Sepuluh hari ketiga di bulan November ini ingatanku melayang ke tiga puluh lima tahun yang lalu. Selasa pagi itu merupakan hari yang sangat mengesankan bagiku dan tak bisa terlupakan, mungkin selamanya.
Waktu itu matahari belum terlalu tinggi tetapi sudah melewati penggala, ketika Bis Lintas Kapuas yang aku tumpangi mulai bergerak dan berjalan meninggalkan Terminal Siantan yang terletak di Pontianak Utara itu aku hanya membisu menatap jalanan yang dibasahi hujan pagi melalui kaca jendela yang terletak di sampaingku.
Bis Lintas Kapuas itu semakin laju melalui Jalan Khatulistiwa meninggalkan Kota Pontianak, semengtara aku sempat menangis dan menangis ketika membaca surat mereka. Aku menangis terus tiada henti-hentinya. Aku kenangkan wajah mungil siswa-siswiku dari yang nakal sampai yang pintar. Yach ... mereka memang pantas untuk kukenang.
Sungguh aku tidak tahu lagi harus bagaimana? Sementara semua orang di dalam bis itu bersuka cita menikmati keindahan alam di sepanjang perjalanan. Hanya hatiku yang serasa kehilangan sesuatu yang kini menuju sebuah kampung harapan yang belum pasti, yaitu Badau.
Rasa bahagia, senang, dan benci serta dendam, dan juga rasa penyesalan semua bergumul jadi satu di atas ring hatiku. Aku ingin menangis sepuas-puasnya. Aku ingin membenci, namun tak tahu siapa yang harus kubenci. Yach ... itulah perasaanku saat itu. Sungguh aku tak tahu! Kenapa begitu ?
"Mau kemana dik?" ... Tiba-tiba seorang penumpang yang duduk disampingku bertanya padaku. Aku pun menjawabnya "Mau ke Badau pak". Kemudian orang itu melanjutkan ceritanya kepadaku, sementara aku memandangnya dan keperhatikan pakaian dorengnya lengkap dengan nama dada dan tanda pangkatnya. Cuman aku sudah lupa, siapa dia dan apa pangkatnya? Yang kuingat hanya ucapanya dia sedang bertugas di Sintang.
"Badau itu terletak di perbatasan, daerahnya enak kok dekat dengan Malaysia. Saya pernah bertugas di sana" tantara itu menghiburku. Rupanya dia tahu jika aku ini seorang guru yang berasal dari Jawa dan baru akan bertugas ke sana.
Dari penjelasannya, aku tahu jika Badau adalah sebuah kecamatan yang terletak di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat yang terletak diperbatasan anatara Malaysia--Indonesia yang biasa disingkat Malindo. Sepanjang perjalanan itu aku jadi terhibur karena ada teman bicara, hanya sesekali wajah murid-muridku datang perlahan membayang dan kemudian menghilang.
"Perjalanannya di sini tidak semulus seperti di Jawa dik" kata tantara itu. Kemudian ia melanjutkan ceritanya setelah aku memandangnya sambal tersenyum "ini nanti jika lancer, malam selepas Isya' sampai Sintang, karena dari Sekadau jalannya rusak belum diaspal. Nanti di Sintang harus bermalam dan esok hari harus naik Tambang atau Motor Air menelusuri Sungai Kapuas hingga Semitau atau Nanga Suhaid kemudian harus naik sampan menelusuri Sungai Empanang dan Danau Majang untuk sampai ke Badau". Wow, jauh sekali fikirku. "Itu berapa jam perjalanannya pak ?" tanyaku padanya. Pak tantara itu pun menjawab dengan penjelasan bukan berapa jam, tapi bisa hari tergantung musim pasang apa musim surut dan jenis mesin yang digunakan motor air itu. Paling cepat besok lusa sampai dik, jika tidak singga-singga.