikannya untuk meminta nasehat Begawan Abiyasa, tokoh sepuh leluhur para Pandawa. Ia yang mendorong dan membantu membangun Candi Sapta Arga sebagai simbol spiritualitas manusia.

      Pada saat majikannya lelah, stress dan tidak tahu harus berbuat apa, Semar dan keluarganya membawakan hiburan. Menghibur dengan menyanyi, membuat teka teki, atau bercanda sehingga sang majikan terhibur. Juga menyemangati saat mereka merasa putus asa. Lawan Semar bukan manusia atau raksasa, ia hanya akan bertindak represif ketika merasa ada kesewenang wenangan para dewa memperlakukan manusia.

      Semar ada dalam keseharian kita. Bahasa lokal itu perlu agar pesan tersampai dan membumi. Nilai nilai yang ada dalam Semar membuat kita mudah untuk melakukan hal hal baik karena tidak muluk muluk. Sederhana dan mudah. 

      Inilah yang membuat Semar di posisi lebih tinggi karena ia berada dalam keseharian kita. 

       

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun