Malam itu aku tinggalkan Giwangan sebuah terminal terbesar yang ada di Daerah Istimewa Yogjakarta itu. Sekitar jam tujuh malam aku meninggalkannya bersama Mila Sejahtera salah satu bis langgananku jika aku ke Yogjakarta. Lumayan, selain dari harga ekonomi bis-nya bagus juga dan hanya mengangkut penumpang yang jarak jauh sehingga waktu perjalanan bisa diperhitungkan sampainya di Probolinggo.
Dalam perjalanan dari Jogja hingga ke Solo, Pak Sopir mengemudikan Mila Sejahtera terkadang laju, terkadang perlahan. Menyesuaikan dengan keramaian kendaraan yang melintasi jalanan malam itu. Kuperhatikan Pak Sopir memang handal, bisa mencari celah jalan yang bisa dilaluinya, terkadang meliuk dan mendahului dari kiri jika ada jalan yang lowong.
Sementara itu, aku rebahkan tubuhku di sandaran kursi deretan paling depan yang aku duduki dengan harapan bisa istirahat tidur karena memang aku sudah ngantuk. Lagi pula esok paginya aku harus melaksanakan tugas keseharianku. Namun aku tak bisa tidur lelap karena padatnya arus transportasi malam itu. Apa lagi jika berpapasan dengan bis dari arah berlawanan saat mendahului truk atau bis yang lain sehingga mengganggu rasa kantukku dan membuat jantungku terkadang berdebar. Fikirku terkadang sambil berdzikir untuk menghalau rasa kekhawatiranku.
Ketika mendekati Terminal Ir. Soekarno di Klaten, tiba-tiba rasa kantukku terganggu dengan adanya sebuah truk yang tepat berada di depan bi Mila Sejahtera yang aku tumpangi itu. Pada bak bagian belakang truk itu bertuliskan: "Bahagia Itu Tidak Harus Mewah, Istighfar Untuk Masa Lalu, Bersyukur Untuk Hari Ini, dan Berdo'a Untuk Esok Hari". Kalimat itu ditulis dengan huruf kapital dengan perbedaan warna yang kontras dan mencolok sehingga mudah dibaca oleh orang yang ada di belakangnya.
Yach, kalimat itu telah menghilangkan rasa kantukku dan akupun sempat termenung dibuatnya. Ingatanku melayang kemana-mana. Perlahan membayang dalam ingatanku beberapa peristiwa yang pernah terjadi di negaraku tercinta ini. Terbanyang olehku nasehat bermakna para guru spiritual bangsa ini, terbayang olehku para jutawan yang pernah ada dan masih ada di negara ini, terbayang sepak terjang politisi dan pejabat negara yang telah mewanai perjalanan bangsa ini.
Bahkan terbayang pula orang-orang yang telah berurusan dengan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), terbayang pula pengamen jalanan dan peminta sedekah di perempatan lampu merah, tak terkecuali terbayang pula orang-orang aneh yang mengarungi hidupnya tanpa beban yang memiliki predikat sosial ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa). Yach ... semuanya itu datang perlahan membayang ke alam sadarku.
Dalam renunganku, mereka kuhubungkan dengan kalimat yang tertulis di bak truk itu. Dalam tulisan pada bak truk itu, ada kalimat yang patut untuk direnungkan; bahagia dengan kemewahan, istighfar dengan kesalahan, bersyukur dengan keni'matan, dan berdo'a dengan harapan. Tapi kata kuncinya adalah bahagia.
Tentunya semua orang yang pernah ada di bumi ini sangat berkeinginan dengan bahagia itu, tetapi belum tentu mereka mau beristighfar, bersyukur, dan berdo'a. Sehingga tidak sedikit yang mencapai kebagiaan semu.
Tidak sedikit yang beranggapan jika kebahagiaan itu dapat diraih dengan kekayaan, ada pula yang beranggapan jika kebahagiaan itu dapat diraih dengan jabatan. Pendeknya, kebahagiaan itu ditentukan oleh status sosialnya yang diidentikkan kemewahan sehingga siang malam menghabiskan energinya untuk berfikir bagaimana cara mendapatkan kemewahan itu.
Tak soal bagaimanapun caranya, melanggar norma atau tidak, merugugikan orang lain atau tidak, yang penting dapat tercapai akan diraihnya karena anggapannya dengan itu akan membawa kebahagiaan. Namun sayang seribu sayang, jika jalan yang ditempuh berujung pada berurusan dengan pihak berwajib atau Aparat Penegak Hukum. Â
Sesal kemudian tiada berguna. Semuanya sudah terlanjur. Harta dan jabatan yang dibangun dari awal berujung pada penderitaan. Menderita jiwanya, menderita pula status sosialnya karena semuanya telah menghilang dengan perlahan. Dijalani sisa-sisa hidupnya dengan tangisan dalam hati yang semakin hari semakin larat.
Sebaliknya, banyak pula yang mengartikan bahagia itu dengan sederhana dan tidak perlu modal, diraihnya dengan apa yang ada tanpa perlu barang mewah. Aku pernah melihat anak-anak berlarian main layang-layang di tanah lapang, begitu layang-layangnya meninggi melayang anak itu kegirangan menunjukkan rasa bahagianya. Aku sering bertemu dengan pengamen jalanan di banyak terminal yang menyanyikan lagu konyol dan lucu sambil tertawa riang gembira sebagai tanda kebahagiaannya.Â
Sering pula kulihat ODGJ yang tidur di pinggir jalanan tanpa selimut tebal, mereka tidur lelap tanpa beban. Dan masih banyak lagi yang dapat diangkat untuk dicontohkan di sini jika ternyata bahagia itu memang tidak harus mewah. Namun kebahagiannya itu hakiki atau tidak ? itu permasalahan lain. Yang jelas, mereka bisa menunjukkan kebahagiaannya tanpa harus mewah. Â
Kata orang-orang bijak, sebenarnya Allah SWT telah memberikan panduan dan janji yang jelas jika bahagia itu hanya akan diraih dengan bersyukur kepada-Nya. Siapa yang senantiasa bersyukur kepada-Nya atas ni'mat yang sudah diberikan maka Allah SWT akan menambah ni'mat yang diterimanya dengan ni'mat lainnya. Perasaan cukup terhadap apa yang diterimanya, itupun merupakan salah satu bentuk kebahagiaan tersendiri.
Sebaliknya, Allah SWT akan memberiakan hukuman kepada orang yang tidak pandai bersyukur atau mengingkari ni'mat-Nya (kufur ni'mat). Hukuman yang diberikan beragam bentuknya, salah satunya adalah senantiasa merasa kurang terhadap yang dida patinyasehingga senantiasa merasa resah, gundah, sulit tidur, iri, dengki terhadap teman, dan masih banyak penyakit hati lainnya yang dapat membuatnya tergelincir pada jalan yang tidak di-ridhai-Nya.
Dan (ingatlah) tatkala Pemelihara kalian mengumumkan bahwasanya jika kalian bersyukur, maka sungguh Aku akan tambah untuk kalian (akan nikmat). Dan jika kalian kufur, sesungguhnya siksa-Ku sangatlah pedih (Q.S. Ibrahim: 15)
Memang akan beruntung bagi mereka yang dianugerahi Allah SWT dengan kemewahan, senantiasa ber-istighfar akan kesalahan-kesalahan masa lalunya, selalu bersyukur atas ni'mat yang diperolehnya, serta rajin berdo'a dalam setiap kesempatan. Mereka akan mendaptkan kebahagiaan yang sejati, bahagia di dunia hingga akhirat kelak.
Sebaliknya, kehinaan bagi mereka yang hidupnya tidak memiliki kemewahan, tidak pandai bersyukur, tidak pernah beristighfar, dan tidak mau berdo'a. Sudah dipastikan tidak memiliki bahagia.
"Sangat boleh jadi sesuatu yang kamu benci itu merupakan sumber kebaikan bagimu, dan sangat boleh jadi sesuatu yang kamu cintai itu merupakan sumber penedritaan bagimu" (Q.S. Al-Baqarah: 216).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI